Aurora Jovanka

1585 Words
“Aku pulang …” Aurora memasuki rumah dan telah disambut sang ayah yang membaca buku di ruang tamu. Atensi ayah Aurora pun beralih dari buku bacaannya pada Aurora yang berjalan ke arahnya. “Dari mana saja kau?” tanya ayah Aurora saat Aurora telah berdiri depannya, meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. “Makan malam dengan teman,” jawab Aurora seraya menegakkan punggungnya dan menatap sang ayah dengan wajah sumringah. “Di mana ibu? Apa ibu sudah tidur?” tanyanya kemudian. “Sayang, akhirnya kau pulang.” Sebuah suara menyambut pendengaran Aurora. Ia menoleh pada sang ibu yang baru turun dari tangga kemudian melangkah menghampiri. “Ini bahkan belum jam sembilan, Ibu,” kata Aurora dengan mengerucutkan bibir berpura-pura kesal. “Tapi tetap saja tidak baik anak gadis keluyuran tiap malam,” tutur Jihan, ibu Aurora yang dengan sengaja mencubit hidung Aurora hingga membuatnya mengaduh sakit. “Aw, aw, awh … Ibu ….” Aurora merengek sakit dan mengusap hidung mancungnya yang menjadi korban kejahilan sang ibu. Jihan tertawa kecil, sementara Brahman, ayah Aurora, bangkit dari duduknya dengan buku di tangan dan melangkah menghampiri dua bidadari yang paling ia cintai. “Sudah saatnya tidur,” ucapnya pada Aurora. “Siap, Bos!” sahut Aurora seraya mengangkat tangan kanannya dengan posisi memberi hormat pada sang ayah. Kemudian mulai menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. “Hah … anak itu, kapan dia dewasanya,” gumam Jihan dengan mengarah pandangan pada Aurora yang menaiki anak tangga dengan bersenandung kecil. Puk! Brahman menepuk bahu sang istri dan juga mengarah pandangan pada Aurora yang tak lagi terlihat. “Kalau dia cepat dewasa, maka dia akan cepat juga meninggalkan kita,” ujarnya. Jihan setengah mendongak menatap sang suami yang saat ini mendekapnya. “Ya, kau benar, jadi setelah ini kita lanjutan sekolahnya saja?” timpalnya. “Kalau mengenai itu, semua terserah Aurora. Kita tak bisa memaksanya, bukan?” jawab Brahman seraya menatap sang istri dan kian menguatkan dekapan tangannya pada bahu sang istri. Jihan mengangguk dan menghela nafas panjang. “Yah, kau benar, Sayang,” sahutnya kemudian membalas dekapan sang suami dengan melingkarkan tangan di pinggangnya. * * Brugh! Aurora mendudukkan bokongnya dengan sedikit kasar ke tepi ranjang. Kedua tangannya berada di belakang punggung bertumpu di atas ranjang saat setengah menengadah menatap langit kamar. Kedua kakinya pun mengayun pelan dengan mulutnya yang mengembuskan hela nafas panjang. Tiba-tiba seulas senyum amat sangat tipis terukir di bibirnya saat teringat Ken saat di restoran. Sebenarnya sebelum itu ia telah melihat Ken yang berada di luar restoran. Tentu ia tak akan melupakan wajah dingin dan angkuh Ken yang saat di kampus mengabaikannya. Kemudian sebuah ide pun terlintas. Ia segera bangkit dari duduknya dan berlari ke arah pintu restoran dan sengaja menabrak Ken. Dengan begitu ia harap Ken akan menjadi pahlawan kemalaman yang pasti akan menolongnya melihat ia hanyalah gadis manis yang lemah. Tapi siapa kira, rencananya gagal total karena Ken mengabaikannya, bahkan mengacuhkannya hingga ia ingin melempar wajah Ken yang tampan itu dengan meja restoran. Tapi untung saja ada Zio yang membelanya, jika tidak, ia benar-benar akan menanggung malu seumur hidup. Ken adalah pria pertama yang mengabaikan dan mengacuhkannya bahkan di saat ia telah menggunakan jurus terampuh menggaet pria. Aurora meraih tas yang teronggok di sampingnya, membuka tas selempangnya itu dan mengambil ponsel dari dalamnya. Jari lentiknya terlihat menggeser layar dan seulas senyum kecil kembali merekah dan menghiasi wajah manisnya. “Ken Arkanza. Hm … kita lihat saja nanti, sampai mana batas kemampuanmu menolakku,” gumamnya yang tak melepas pandangan dari sebuah nomor yang tertera pada layar yang mana nomor itu adalah nomor Ken. Entah bagaimana dan karena apa, namun Zio memberinya izin mendekati Ken dan memberikan nomornya. Yah, meski dengan cara yang tak biasa. Zio menghubungi Ken menggunakan ponselnya dan berbohong jika ponselnya lowbat. Alhasil nomor Ken pun tertinggal di riwayat panggilan dan pesan. Aurora kembali menengadah dimana ponsel di tangannya mengetuk ringan dagu seolah ia tengah berpikir keras. “Kira-kira, bagaimana jika Ken memang seorang gay? Hanya dia satu-satunya pria yang tak mempan dengan cara yang kugunakan,” gumamnya. Ia masih ingat dengan jelas saat Ken mengabaikannya bahkan menatapnya penuh kebencian seakan ia adalah sebuah benda yang sangat kotor saat ia duduk berhadapan dengannya. Ini kali pertama ia melihat seorang pria menatapnya dengan tatapan seperti itu. “A … menarik,” gumamnya kembali dimana sebuah senyum penuh makna tersirat menghiasi wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, tapi sepertinya tak akan jauh dari Ken Arkanza. Bugh! Aurora melempar ringan ponselnya ke atas ranjang kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri mengabaikan ponselnya yang terus berdering dan merupakan telepon dari orang tak penting. Mulai saat ini tujuannya adalah Ken, siapapun yang berusaha mendekatinya bahkan mantan sekalipun berusaha kembali mendekat, ia tak peduli. Akan ia dapatkan Ken, pria yang membuatnya penasaran karena sikap dingin yang dimiliki. Dan akan ia buat Ken berbalik 180 derajat dengan menyukainya. Jika tidak, jangan panggil dia Aurora Jovanka. Di tempat lain, saat ini Ken masih terjaga. Ia tengah mengobati tangannya yang sedikit memar menggunakan salep. Cklek … “Ken, kau sudah di dalam?” Zio membuka pintu kamar Ken dan memasuki kamar saat melihat Ken duduk di tepi ranjang dan seperti tengah melakukan sesuatu. Ken mendengus setelah sebelumnya menoleh dan menatap Zio sekilas. “Ada apa dengan tanganmu?” tanya Zio yang saat ini berdiri di depan Ken dengan berkacak pinggang. Diamatinya Ken yang dengan hati-hati mengoleskan salep di area buku-buku jarinya yang tampak membiru. “Eh? Tanganmu kenapa?” tanya Zio sekali lagi hingga ia membungkuk dan melihat lebih jelas kondisi tangan Ken. “Semua ini karena gadis menjijikan itu,” jawab Ken tanpa menegakkan kepala menatap Zio. “Gadis menjijikan? Siapa?” gumam Zio dimana alisnya terlihat mengernyit tajam. Dan saat Ken menegakkan kepala menatapnya dan memberinya tatapan dingin, seketika yang terlintas di pikirannya adalah Aurora. “Ish, jaga mulutmu, !diot,” ujar Zio yang kemudian duduk di sebelah Ken, meraih tangannya hingga mengangkatnya dan melihatnya tepat di depan wajah. Dan sudah jelas yang ia lakukan itu hanyalah sebagai bentuk lawakan. “Ah, aku tahu! Kau baru saja menyelamatkan seorang gadis dari preman yang ingin memperkosanya?” celetuk Zio tiba-tiba seraya menghempas tangan Ken dengan kasar. “Sialan kau!” maki Ken yang kemudian memberi Zio tinju kecil di bahunya sebagai balasan karena Zio sengaja menghempas tangannya yang terluka dengan kasar. “Ah!” Zio meringis dan memegangi bahunya yang menjadi korban bogem mentah Ken. “Aish, aku kan hanya bercanda, kenapa kau pukulnya sungguhan?!” makinya. “Makanya jangan suka fitnah orang. Aurora bersamaku saat kau merajuk seperti bayi dan pergi, jadi bagaimana mungkin tanganmu begini karenanya?” lanjutnya dimana tangan kirinya masih mengusap bahu kanannya yang masih terasa linu akibat pukulan Ken yang keterlaluan. “Pria di restoran mendatangiku dan membawa dua orang teman. Dan tanpa aku jelaskan pun harusnya kau tahu apa yang terjadi,” ujar Ken sembari menutup obat salep dan memasukkannya ke laci meja samping tempat tidur kemudian menoleh menatap Zio. Zio terdiam sesaat, hanya sesaat kemudian pekikan keras terlontar dari mulutnya. “Apa?! Kenapa kau tak memanggilku?! Mana, mana lagi bagian tubuhmu yang terluka! Ini gawat! Om Saska dan ayah pasti akan menggantungku karena tak bisa melindungimu!” Zio meneliti tubuh Ken, kedua tangannya berada di bahu Ken dan memutar tubuhnya. Depan, belakang, atas bawah, Zio mencoba mencari luka lain yang mungkin Ken dapat melihat Ken mengatakan dikeroyok oleh tiga orang pria. “Sssh!” Ken mendesis dan menghempas lepas kedua tangan Zio yang bertengger di bahu. Perempatan siku pun seolah muncul di kepala. “Aku baik-baik saja, Baka!” sungutnya yang kesal karena Zio terlalu berlebihan. Sepertinya trademark Ara menurun padanya dengan memaki seseorang dengan menyebutnya baka yang artinya bodoh. “Eh, eh.” Zio yang sedikit terlonjak ke belakang karena hempasan tangan Ken, hanya bisa bergumam tak jelas. Matanya yang melebar berkedip pelan menatap Ken. “Jadi kau berhasil mengalahkan mereka?” tanyanya. “Bahkan hanya sepuluh orang seperti mereka aku masih mampu,” jawab Ken congkak kemudian mengangkat kedua kakinya naik ke atas ranjang. “Jadi keluarlah, aku mau istirahat,” ucapnya seraya melentangkan tubuhnya dan menarik selimut menutupi tubuh bawahnya sampai batas pinggang. “Ish, ini baru jam berapa! Besok itu libur! Sekarang, ceritakan dulu padaku apa yang sebenarnya terjadi!” tuntut Zio yang juga menaikkan kakinya ke atas ranjang dan duduk bersila. Kedua tangannya bersedekap dan ditatapnya Ken menuntut jawaban. Bukannya menjawab, Ken justru menarik selimut sampai batas leher dan mengubah posisi miring ke kiri. Kakinya yang telah terbungkus selimut pun dengan sengaja menendang Zio hingga membuatnya jatuh dari atas ranjang. Gedebugh! Zio jatuh tersungkur ke lantai sementara Ken justru memejamkan mata pura-pura tidur. “Ken!” teriak Zio dengan memegangi pinggangnya karena pantatnya lebih dulu mencium lantai. Disertai ringisan tertahan, tangannya meraih tepi ranjang sebagai pegangan saat ia berusaha bangkit berdiri. “Ken! Bangun!” teriak Zio dengan tangannya yang berusaha menarik selimut Ken namun percuma, Ken menahan selimutnya dan sukses membuat Zio semakin kesal. “Awas kau, ya!” makinya kemudian dengan langkah seperti pria tua yang membungkuk dan memegangi pinggang, ia memutuskan keluar dari kamar Ken dimana mulutnya terus menggerutu tak jelas. Jbles! Zio menutup pintu kamar Ken dengan keras hingga membuat Ken terjingkat. Namun saat Zio benar-benar telah menghilang dari sana, Ken membuka mata dengan senyum tipis nan bengis terukir di bibirnya. “Rasakan!” gumamnya. Drt … drt … Bunyi getar ponsel Ken membuatnya bangun menegakkan punggung. Tangannya pun meraih ponsel di atas meja dan menatap layar ponselnya dengan alis mengernyit. “Siapa?” gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD