Rencana Zio

1367 Words
Ken membuka kedua mata saat merasakan silau cahaya menerpa kulit wajahnya. Kemudian ia segera bangun menegakkan punggungnya seraya mulai melakukan peregangan. Sial, tidurnya sangat tidak nyenyak semalam. Meski ia berhasil menghajar Joe dan dua temannya tetap saja tubuhnya juga merasakan pegal-pegal setelahnya. Tap! Telapak kaki Ken menapak lantai yang dingin dengan kedua tangan menekan tepi ranjang. Perlahan ia mulai mengatur pernafasan, menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan selama beberapa kali. Kemudian diraihnya ponselnya di atas meja dan mulai menggeser layar. Tiba-tiba ia teringat pesan dari nomor tak dikenal dan tentu ia sangat tahu itu nomor siapa, itu adalah nomor Aurora. Dan tanpa ragu tentu diblokirnya nomor Aurora setelah sebelumnya tak sengaja membuka pesan darinya. “Menyebalkan,” gumamnya yang kemudian kembali meletakkan ponselnya ke atas meja lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Pagi ini masih sama dengan jadwal hari minggu seperti minggu sebelumnya yakni hanya berdiam diri di rumah. Namun meski begitu ia tetap membersihkan diri di waktu yang masih pagi. Sementara di kamar Zio, saat ini ia masih tertidur pulas dengan kedua tangan dan kakinya yang memeluk guling. Entah apa yang tengah ia impikan, namun sesekali ia mengigau tak jelas disertai senyuman aneh yang terukir di bibirnya. Di tempat lain saat ini Aurora tengah duduk di depan cermin rias. Ia telah tampil cantik dan modis dengan kaos kebesaran warna putih yang dibungkus celana kodok jeans warna biru. Rambutnya ia kepang menyamping dengan sisa anak rambut yang membingkai wajah. Sepasang sepatu kets warna menjadi penyempurna penampilannya kali ini. Jika dilihat dari penampilan ia lebih mirip anak SMA daripada mahasiswa yang hampir lulus kuliah. “Sempurna,” gumam Aurora setelah memberi polesan terakhir sebagai penyempurna penampilan yakni memoles bibirnya yang kissable dengan liptint warna merah. Bibir ombre menjadi pilihan warna bibirnya kali ini. Setelah itu disambarnya mini bag yang sebelumnya telah ia siapkan dan melangkahkan kakinya penuh semangat keluar kamar. Derap langkah kaki Aurora terdengar cepat saat menuruni setiap anak tangga. Seakan-akan mewakili perasaannya yang tengah bersemangat. “Sayang, mau kemana? Tumben sudah cantik?” sapa sang ibu saat berpapasan dengan Aurora di tangga. “Ibu, apa maksud ibu? Aku kan memang selalu cantik,” sahut Aurora saat berhadapan dengan sang ibu. Diraihnya kedua tangan ibunya dan memberikan senyuman manis terbaiknya. “Baiklah, di rumah ini memang hanya kau yang paling cantik. Ibu nomor dua,” balas Jihan seraya hendak memberi hidung Arora cubitan namun Aurora segera mengelak. “Jangan lagi, Ibu,” keluh Aurora yang kemudian menarik tangan ibunya dan mencium punggung tangannya seraya mengucap salam. “Baiklah, aku berangkat sekarang,” kata Aurora. “Eh? Tunggu, kau mau kemana?” cegah sang ibu dengan menahan tangan Aurora. “Hangout, Bu, ini kan hari minggu.” “Ya sudahlah, kalau begitu hati-hati,” tutur sang ibu seraya melepas tautan tangannya dengan tangan Aurora. “Baiklah, Bu. Aku pergi. Sampaikan salamku pada ayah, ya,” ujar Aurora seraya melangkah pergi. Jihan hanya bisa menatap Aurora dengan gelengan kepala lemah sampai tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Eh, Sayang! Kau belum sarapan!” teriaknya. Namun sepertinya percuma karena Aurora telah menghilang di balik pintu rumah utama. “Aih, dasar anak itu,” desahnya lelah. Jbles! Aurora menutup pintu mobil dan terlihat mengutak-atik ponselnya. “Kenapa tak diangkat-angkat?” gumamnya. Ia tengah berusaha menghubungi Zio, namun sudah panggilan kedua Zio tak juga mengangkat panggilan. Padahal bisa dibilang ia dan Zio baru mengenal namun mereka sudah seperti teman biasa yang akrab. [Ngh~~ halo …. ada apa? Siapa? Hoam …] Aurora tertawa mendengar suara Zio yang baru bangun tidur. Bahkan mungkin jika ia tak menelepon, ia masih pasti masih terlelap. “Ini aku, Aurora. Bahkan ayam jantan yang berkokok sudah kembali tidur dan kau masih di tempat tidur?” guraunya. “Eh? Apa? Benarkah?” Seketika Zio bangun dan membuka matanya lebar-lebar. Namun yang ia lihat adalah silau cahaya matahari yang menembus jendela kaca kamarnya. “Ish, kau menipuku,” gerutunya dengan melirik layar ponsel yang menempel di telinga. Setelahnya ia dapat mendengar gelak tawa kecil Aurora yang pasti menertawakannya. [ Ya habisnya kau masih tidur. Jika kau lupa, kau punya janji padaku, lo. ] Alis Zio terlihat berkerut. “Janji?” tanyanya. [ Ish, apa kau lupa? Kau kan mau mengajariku memasak. ] “Hoam … ya Tuhan, Ra, kau bersemangat sekali. Baru juga jam delapan,” ujar Zio yang kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mematikan sambungan telepon. [ Aku memang bersemangat mendekati adikmu. ] Zio menghentikan langkah, menatap layar ponsel yang menempel di telinga dimana dahinya terlihat berkerut. “Kau bar-bar sekali, mengatakan tujuan utamamu padaku.” [ Biasanya aku yang dikejar, loh, jadi kau harus bersyukur karena saat ini aku yang mengejar saudaramu. ] Zio tersenyum tipis. “Inilah yang membuatku memberikan lampu hijau padamu. Tapi awas saja kalau kau menangis bahkan sebelum dia melihatmu,” peringat Zio dan kembali melanjutkan langkahnya yang sebelumnya tertunda sesaat. [ A-a, bahkan aku tak akan menggunakan air mata agar dia melihatku. ] “Terserah kau saja lah. Sudah, aku mau mandi,” kata Zio dimana ia mulai memasuki kamar mandi dan menutup pintu. [ Baiklah. Sampai jumpa sebentar lagi. Eh tunggu, apa kau tahu? ] Zio yang hendak meletakkan ponselnya ke rak dinding kamar mandi menghentikan gerak tangannya. “Tidak,” jawabnya. [ Kurasa Ken memblokir nomorku. ] “Apa? Pft …. hahahahaha,” gelak tawa Ken terdengar memenuhi kamar mandi. Bukannya prihatin ia justru tertawa mendengar Ken memblokir noor Aurora. [ Kenapa kau tertawa? Bukannya kau ada di pihakku? ] Aurora terdengar mengeluh dan menggerutu mendengar gelak tawa Zio yang pasti menertawakannya. “Lagi pula kau agresif sekali. Siapa suruh kau menghubunginya setelah apa yang terjadi dengannya semalam,” ujar Zio seraya duduk di kloset duduk. [ Maksudmu? Terjadi apa? Apa soal di pintu restoran semalam? ] “Bukan, Ken bilang semalam ia didatangi kekasihmu itu dengan membawa dua temannya,” jawab Zio. [ Apa? Maksudmu Joe mendatangi Ken dan membawa teman? Jangan katakan mereka berkelahi! ] Zio mengedikkan bahu dan kembali menjawab, “Ken bilang seperti itu. Tapi kau tenang saja, Ken baik-baik saja. Mungkin yang harus kau khawatirkan adalah kekasihmu itu. Sepertinya Ken menghabisinya dan kedua temannya semalam sampai buku-buku jarinya membiru.” [ Benarkah? Jika hal itu benar, aku semakin ingin memiliki saudaramu. Kalau begitu selesaikan panggilan alammu. Aku akan sampai rumahmu setengah jam lagi. ] Piip …. Zio menurunkan ponsel dari telinga dan menatap layar ponselnya dengan sebelah alis meninggi. Yang menjadi pikirannya sekarang adalah bagaimana bisa Aurora tahu ia tengah melakukan rutinitas paginya yakni panggilan alam. Hachu … hachu …. Ken mengusap hidung setelah bersinnya yang berlebihan. Baru saja hendak membuka pintu untuk keluar kamar, tiba-tiba hidungnya terasa gatal hingga membuatnya bersin. “Sepertinya ada yang membicarakan aku,” gumamnya. * * * Tok … tok … tok …. Ken yang tengah berkutat di dapur, seketika menghentikan aktivitasnya yang tengah mengupas bawang. Dibukanya appron yang melindungi kaos warna putih yang dipakainya dan menyampirkannya di kursi kemudian melangkah menuju pintu depan. Cklek …. Dibukanya pintu bercat putih itu dan saat pintu telah terbuka lebar, detik berikutnya ia kembali menutup pintu tanpa mengatakan sepatah kata pada tamunya. Aurora berkedip pelan melihat pintu yang sebelumnya telah terbuka lebar dan menunjukkan Ken yang berdiri di depannya, kini kembali tertutup rapat. “Ada apa? Apa ada yang salah?” batinnya. Karena sepertinya ia hanya melempar senyuman manisnya, lalu detik itu juga Ken segera menutup pintu. Ken berbalik, dan kembali melangkah hendak menuju dapur sampai suara Zio yang baru keluar dari kamar membuatnya menoleh. “Ada apa Ken? Ada tamu?” tanya Zio yang saat ini telah segar dengan rambutnya yang masih sedikit basah. Sling! Seketika tatapan Ken memicing tajam menatap Zio penuh curiga. “Kau memberitahunya alamat rumah?” tanyanya. “Memberitahu alamat rumah? Siapa?” ulang Zio dengan tampang sok polosnya. Ken hanya diam dan menjawab Zio hanya dengan tatapan matanya yang semakin dingin dan tajam menusuk. “Ah, maksudmu, Aurora? Dia sudah sampai?” Zio buru-buru melangkah menuju pintu depan namun saat melewati Ken, bahunya segera mendapat hadangan dari tangan Ken yang kokoh. Zio menatap Ken dalam diam kemudian sebuah seringai terukir di bibirnya. Ia pun mengatakan, “Kau bilang apa yang terjadi padamu semalam karena dia kan? Jadi mari kita beri dia pelajaran.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD