Part 3. Kabar Duka

1938 Words
Ternyata laptopnya mati, gara-gara signall nya putus. Aku terkekeh di dalam hati, senyum-senyum sendiri. Kasihan sekali, suami yang baru menikahiku ini. Harus bersabar lagi, melihat wajahku yang tak seberapa cantik ini. Sementara, aku yang duduk di sebelah umi. Tengah melamunkan wajah suamiku. Di sisi lain, abah nampak berusaha mengotak-atik laptop, yang di kiranya kehabisan baterai. Tiba-tiba saja, ada Bude membuka pintu kamarku, kemudian masuk dan langsung menghampiri ke arah abah. "Zak, handphone kamu bunyi tuh!" kata Bude Murni, sembari memberikan handphone nya abah. Abah lalu menerimanya dan mengucapkan terimakasih. Kemudian Bude pun pergi meninggalkan kami bertiga di kamar. "Hallo, Assalamualaikum...” sapa abah mulai mengangkatnya. Tak terdengar percakapan abah dengan penelpon, karena tak di lousdpeaker. Terlihat abah mengangguk, kemudian netranya berkaca kaca mendengar suara penelpon tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa wajah abah tegang begitu, batinku. "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…" seloroh abah, dengan tangis yang mulai luruh. Aku tersentak, mendengarnya. Lantas, siapakah yang meninggal? Tunggulah saja Humaira. Kamu akan tau, sebentar lagi. "Baik, kami sekeluarga akan kesana sekarang. Rima yang sabar ya," papar abah singkat, kemudian menutup sambungan telponnya. Aku membekap mulutku, Jangan jangan yang meninggal itu adalah... Ternyata benar dugaanku, telepon barusan dari sang besan. Mengabarkan kalau abi mertuaku, telah meninggal dunia. Aku yang sama sekali belum pernah bertemu dengannya pun, ikut merasa sedih dan kehilangan sosoknya. Mengingat abah yang terlihat sangat terpukul, dengan kepergiannya. Mungkin abi mertuaku sangat baik, sampai abah merasa sangat kehilangan. "Humaira, mertua kamu Ziyad meninggal dunia, barusan. Kita sekeluarga harus berangkat ke rumah Ziyad, karena jenazahnya sudah perjalanan ke kediamanya." Papar Abah padaku dengan air mata yang tak terbendung lagi. Serempak kami semua mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…" Aku dan keluargaku kaget mendengar kabar duka itu. Bagaimana tidak? Hari ini terlalu banyak kejutan yang mendadak. "Ya sudah, Zak. Kami juga, akan turut serta berbela sungkawa. Aku akan siapkan mobil, biar aku yang menyetir," sahut Pakde Yahya menawarkan diri. Karena beliau tau, kalau abah sekarang. Pasti tak akan sanggup menyetir dengan kondisi seperti ini. "Mas, ini alamatnya Ziyad!” ujar abah menyodorkan sebuah alamat, di handphone nya pada Pakde. Kemudian, Pakde pun membalasnya dengan anggukan. Bergegas, aku pun segera mengganti kebayaku dengan gamis sederhana. Setelah itu, tak lupa umi mengunci pintu rumah dan kami semua langsung masuk ke dalam mobil dan berangkat ke kediaman mertuaku. Setelah satu setengah jam kemudian, kami akhirnya pun sampai. Satpam lalu memberi salam hormat, sambil membukakan pintu pagar untuk kami. Terlihat, rumah mewah berdesign khas timur tengah. Dengan halaman yang luas, terparkir penuh dengan banyak mobil pelayat yang datang. Selanjutnya, satpam lalu mengantarkan kami masuk ke dalam rumah. Menemui keluarga mertuaku. Setelah kami masuk, kami pun di sambut ramah oleh umi mertuaku yang mengenakan gamis putih, dengan wajah sembab karena menangis. Kami pun, mengucapkan bela sungkawa kepadanya. Umi ku pun, lalu merangkul Umi Rima sembari menguatkanya agar tabah. "Mas Razak, aku mewakili mas Ziyad, meminta maaf. Apabila sewaktu dia hidup. Pernah berbuat salah padamu, entah di sengaja atau tidak, Mas. Dan aku juga meminta maaf lagi, gara-gara wasiat mas Ziyad, untuk meminta Thoriq menikahi Humaira hari ini kepadamu. Dengan terburu-buru dan juga secara virtual," ungkap umi Rima yang menangis tergugu. Sambil mengatupkan kedua tangan di d**a. "Mungkin ini udah takdirnya Humaira, Rim. Aku ikhlas, yang penting kita semua sudah melaksanakan wasiat Ziyad, sebelum dia tiada...." balas abah sembari mengusap air mata. Umi mertuaku pun, mengangguk dan berterimakasih pada abah. ***** Setelah prosesi pemakaman mertuaku selesai, para pelayat pun berpamitan pulang. Setelah sebelumnya, mengucapkan bela sungkawa dan memberi semangat kepada umi mertuaku. Agar tabah dan kuat menghadapi cobaan ini. Beliaupun berusaha tegar, meskipun hatinya sekarang rapuh. Juga mencoba untuk tetap tersenyum, di depan semua orang. "Humaira, malam ini kamu nginap ya di sini. Biar Umi nggak sendirian dan kesepian. Kakaknya Thoriq, baru akan sampai besok, “apa boleh, Mas Rozak?" tanya Umi Rima melirik pada abah. Abah mengangguk setuju. Malahan abah memutuskan, agar aku menginap selama tiga hari disini untuk menemani umi mertuaku. Tapi itu sepertinya, tak mungkin. Karena aku hanya, mendapat jatah libur selama dua hari saja dari kampus. Tempatku mengajar. "Kalau begitu, kami sekeluarga pamit ya, Rim. Maaf, kami sekeluarga nggak bisa ikut tahlilan nanti. Soalnya harus mengantarkan Pakde nya Humaira, ke bandara. Soalnya penerbangannya sore ini. Aku, titip Humaira, ya? Dan kamu nak, jaga mertuamu juga…" papar abah memberi pesan kepadaku sambil memelukku dan aku pun sama membalasnya. "Iya, Bah," balasku lirih. Sedangkan umi Rima, tampak mengangguk menanggapi paparan abah dengan raut kesedihan. Malam harinya, sesudah tahlilan. Suasana rumah Umi Rima sudah sepi lagi. Semua tetangga dan keluarga pun sudah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Di rumah, hanya tersisa aku dan umi Rima. Juga dua pembantu, yang masih sibuk bersih-bersih setelah tahlilan. "Non, Bu… silahkan di minum teh nya," tawar Bibi asisten rumah tangga, “istri den Thoriq, cantik ya, Bu?" puji Bibi sambil tersenyum ke arahku. Aku yang di puji pun, menunduk malu. “Terimakasih ya, Bi,” Mertuaku pun melihat ke arahku, sambil tangannya mengusap kepalaku dengan tersenyum bahagia. "Iya, Bii. Aku bersyukur sekali, Thoriq beruntung mendapatkan gadis sholehah seperti Humaira," ungkap umi Rima, yang langsung membuatku salah tingkah. Kemudian, umi Rima mengajakku makan malam bersama, di ruang makan. Tak lama, berselang kami makan. Handphone umi terus-terusan berdering. Ia pun, melirik handphone nya untuk segera di cek. "Eh, ada video call dari Thoriq, Ra...” ujar umi tersenyum menggodaku, “kebetulan sekali, umi mau nelpon habis ini, eh! di duluin sama nak gantengnya umi?” kekehnya. Apa? Thoriq.Tanganku pun rasanya tremor, dahiku berkeringat dingin. Belum siap sebenarnya, mengobrol padanya, gumamku dalam hati. Lantas, umi mulai menekan tombol fiture berwarna hijau. Segera tersambung dan memulai obrolan. "Assalamualaikum nak, gimana apa bisa pulangnya di percepat? Tadi, mas mu juga nggak bisa hadir di pemakaman Abi. Besok baru bisa sampai, lagi di perjalanan katanya,” terang umi padanya. "Waalaikumussalam, umi. Belum tau umi, tapi akan aku usahakan segera. Mungkin bulan depan. Aku yakin umi kuat, yang tabah umi. Maafkan anakmu ini yang belum bisa datang,” ungkap Thorq terdengar resah bercampur sedih. Ku lirik, umi Rima matanya pun ikut berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dan tak kuasa membendung air mata. Mereka berdua pun larut dalam kesedihan. Aku pun, yang hanya memperhatikan, ikut merasakan kesedihannya juga. "Ini ada Humaira, Umi minta dia nginap disini, menemani. Kamu bicara dulu sama istrimu, ya...” sela umi mengalihkan pembicaraan. Agar dia tak larut dalam kesedihan, jika membahas perihal kepergiaan abi. Memberikan ruang padaku dan Thoriq untuk saling mengenal lebih jauh. "Umi tinggal dulu ya, ke belakang.." ujar umi sambil menyerahkan, handphone nya padaku. Seketika aku menelan saliva, tanganku gemetaran. Menerima handphone itu darinya, yang video call nya masih dalam keadaan aktif. Aku yang dari tadi, hanya berdua bersama umi. Telah melepas cadar, sehingga kini. Thoriq bebas, melihat wajahku tanpa terhalang niqab. Rasa grogi tengah menyerangku sampai ke ubun-ubun. Malu bercampur salting, baru kali ini, berdua dengan seorang lelaki. Meskipun, posisinya Thoriq hanya di dalam layar. Lalu aku pun, berusaha mengenakan cadarku lagi. Namun, sebelum itu semua terjadi. Thoriq mencegahku, sehingga aku dengan terpaksa menurutinya. Sebab posisi Thoriq sekarang adalah suamiku, dan haram hukumnya menolak keinginan suami. “Humaira, bagaimana kabarnya?" tanya Thoriq mengawali obrolan, sambil ku lirik matanya enggan berkedip. Menatapku dengan sangat intens. Di lihat seperti itu, malah membuat berdiri bulu romaku. Aku sangat gugup, bingung harus membalasnya seperti apa. "Aku... a... anu...” Susah sekali, mengeluarkan suara. Seakan tercekat di tenggorokan. Beda lagi dengan Thoriq, sekarang dia malah terlihat senyum-senyum padaku dan semakin mendekatkan wajahnya di layar. Sampai aku yang malu tingkat dewa, reflek menjauhkan jarak handphone nya. “Humaira, kenapa kamu terus menunduk? Lagian handphone nya kok di jauhin? Aku jadi nggak bisa lihat wajah istriku yang sangat cantik?” tanya Thoriq lagi memberondongku, membuatku kalang-kabut. Sekarang mendengar godaanya, malah membuatku melting, “Aaarrrgh... tidak! Tolong aku, rasanya aku seperti kehabisan nafas?” gumamku. Lalu aku memberanikan diri menjawabnya, “Kabarku baik, kalau kamu?” tanyaku balik padanya sambil mengehentak-hentakkan kaki di lantai, karena berhasil menjawab. “Alhamdulillah baik, cuma sangat sedih aja dengan kepergian abi yang secepat itu, meninggalkan kami semua. Terlebih lagi, aku juga nggak bisa ketemu sama kamu. Kamu bisa panggil aku, Mas saja, mulai sekarang, oke?" lirih Thoriq sensual, suara maskulinnya, merayap di telingaku. Membuatku seakan membumbung tinggi ke awan. Dengan malu-malu aku menjawab, “Iya, Mas Thoriq...” sambil meremas-remas khimarku. "Mas sangat berterimakasih, karena kamu mau menemani umi, selagi aku nggak ada di Indonesia. Apa Mas boleh minta tolong?” tanyanya. Aku reflek mengangkat wajah, “minta tolong apa ya, Mas?” Thoriq melebarkan senyuman, matanya berbinar menatapku lekat, “Hibur umi, agar nggak terlalu larut dalam kesedihan. Sebab, Mas sangat merasa bersalah padanya. Karena saat abi, tiada. Aku yang malah anaknya sendiri, nggak bisa menghadiri pemakamannya. Juga nggak bisa melihatnya, untuk yang terakhir kali. Aku berdosa sekali, belum bisa menjadi anak yang berbakti pada kedua orang tuaku...” ungkap Thoriq dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Aku menatap wajah lelaki tampan itu dengan sendu dan berusaha menghiburnya. “Kata abah, itu semua sudah takdir, Mas?Yang sabar ya, Mas. Aku turut berduka atas meninggalnya abi. Aku paham, apa yang saat ini kamu rasakan, doakan saja agar beliau tenang di alam sana," hiburku padanya berusaha membuatnya tegar. Thoriq pun mengangguk dan menyetujui ucapanku. Lalu, sekarang dia beralih dengan mode seriusnya lagi. Memandangiku dengan tatapan mautnya, yang membuatku semakin melting dan salah tingkah. “Aduh! Lelaki satu ini, sungguh meresahkan!” gumamku dalam hati. "Dek, aku panggil kamu, dek saja ya? Boleh?" pinta Thoriq manja, tanpa mengalihkan pandangan nya dariku. "Boleh, Mas..." jawabku singkat, kemudian menunduk lagi. "Hehehe, santai saja dek. Kayak di interogasi polisi saja. Lagian, aku juga nggak gigit kok? Tenang ya, biar kamu nyaman ngobrol sama Mas, kalau kamu kayak gitu terus. Mas malah gemes, pengen gigit beneran?” selorohnya yang membuatku melebarkan mata, tersipu malu tingkat kecamatan. Ih! Nggak nyangka, ku kira dia tipe lelaki mode serius dan pendiam. Tapi ternyata di luar ekspektasi, dia malah jago ngegombal dan mampu memporak-porandakan hatiku. “Kamu ngajar dimana, Dek? Kalau berangkat bareng siapa?" tanyanya padaku lagi, dengan semakin mendekatkan wajah tampannya ke layar. “Berangkat sendiri, Mas. Kadang juga di antar sama abah,” jawabku lirih sambil memainkan jari, grogi sekali di tatapnya seintens itu. "Oh, syukurlah!” “Hmm, gimana Mas?" tanyaku tak mendengar ungkapannya barusan. “Nggak ada kok. Oia, tadi ngajar dimana? Kamu belum jawab, Dek?” tanyanya ulang padaku yang belum sempat aku jawab, karena aku yang gagal fokus. "Di kampus 'Setia Bhakti', Mas. Dekat dari rumah,” jawabku menahan senyum. "Kapan kapan, kalau aku sudah sampai Indonesia. Kamu aku anter, ya? Jangan nolak!” Deg! Jantungku berdetak lebih kencang, mendengar ucapannya barusan. Terdengar memaksa, tapi paksaannya itu membuatku pasrah. Baru kali ini, aku merasa senang di paksa oleh seseorang. "Eh, i-iya Mas. Apa nggak merepotkan?” jawabku basa-basi. "Nggak lah, buat Humairaku apa sih yang enggak?" balas Thoriq sambil mengedipkan sebelah mata padaku. Aww... ternyata selain dia pintar ngegombal, dia juga sangat lihai membuatku melayang. Batinku. "Tadi setelah nikahan kita, sebenarnya aku tuh penasaran banget. Sama wajah istriku ini, karena aku hanya pernah lihat sekali wajahmu itu, waktu kita dulu sama-sama masih kecil. Penasaran banget, sampai membuatku galau,” ujarnya antusias, “gara-gara signall di sini, kadang trouble makanya terputus. Akhirnya, kegalauanku terjawab. Ternyata, wajah Humaira sangat cantik seperti bidadari turun dari kayangan," lirihnya sambil tersenyum sangat manis. Kali ini, aku semakin melting dan tak kuasa menahan wajahku yang kian bersemu merah. Membuat Thoriq semakin tak ada puasnya, menggombaliku. Aku pun tertawa lirih, kenyang sekali akan gombalannya. Sedang asyik-asyik nya, obrolan antara suami dan istri baru ini. Tawaku pun, seketika lenyap total. Kala melihat di layar dalam, video call. Nampak, seorang wanita bercadar yang tengah menghampiri suamiku itu.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD