"Tidaaak! Dia nggak boleh lihat gue ada di rumah."
Itu suara motor dia. Aku sampai hafal. Dengan tergesa, aku bangkit dari sofa, memakai sandal rumahan dan berlari ke kamar seperti orang kesetanan. Mengabaikan panggilan Mbok Minah yang bingung dengan tingkahku. Ini urusan hidup dan mati. Aku tidak boleh bermain-main. Lelaki kumal satu itu ... oh tidak. Aku sedang malas menemuinya. Tidak pernah ingin.
"Kamu kenapa, sih, Ge? Kayak dikejar setan aja." Mama menghentikan langkah di depanku, membuat aku panik dan menoleh ke belakang. Semoga dia belum masuk rumah. Please, jangan. "Kenapa, sih noleh-noleh? Nyariin siapa?"
"Ma, toloong banget." Aku menggenggam tangan Mama, memasang wajah semenyedihkan mungkin. "Kalau nanti Rafa masuk rumah, nyariin Gea, tolong bilangin Gea lagi revisi skripsi dan nggak tau pulangnya jam berapa. Ya, Ma?"
"Kamu mau revisi lagi?"
"Pura-pura, Mamaaa. Gea ogah ketemu dia. Enggak banget. Please?"
"Iya iya. Terus sekarang kamu mau ke mana?"
"Kamar." Aku mengecup pipi Mama bergantian, mengucapkan terima kasih berkali-kali. Yang benar saja, lelaki itu tak gentar untuk mendekatiku. Padahal, aku sudah pernah menolaknya di waktu SMA. Kupikir, dia bisa sadar diri dan kapok, bukan malah tambah stamina.
Aku, kan, geli.
Didekati oleh lelaki yang tak kamu suka, bagaimana rasanya? Aku benar-benar kehabisan cara untuk memberhentikannya.
Namun, semua itu hanya berlaku sekitar lima tahun lalu, nyatanya sekarang aku berada di rumah ini, bersama lelaki yang dulu kutolak mati-matian.
Suara pintu yang terbuka membuat kesadaranku kembali. Memang menjadi hal yang sedikit ambigu, sih. Aku sering bernostalgia, memutar kembali semua memori bagaimana dulu perlakuanku terhadap Rafa. Namun, yang membuatku heran, dia itu gencar sekali meyakinkan kalau dia memang layak untukku.
Dan, lihatlah, siapa yang kalah sekarang.
Pastinya aku. Gea Samudera. Perempuan yang dulu menilai Rafa sebelah mata, kini menjadi pembela terdepannya. Salah dia juga, sih, kenapa harus semakin tampan? Aku sebagai perempuan yang waktu itu memang dalam masa pengobatan luka karena diduakan, dengan mudahnya luluh dan menganggap dia malaikat.
Kusebut saja itu takdir.
"Kok mukanya ditekuk gitu?" Aku berhenti di depannya, mengambil alih ransel dan sweater yang sudah ia lepas. "Masa istrinya dikasih wajah masam. Ih, nggak suka."
Tawa kecil Rafa bisa tertangkap indera pendengarku. Ia memelukku erat sekali. Wahai Tuhan, aku ingin bertanya satu hal: Kau mengalihfungsikan semua inderaku, ya? Rafa jadi terlihat manis, tawanya terdengar merdu, pun wangi lemonnya yang menguar dari tubuh terasa menyejukkan. Padahal aku tak suka Lemon.
"Ini kamu nggak pegel melukin aku kayak ulet gini?" kuelus punggungnya dengan sebelah tangan yang tak memegang ransel. Ranselnya lumayan berat ternyata. "Sambil duduk aja, ya?"
Ia mengangguk. Menuntunku berjalan ke arah sofa panjang, ia duduk di atasnya dan aku pun mengikuti. "Pusing, Ge."
"Aku pijetin sini."
Rafa menurut. Meletakkan kepalanya di atas pahaku, sementara sepasang kakinya ia biarkan memanjang hingga menjuntai di tangan sofa. Dia kelihatan kecil, ternyata kakinya panjang juga, ya.
"Mahasiswanya ribut terus di kelas, ya?" Aku mulai menggerakkan tangan di area kening dan belakang kepala. Rafa bilang, ia suka saat aku menyentuh kepalanya begini. Dia memanglah manis. "Apa yang cewek pada kecentilan?"
Aku sendiri heran. Mereka semua bisa tau nama akun media sosial Rafa dan milikku itu dari mana. Dan, sejak puluhan direct message masuk menerorku dengan pertanyaan 'Kok bisa nikah sama Bang Rafa sih? 'Lah, gue yakin ini mah pake dukun.' 'Anjir! Keriting begini pilihannya Bang Rafa?' dan ucapan-ucapan 'sweet' lainnya.
"Pendapat kamu tentang suami yang utang sama istri gimana, Wil?"
Jemariku berhenti bergerak, aku menunduk supaya bisa melihat langsung bola matanya. Ingat, jika ingin komunikasimu berjalan efektif, maka tatap muka masih yang terbaik. "What do you mean?"
Bukannya menjawab pertanyaanku dengan lebih menjelaskan maksudnya secara detail, Rafa malah tertawa kecil. Kan, aku jadi gemas. Kuberi ia hadiah satu kecupan manis di keningnya. Kecupan yang menghasilkan bunyi kecil. "Coba nyanyi Justin Bieber," pintanya. Tuh, mengalihkan topik lagi. Rafa dengan sikap usil manisnya.
"Ih jawab dulu, ah!" Aku mencubit hidungnya, yang kemudian tanganku malah ia genggam. "Jawab, Sayaaaang."
"Abangnya Andi ketangkep polisi. Jual beli emas gitu. Dan, buat nebusnya butuh sekitar delapan puluh lima juta." Satu lagi, sekaget apapun kamu mendengar sebuah informasi, jangan potong ucapan mereka yang sedang bercerita. Mengerti? "Keluarganya lagi kacau, Ge. Abangnya itu nggak punya tabungan karena baru beli rumah. Andi baru lunasin mobil. Dia cuma punya tiga puluh, dan anak-anak bisa ngumpulun uang sekitar dua puluh. Dia mau pinjem aku tiga limanya." Rafa mengecup jemariku berkali-kali. "Aku boleh pinjem uangmu dulu?"
Aku tersenyum lebar, tanpa pikir panjang, selanjutnya yang kulakukan hanya mengangguk antusias. "Aku punya, uang segitu mah." Sedetik, aku langsung diam, setelah melihat Rafa tersenyum miris, ia terlihat kecewa. "Maksudku, seberapa pun uangnya, aku pengin bantu temenmu, Raf. Maaf, salah ngomong." Rafa sedikit sensitif mengenai uang dan pembahasan derajat. Aku tidak ingin melukainya.
"Kok minta maaf?" Ia mengangkat kepalanya dari pahaku, membenarkan duduknya menjadi menghadap ke arahku sempurna. "Nanti, kalau udah ada gantinya, aku balikin, ya?"
"Ih, aku nggak suka!" Aku mencebik kesal. Mencoba memperlihatkan kalau aku benci kalimatnya barusan. Bukankah uangnya adalah milikku, pun sebaliknya. Jadi, kenapa harus ada janji untuk segera mengembalikan pakai uangnya? "Kalau mau itung-itungan gitu, berarti selama tiga bulan ini, utangku banyak dong ke kamu?"
Bukan hanya tawa kecil, kini Rafa bahkan terbahak. Ia mengacak rambutku. Nyangkut pasti itu jarinya. "Itu beda, Honey. Kalau kebutuhanmu ya emang aku yang tanggung. Tapi, kalau suami yang pakai uang istri, itu agak nggak logis."
"Siapa yang bilang nggak logis?"
Rafa diam. Mengerutkan kening.
"Stigma itu yang bikin ya ego para lelaki selama ini. Nggak ada hukumannya kok suami pakai uang istri. Toh itu tabungan istrinya yang mungkin mereka dapet dari uang suami juga."
Rafa bertepuk tangan. Sekarang, giliran ia yang membuatku bingung. "Kok pinter, sih?" godanya. Ih, dia sering sekali membuatku malu. "Sumpah, kalau lagi malu-malu gitu, ngegemesin banget, Ge!"
Aku terkikik geli, saat Rafa menyurukkan wajahnya di rambutku. Dia tidak takut matanya kecolok oleh sapu ijuk ini? "Rafa turunin!" Aku tersentak saat merasakan tubuhku terangkat. Yang benar saja dia mau menggendong bayi besar begini. "Kamu katanya tadi capek?"
Senyumannya lebar. Ia mengecup mataku singkat. Geli.
"Jangan pernah bilang utang sama aku lagi, ya, Raf? Itu haram buat aku, nggak baik dan nggak suka."
Kepalanya mengangguk. Ia berjalan, membawaku masuk ke dalam kamar.
Saat memutuskan menikah, kau harus sudah siap berbagi. Semuanya.
to be continued ...