Apa? Apa laki-laki ini mengharapkan pujian? Kimberly mendengus dalam hati. "Kalau aku lapar, aku bisa makan apa saja," sahutnya santai.
“Termasuk memakanku?” goda Vincent, dibalas tatapan tajam dari Kimberly.
“Ehm, sorry, aku cuma bercanda,” kilah Vincent.
Senyap untuk beberapa saat. Vincent berusaha menyabarkan diri. Tidak dapat ditahannya, Vincent menyempatkan mengagumi pesona wanita di depannya. Baru kali ini ia melihat wajah Kimberly tampak tenang dan polos. Usaha yang digunakannya untuk menyiapkan makan siang kali ini sepadan. "Kenapa kau kembali?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Hmm?" Kimberly masih sibuk mengunyah. Kelopak matanya memebuka lebar menatap Vincent.
"Ke kota ini,” lanjut Vincent. “Kurasa kau menghasilkan banyak uang di luar sana, bahkan kau mengembalikan uangku. Kenapa kau harus kembali ke sini dan bekerja dengan gaji yang tidak seberapa?"
Kimberly menelan isi mulutnya dan melumasi tenggorokan dengan seteguk angguk. "Kamu keberatan dengan yang kulakukan?" tudingnya.
"Tidak, aku cuma heran, kau bisa sukses di luar sana, tetapi kau malah di sini. Orang-orang mengatakan kau kembali ke sini karena kau gagal di luar negeri. Kegeniusanmu tidak membawamu kemana pun."
Kimberly terkekeh. "Jadi, kau mendengarkan gosip juga?"
Vincent mendengus terprovokasi. "Aku tidak--aku menanyakannya karena aku tidak terima mereka menjelek-jelekanmu."
Kimberly menyesap sedikit anggurnya lalu menatap Vincent dari sudut mata. "Apa aku berarti sesuatu bagimu sehingga kau merasa berhak marah karena aku?"
Vincent diam sesaat ditatap sorot mengintimidasi itu. "Aku kenal denganmu sudah cukup lama, tentu saja aku marah pada mereka," katanya akhirnya lalu menenggak anggurnya sampai habis.
Kimberly mengernyitkan kening melihat hal itu. "Kau mengendarai motor, Vincent, haruskah kau mabuk sekarang?"
Eh? Sepertinya wanita itu ada sedikit kepedulian padanya. Vincent tertawa miris. "I'm good,” sahutnya. “Segelas anggur tidak akan membuatku mabuk!"
"Kuperingatkan kau ya, aku tidak mau mengurusmu jika kau mabuk di rumah ini,” cecar Kimberly. “Kau seperti seekor kerbau besar, menyeruduk kesana kemari!" Oh, ya, dia sudah sering melihat bagaimana laki-laki itu di bawah pengaruh alkohol ketika masih berpacaran dengan kakaknya. Mereka berdua akan membuat ruang tamu berantakan dan melenguh seperti hewan ternak berahi.
Vincent terkekeh. "Banteng lebih keren, jangan kerbau!" tampiknya.
"Terserah, kau mau jadi banteng, kerbau atau kambing sekalian, aku tak peduli!” sembur wanita itu lagi. “Sebaiknya kau pergi sekarang!" Kimberly menjatuhkan sendok dan garpunya ke piring yang sudah kosong.
Vincent menatapnya tajam. Ia berkata pongah. “Sebenarnya kau suka ‘kan aku ada di sini? Di sekitarmu, mengejar-ngejarmu ...."
Kimberly mendengus sinis. Laki-laki itu mulai bicara omong kosong. "Aku menyukainya? Lebih tepatnya aku malah jijik. Kau menakutkan. Kau bukan stiker, kau lebih seperti stalker dan stalker itu tindakan kriminal!"
"Jika kau takut kenapa kau tidak menghentikanku? Kau tidak mengganti kunci rumahmu, aku bisa masuk kapan saja dan kalau kau menganggap aku stalker, laporkan saja aku ke polisi! Kurasa kau punya keberanian untuk melakukannya," sahutnya dengan suara dinaikkan.
"Oh, ya? Sekarang kau berani membentakku?” balas Kimberly. “Tunggu saja, aku akan melakukannya. aku akan melaporkanmu ke polisi!" kata Kimberly sambil menudingkan telunjuknya ke wajah Vincent.
Damn, woman!! Amarah Vincent tersulut. Ia mengutuk wanita itu dalam hatinya. Sekali lagi ia mempertanyakan dirinya sendiri, kenapa ia mau bersusah payah membina hubungan baik dengan wanita itu? Segera ia bangkit dari kursi dan dengan langkah menghentak ia keluar dari rumah itu.
Kimberly dapat mendengar suara motor Vincent meraung nyaring meninggalkan halaman rumahnya. Bagus ..., pikir Kimberly. Dengan begitu, dia harap laki-laki itu tidak akan mengganggunya lagi.
Dalam gemuruh kesal, Vincent kembali ke kelab Roxy hanya untuk mencari cara menenangkan diri. Ia tidak pernah merasa begitu kesal kepada seorang wanita sebelumnya dan sekarang ia merasakannya. Ia melihat Jena, salah seorang teman wanitanya. Wanita itu biasa bekerja sebagai penari di kelab. Jena mengenakan dress mini ketat berwarna merah dan hari itu dia mengenakan rambut palsu panjang berwarna cokelat keemasan seperti rambut Kimberly.
"Hai, Vincent!" sapa Jena dengan kerlingan merayu. Siapa tahu hari ini mungkin hari dia cukup beruntung Vincent mau berhubungan seks dengannya.
"Ikut aku!" kata Vincent. Wanita itu baru mau membuka mulutnya. Namun Vincent sudah menariknya, membawanya ke ruang kerja di lantai 2.
Pintu tertutup rapat. Ruang kerja berbau asap rokok dan vernis kayu itu tertata asal-asalan. Vincent melempar wanita itu ke sofa berlapis kulit motif belang macan. Bukannya marah, Jena malah menyeringai gembira. Vincent berdiri di hadapannya, berkacak pinggang dan menatap tajam. Ia menyodorkan tonjolan di celananya ke wajah Jena. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan!" serunya menggeram.
Tanpa basa-basi, Jena membuka ikat pinggang pria itu, membuka ritsleting celana jeans-nya dan dengan satu gerakan dia menurunkan boxer dan jeans Vincent hingga ke lutut, menampilkan batang berpembuluh pria itu menjorok ke wajahnya dalam keadaan keras dan tampak menggiurkan.
Hari yang terlalu indah untuk dilewatkan. Bagi Jena, Vincent menginginkannya. Ketika mulut berpoles lipstik merah itu terbuka lebar menyelimuti keperkasaannya, Vincent menjadi semakin posesif. Miliknya yang lebih besar dari kepalan tangan Jena melesak ke dalam mulut hangat Jena, membuat wajah wanita itu memerah tersedak dan berusaha bernapas. Vincent menangkup kepala wanita itu dan mendorongnya semakin dekat ke dasar selangkangannya.
Oh ..., betapa senangnya Jena. Suara erangan Vincent memenuhi telinganya. Erangan putus asa dan tersiksa, akan tetapi terdengar indah dan nikmat.
Vincent meremas rambut yang sedang terbenam di selangkangannya. "Wanita biadab!!" gumamnya dengan suara berat dipaksakan. Tidak ada wanita lain yang memenuhi pikirannya saat itu kecuali Kimberly. Wanita berambut keemasan dengan lidah yang tajam, rasanya ia ingin merobek mulut wanita itu, membukanya dan memenuhi mulutnya dengan penisnya. Ia membayangkan bagaimana suara desahan Kimberly bercampur dengan suaranya sendiri ketika ia melakukan itu.
Vincent menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan cepat ke wajah Jena sampai ia melepaskan seluruh cairan kentalnya dalam mulut wanita itu. Melepaskan kekesalannya, frustasinya, putus asa, terhadap wanita biadab itu. Wanita biadab dengan senyum seperti malaikat.
Keesokan hari. Di pagi hari, setelah beberapa sesi olahraga kardio, Kimberly mandi lalu memilih-milih baju apa yang akan dikenakannya. Kimberly bersiap-siap keluar rumah. Rambut teranyam rapi, wajah dipoles bedak dan lipstik tipis. Tubuh mungilnya dibalut rok lebar dengan panjang di bawah lutut serta sweter rajut berwarna peach yang serasi dengan tas selempangnya. Dia menelepon seseorang sembari memasang sepatu berhak datar warna krem. Tulisan Rich Man terpampang di layar ponselnya.
"Selamat pagi, Rich Man!!"
"Selamat pagi, Mis--Kimmy!" sahut Richard Lee alias Rich Man. Ia hampir memanggil Kimberly nyonya, karena ini adalah istri bosnya yang menelepon, tetapi ia teringat Kimberly lebih suka dipanggil Kimmy. Sebenarnya mereka juga kolega. Ia adalah senior Kimberly.
"Aku tidak masuk kerja hari ini, tolong gantikan kelasku, ya?"
"Alasannya?"
"Aku harus ke kantor polisi, untuk melaporkan seseorang."
***
Bersambung....