When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Aku gelisah melihat dua pria beda usia itu saling tatap. Apalagi aku melihat wajah mas Haikal tampak kesal. Entah dengan wajah mas Haris apakah terlihat kesal atau tidak, aku tak tahu karena dia memunggungi aku. “Mas Haris, sudahlah. Sebaiknya Mas melanjutkan makan saja. Ingat lho, Mas. Kita sedang di tempat umum,” ucapku pelan. Tak lama aku mengatupkan kedua bibirku, mas Haris membalikkan tubuhnya. Kini kami saling berhadapan kembali. Barulah aku dapat melihat raut wajahnya yang tampak kesal. Mungkin dia kesal karena makan malamnya denganku terganggu oleh mas Haikal. Meskipun mantan suamiku itu tak melakukan suatu tindakan, tapi sikap mas Haikal mampu memancing emosi mas Haris. Hal ini lah yang aku sayangkan. “Manda, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya mas Haris tiba-tiba. “Bo