Part 2. Melangsungkan Pernikahan Virtual

1656 Words
"Karena Thoriq saat ini, berada di Mesir menempuh study akhir dan belum masa libur kuliah. Jadi nggak bisa pulang ke Indonesia. Sedangkan abah dan Kondisi Ziyad saat ini, nggak memungkinkan untuk berkumpul di sini, karena dia sedang terbaring kritis di rumah sakit. Oia, sebagai kabar menggembirakan. Untuk wali nikahmu nanti, yang akan mewakilkan abah menikahkanmu dengan Thoriq adalah Kyai Anshori guru dari Thoriq di Mesir. Sedangkan dua saksi untuk pihak kita, pihak mempelai wanita. Di wakilkan dua ulama besar disana," papar abah padaku, keluarga dan para tamu yang hadir. "Masyaallah, Zak? Beneran itu yang kamu omongin? Beruntung sekali Humaira, di nikahkan oleh Kyai dan di saksikan para ulama disana." Sahut Pakde menimpali ucapan abah karena kagum. Baru kali ini ada salah seorang keluarganya, yang beruntung di walikan nikah oleh ulama besar. Selain Pakde, ku lirik sekilas pak RT dan para tetangga pun juga merasa bangga. Karena baru kali ini di komplek nya. Salah seorang warganya, menikah di wali nikahkan oleh para alim ulama. Mungkin, kalau ada reporter yang mendengar kabar ini. Pasti bakalan viral dan masuk di televisi. "Iya mas, Alhamdulillah beneran! Aku saja, tadi yang di kabari besan. Sempat nggak percaya. Tapi seneng juga dan merasa tersanjung ini," Kekeh abah sambil senyum senyum melirik umi. Aku yang melihat kemesraan pasangan dua sejoli paruh baya ini, menjadi ilfeel. Sebab abah, nggak pernah canggung menunjukkan keromantisannya di depan orang banyak. Dih! Tadi abah marah-marah, sekarang gaya nya berbunga bunga seperti yang nikah abah sama umi saja hari ini, batinku jengah. "Setelah semua berdiskusi secara singkat tadi. Kami memutuskan, pernikahan hanya bisa di langsungkan dengan satu cara. kalian akan melangsungkan pernikahan secara virtual." Lanjut abah, yang membuat aku syok lagi dan lagi. Tubuh ini yang tadinya, seakan membumbung tinggi di udara, terkesan bangga sudah di nikahkan oleh para ulama dan Kyai? Dengan sekejap, langsung terhempas ke tanah. Tak habis pikir dengan mereka, yang memutuskan pernikahanku secara virtual. Aku menelan saliva, ku kira itu hanya terjadi di sinetron saja. Tapi, kini aku malah mengalaminya juga. Bukan cuman aku, para tetangga dan pak RT pun melongo tanpa bisa berkata kata, mendengarnya. Memang sempat terdengar kasak-kusuk dari mereka, namun kemudian mereka diam tanpa ada protes.Tak mau ikut campur, karena segan dengan abah yang merupakan ustadz di komplek ini. Aku merangsek duduk mendekati abah, "Ya Allah, Bah? Apa-apaan ini? Aku kan, anak abah satu-satunya loh! Masak tega, sudah di lamaranya mendadak, nikahnya instan juga. Secara virtual lagi?" selorohku menjebik, memprotesnya. "Diam Humaira! dari tadi kamu melawan Abah terus!” Bentak Abah memarahiku, yang membuat aku kaget, nyaliku ciut. Tak berani untuk membantahnya lagi. Sesaat kemudian, ganti umi mendekatiku dan mengusap punggungku. "Abah dan Umi menyayangimu Humaira, maka dari itu Abah menerima pinangan ini buatmu. Mana ada orang tua yang menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam jurang. Umurmu dan Thoriq sudah pantas untuk menikah. Jadi di segerakan ya nak, nikah itu ibadah. Apalagi sudah ada calonya,” bujuk umi padaku. Namun, aku yang masih ketakutan, karena kena marah abah barusan. Masih tak berani mengangkat wajah dan masih tetap menunduk. Baru kali ini Abah memarahiku, sehingga membuatku kecewa padanya. Tapi rasa sayangku yang terlalu besar pada mereka, mengalahkan segalanya. Setelah perdebatan dan penjelasan panjang lebar dari abah dan umi. Akhirnya, aku pun luluh, menuruti kehendaknya. Aku menarik nafas panjang, berusaha berfikir jernih dan legowo atas keputusan Abah menikahkanku hari ini. Secara dadakan dan akad nikah secara virtual. Daripada aku di suruh berhenti jadi Dosen. Selain itu, aku tak mau, gara-gara menentang kehendak kedua orangtua. Aku menjadi anak yang durhaka. Lalu ku setujuilah pernikahan itu hari ini. ***** Setelah persiapan sesingkat singkatnya. Aku pun sudah memakai kebaya putih, milik umi. Serta polesan make up tipis di wajahku, di bantu oleh Bude. Tak lupa juga, memakai cadar putih senada dengan warna kebaya dan kerudungku. Kemudian aku di tuntun, untuk duduk di ruang tamu. Di dampingi oleh abah dan yang lain. Para tamu pun juga tidak banyak. Karena hanya pak RT dan tetangga samping kiri dan kanan rumah saja. Itu pun yang mengundang Pak de, mewakili abah. Sebagai syarat, agar ada saksi, kalau aku sudah menikah nantinya. Tampak di meja ruang tamu, hanya ada kue dan minuman ala kadarnya. Yang di beli dadakan di ujung jalan sana, untuk menjamu para tamu yang hadir. Yah, beginilah kondisinya kalau serba dadakan. Yang penting ada, dari pada tidak sama sekali. Kemudian, abah pun menyalakan laptopku dan membuka aplikasi Zeem. Menyambungkan nya agar segera terhubung. Sembari menunggu terhubung, abah mempersilahkan para tamu untuk menyicipi kue dan minuman. Saat abah dan para tamu, tengah asyik mengobrol. Tiba-tiba, suara notifikasi Zeem di layar laptop pun tersambung. Di layar, terlihat ada Seorang Bapak-bapak terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan Selang infus di tangan, juga tabung oksigen di sampingnya. Dokter juga Suster, serta monitor yang memperlihatkan detak jantung pasien, didampingi oleh Ibu-ibu memakai gamis. Terlihat cantik, meski di usia senja. Namun, matanya terlihat sembab. Di bagian sisi lain layar, ada seorang Kyai dan juga para ulama, Syeikh duduk di dalam masjid megah. Bersama para santri lelaki saja, tanpa adanya perempuan disana. Lalu, siapa di depan Kyai itu? Apakah itu Thoriq calon imamku? Lelaki yang memakai baju kurung putih, dengan sorban yang di lilitkan di kepala. Ala-ala style pangeran Arab. Di lihat dari samping, sepertinya tampan seperti aktor Turki idolaku 'Can Yaman.' Saat aku serius memandangi layar laptop dengan waktu yang agak lama. Abah pun berdehem, melotot ke arahku. Membuat lamunanku menjadi buyar. Kemudian, aku pun meringis geli di dalam cadar, tanpa abah tau. Hehe, maaf kan anakmu ya, Bah! Khilaf. Tadi menolak, sekarang setelah tau, nggak mau nolak. ***** "Saya terima nikahnya Humaira Aisyah binti Razak dengan maskawin emas 1000 kilogram, uang tunai dua milyar, juga seperangkat alat shalat. Dibayar tunai...” ujar Thoriq dengan lantang. "Bagaimana para saksi?" tanya Kyai Anshori pada dua saksi yang hadir di sana. Dua ulama terkemuka sebagai wakil saksi dari pihak mempelai wanita. Dan para tamu undangan yang merupakan Syeikh, Kyai dan para santri di sana. "Sah…!" jawab mereka serentak. "Alhamdulillah…" semua bersuka cita atas pernikahan virtual ini. Baik yang ada di layar laptop maupun yang hadir di rumah abah Razak, abah dari Humaira pengantin wanita. Lalu sebagai penutup, doa pun di bacakan oleh Kyai untuk kedua mempelai pengantin virtual. Agar keduanya, di karuniakan pernikahan yang samawa dan mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah. "Sekarang, Humaira Aisyah binti Razak telah sah menjadi istrimu, Thoriq. Jagalah istrimu, sayangi istrimu, jadilah imam yang baik untuknya. Bimbinglah istrimu sesuai syariat islam, setelah kamu nanti pulang ke indonesia," pesan kyai Anshori memberikan wejangan padanya. “Iya Kyai, insyaallah... mohon doa dan bimbinganya.” Jawab Thoriq lirih. Buliran bening tak terasa menetes, di pipiku. Abah dan umi yang melihatku menangis, keduanya langsung menghampiri dan memelukku bersamaan. Kami pun sama-sama menangis haru, bukan lantaran sedih. Melainkan, bahagia. "Nak, Abah dan Umi sangat bahagia. Akhirnya, kewajiban Abah yang terakhir sudah terlaksana, yaitu menikahkanmu. Kini, anakku yang cantik ini, sudah jadi istri orang ya, Mi?” tanya abah melirik umi, di sebelahnya. "Iya bah, Umi juga nggak kalah bahagianya. Anak Umi yang jomblo ini! Sekarang, sudah ada pawangnya..." jawab umi sambil terkekeh padaku. "Meskipun, kalian belum bisa bersama untuk saat ini. Sementara, kamu tinggal dulu di rumah Abah. Menemani Abah dan Umi, sebelum waktunya nanti di jemput sama suamimu. Jaga kepercayaan suamimu, sekarang kamu istri orang. Yang harus selalu patuh dan berbakti padanya," papar abah menasehatiku dengan linangan air mata. Sehingga membuatku semakin mengeratkan pelukanku pada abah. Kini, aku tau, abah tak mungkin tega memarahiku dengan sengaja. Itu semua hanya gertakannya saja, agar aku patuh dan menurutinya. "Iya Abah dan umi, bimbing aku ya..." ujarku sambil menatap netra abah, “tapi, aku belum siap kalau harus pisah sama Abah dan Umi, huhuhu..." aku pun menangis sesenggukan. kemudian, keduanya menenangkanku dengan memelukku bersamaan. Setelah semua prosesi akad nikah virtual selesai. Para tetangga, pak RT beserta penghulu dan petugas KUA pun pamit pulang. Seraya memberikan ucapan selamat kepada abah, sambil menyalami. Sedangkan aku dan umi, hanya mengatupkan tangan di d**a sebagai tanda terimakasih. Karena sudah hadir di acara pernikahan virtual ini. Berkas berkas pernikahan kami pun, juga langsung segera di urus di KUA setempat. Oleh petugas dan penghulu yang menyaksikan pernikahanku tadi di rumah. Karena abi mertuaku, punya kenalan orang dalam. Sehingga prosesnya nanti pun, bisa cepat. Buku nikah yang sudah jadi nanti, setelahnya akan di kirim ke suamiku di Mesir sana untuk di tanda tangani. Layar laptop, dan aplikasi Zeem yang masih menyala. Ibu mertuaku pun, tampak melambaikan tangan padaku dan menyapaku. "Humairah menantuku cantik sekali, perkenalkan aku uminya, Thoriq. Kamu bisa memanggilku umi, sama seperti Thoriq. Kamu juga anakku sekarang. Maafkan umi dan abi ya nak, permintaan kami terkesan terburu-buru. Mohon di maklumi ya, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan ini kamu di nikahi oleh Thoriq,” papar umi Rima, sambil menyeka tangis di sudut matanya. “Iya, umi, Humaira mengerti. Nggak apa-apa, abah Humaira sudah menjelaskan semuanya,” balasku padanya, kemudian beliau pun tersenyum lega. Di saat uforia antara dua keluarga inti. Secara tak sengaja, tepat ketika aku menoleh ke arah layar laptop. Suamiku pun tanpa di kode, bebarengan denganku saling bertemu pandang. Aku yang kaget, reflek menunduk malu. Masyaallah! Dia tersenyum kepadaku. Dan senyumanya itu loh membuat hatiku meleleh. Ciptaanmu sungguhlah indah, Tuhan. Si Thoriq suamiku, ternyata sangat tampan. Apalagi, bulu-bulu halus di jambangnya itu yang semakin membuat macho. Wajahnya, ternyata benar. Mirip aktor turki idolaku 'Can Yaman'. “Aaarrrgh...” geli sekali racauku. Malahan, dadaku ini sekarang rasanya berdegub kencang. Mungkin wajahku sekarang nampak, merah seperti tomat. Untung saja Thoriq tak melihatku, karena aku masih memakai cadar. Abah dan umi yang pernah muda pun mengerti. Mereka tersenyum padaku, lalu mengajak ku masuk ke kamarku. Sambil membawa laptop, yang sudah di setting abah, hanya terfokus pada satu peserta Zeem saja. Yaitu Thoriq dan aku. Entah kapan juga, Thoriq sudah berpindah ke ruangan yang hanya terlihat hanya ada dia seorang. Kemudian, umi menyuruhku membuka cadar yang aku kenakan. Untuk memperlihatkan wajahku ini di depan suamiku. Namun, siapa sangka. Tiba-tiba, saat cadarku terbuka. Eh, laptopnya pun mati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD