Kuali Terbang

538 Words
Aysa mengambil sapu tangan, mengelap cairan di hidung Haris. Seingat Aysa, lemari sudah dikunci semua, lalu dari mana Haris menemukan benda keramat miliknya itu? Aysa baru ingat, bra itu pagi tadi dia jemur di jemuran belakang rumah. Haris pasti menarik dari sana. Kreatif sekali. “Kamu kenapa mainannya ayunan sih, Haris? Kamu kan laki-laki? Duuuh…” Aysa menjawil hidung Haris. Yang dijawil diam saja. Aysa meletakkan tas ke meja, lalu merapikan ruangan. Lima belas menit, ruangan pun rapi. “Jangan dibikin berantakan lagi ya! Kalau ada yang berantakin, hidungnya dijepit nanti.” Aysa berpesan pada lima calon penerus bangsa yang ganteng-ganteng. Aroma wangi masakan membuat perut Aysa terasa lapar. Pasti Tantenya sedang memasak. Aysa bergegas ke dapur, mengikuti aroma masakan yang menggugah selera. Masakan Tantenya memang top, selalu lezat, tidak kalah dengan masakan restoran. “Masak apa, Tan?” Aysa mendekati Hanum, tantenya yang sedang berjibaku dengan kuali. “Opor ayam,” jawab Hanum yang wajahnya berkeringat. Wanita itu pasti kerja keras. Setiap hari begitu. Ia memasak bukan hanya untuk Aysa dan lima bocah cilik itu, melainkan juga untuk beberapa orang yang mengontrak di rumahnya. Setelah ditinggal suami menghadap Tuhan, Hanum harus bekerja keras. Dan satu-satunya pemasukan yang bisa ia dapatkan adalah dengan mengontrakkan rumah peninggalan suami. Rumah itu memang kecil, tapi ia masih bisa mengakalinya dengan memberi pembatas menggunakan triplek. Sehingga tempat tinggal antara pemilik rumah dan pengontrak ada pembatasnya. Dari situlah Hanum mendapatkan pemasukan setiap bulannya, meski tidak banyak, tapi cukup untuk biaya hidup, menyekolahkan Aysa dan anak-anaknya. “Hmm… enak tuh.” Nafsu makan Aysa naik melihat opor ayam buatan tantenya. “Jangan maunya makan doang, cuci piring sana! Kemas tuh kulit bawang di lantai. Sudah itu, bersihin kompor. Tante udah capek banget ini,” celetuk Hanum panjang lebar. Tidak heran, Hanum memang cerewet. Namun Aysa sudah terbiasa. Resiko menumpang hidup dengan tantenya, sudah menjadi kewajibannya juga membantu Tantenya. Biar pun cerewet, tapi tantenya adalah orang paling berjasa di hidupnya, rela membiayai kuliahnya. Bahkan marah besar waktu dulu Aysa sempat berpikir tidak ingin melanjutkan ke bangku kuliah setelah lulus SMA. “Iya, Tante yang paling bohay. Aysa nyuci piring, nih.” Aysa melipat ujung lengan. Menaikkan celana panjang. Lalu menuju ke wastafel untuk segera mencuci piring. “Tuh, sekalian kualinya!” Hanum melempar kuali sampai menimbulkan suara berisik. Berikutnya sutil dan serokan pun terbang dan mendarat manis di atas kuali. Tak ayal, suaranya sudah mirip seperti orang perang. “Tan, jangan ngamuk! Banting aja semuanya!” seru Baim, pria yang mengontrak di rumah itu. posisi kamarnya yang berada tepat di sebelah dapur, membuatnya jantungan setiap kali Hanum melempar-lempar peralatan masak. Kuali berikutnya terbang dan… Braang! Mendarat cantik di atas kuali kotor lainnya. Baim di sebelah sampai menggelinding jatuh dari kasur. Duh… Untung saja penghuni rumah muda semua, tidak ada yang nenek-nenek. Kan gawat kalau sampai jantungan gara-gara peralatan tempur dapur tante Hanum. Aysa melirik ke pintu, tampak lima bocah berderet di pintu. Menatap heran pada kegaduhan di dapur. “Jangan pada ngeliatin! Bubar sana! Emang begini kalau mama kalian lagi masak, genteng rumah pun bisa terbang dibuatnya. He heee…” celetuk Aysa. “Aysa! Mau ditambahin kuali kotornya?” tegur Hanum yang tidak ingin dijadikan bahan lelucon. “Ups, jangan. Maaf, Tan! Becanda!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD