"Para penumpang diharapkan agar tetap tenang dan mengikuti intruksi, jangan panik," ucap pramugari yang berusaha tetap tenang dan profesional dikala keadaan genting seperti itu, namun sepertinya ucapan pramugari sudah tidak mempan orang-orang tetap berteriak histeris.
Tidak dipungkiri dibenak Dayana sekarang adalah hanya ingin selamat dan mendarat tanpa kekurangan suatu apapun. Seketika ia melupakan semua masalah yang ada saat ini, ia hanya berdoa dan berharap bisa bertemu dengan kedua orang tuanya, berkumpul walaupun ia tidak pernah dianggap anak oleh mereka.
"Ka, bangun!" ucap seseorang menggoyangkan bahu kanan Dayana, ia merupakan anak kecil yang duduk disebelah Dayana. Gadis itu mengerjapkan matanya perlahan sambil mengusap-usap wajahnya terlihat sekali bahwa ia terkejut.
Dayana menatap sekelilingnya yang sangatlah damai, beberapa orang sedang mengobrol dan lainnya ada yang tertidur dalam perjalanan menuju Australia. Dayana menghembuskan nafasnya lega, itu hanyalah mimpi ia dan pesawat yang ditumpanginya masih berjalan dengan lancar.
"Terima kasih ya udah bangunin kakak," ucap Dayana sambil mengusap rambut gadis kecil disebelahnya. Ia mengangguk pelan kemudian tesenyum dan melanjutkan tidurnya lagi di dalam pesawat, sepertinya Dayana mengigau tadi sampai anak kecil itu terbangun.
Hari semakin sore, lampu-lampu terlihat mulai nyala dipenjuru bumi yang mengalami malam, Dayana memandangi semua itu dengan rasa hampa. Sekarang ia pulang dengan kenyataan yang pahit, entah bagaimana jadinya jika ia bertemu lagi dengan papanya di Australia pastinya akan canggung sekali.
Sementara, Alexander beberapa kali menelepon Dayana ingin memastikan bahwa Dayana dalam keadaan baik-baik saja, namun ponsel gadis itu terus saja tidak dapat dihubungi membuat Alex semakin gelisah, pasalnya Dayana belum terlalu paham negara Indonesia dan gadis itu dengan percaya diri kabur dari hadapannya sendirian.
"Sial, kenapa wanita-wanita ini selalu membuatku frustasi?" ucap Alex sambil membanting pelan ponselnya ke sofa. Ia masih tak percaya bisa hidup ditengah-tengah wanita rumit seperti mereka berdua.
Disisi lain, Sena membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia masih tidak bisa berpikir jernih mengapa ada orang yang bisa mengetahui tempat Mbah Momo, padahal tempat tersebut lumayan terpencil disudut kota. Dan kenapa harus Alex yang mengetahui itu?
"Sempit sekali dunia ini, kemana pun aku pergi rasanya tidak pernah bisa lepas dari pantauan Alex! Aku seperti anak kecil yang terus diikuti dan diintrogasi jika salah," ujar Sena sambil menyesap air putih dingin yang baru saja ia ambil dari kulkas. Tidak ada yang lebih nikmat selain meminum air dingin langsung dari kulkas untuk menyegarkan pikiranya yang mumet.
Kring!
Ponsel Sena berdering dengan nyaring, ia melirik ke aras ponselnya kemudian mengerutkan dahinya.
"Alex telepon aku? Dia mau minta maaf?" tanya Sena pada dirinya sendiri, ia menyangka bahwa Alex ingin meminta maaf padanya karena permasalahan tadi.
"Ya, halo? Ada apa lagi?" tanya Sena mengangkat telepob tersebut sambil masih meneguk air putih yang masih dingin tersebut.
Namun, seketika Sena terbatuk-batuk saat ia mendengar apa yang dikatakan Alex.
"Kamu sudah gila ya? Ngapain tanyain Dayana ke aku? Kamu kira aku emaknya?" Tentu saja pertanyaan Alex membuat Sena naik pitam karena mengira bahwa Alex akan meminta maaf padanya, sepertinya ia mulai sekarang harus berusaha agar tidak mudah terbawa perasaan dengan apa yang dikatakan Alex.
"Ck, kau sekarang lebih mudah marah, seperti ibu-ibu," ucap Alex kemudian mematikan telepon tersebut secara sepihak. Mata Sena membulat ketika mendengar kata "ibu".
"Hah? Dia ini menyindirku atau bagaimana sih? Dia pikir aku ibu-ibu atau karena aku telah menggugurkan janin ini makanya dia berkata seperti itu?" tanya Sena sambil menatap layar ponselnya, ada rasa sebal dengan perkataan Alex karena menyinggung dengan kata yang sedang ia hindarkan itu.
Alex merasa bersalah pada Dayana ia juga merasa iba karena Dayana saat ini benar-benar hanya seorang diri, kedua orang tuanya sangatlah egois membuat dia harus rela berdiri seorang diri di usianya yang masih terbilang muda.
Alex akhirnya memilih untuk menunggu saja kabar dari Dayana, atau paling tidak sampai ponsel gadis itu bisa dihubungi.
"Halo, Joe, kamu gak usah ikutin Sena lagi ya, biarin aja dia mau kemana. Untuk p********n aku akan segera transfer uangmu hari ini, terima kasih telah bekerja sama," ucap Alex yang memutuskan untuk tidak mengikuti kehidupan Sena lagi dan sepertinya ia akan kembali ke Australia untuk memulai hidup baru tanpa Sena.
Hati Alex sudah benar-benar kecewa pada Sena, walaupun tidak bisa ia pungkiri bahwa ia masih sangat khawatir dengan keadaan Sena di Indonesia, tapi setidaknya ia tidak harus pusing lagi dengan Sena yang keras kepala dengan ia ke Australia pastilah lambat laun dirinya akan mudah untuk move on.
Menganggap Sena masa lalu adalah hal yang buruk, namun ia harus tetap waras untuk menjalani hidup.
Sementara disisi lain, Delya masih memikirkan keputusannya menceraikan Richard ia masih belum siap dengan omongan publik yang tentu saja bisa menyakiti keluarganya terutama anak-anaknya yang masih kecil.
'Pikirkanlah baik-baik keputusan mama sebelum menceraikan papa, kita tidak bisa terlalu menyalahkan papa atas kejadian ini. Semua manusia pasti pernah khilaf'
Kalimat Dayana memang benar, namun tetap saja hal tersebut bertentangan dengan prinsip Delya.
'Apapun dapat dimaafkan, kecuali perselingkuhan'
Dan Delya sangat yakin atas keputusannya ini walaupun ia paham pasti publik sangatlah kaget, yang ia butuhkan saat ini hanyalah kesiapan mental menjadi omongan publik tentang penyebab retaknya rumah tangga mereka dan juga status barunya nanti saat sudah bercerai, tentu saja hal itu benar-benar harus dipersiapkan karena cukup menganggu kewarasannya saat itu tiba.
Beberapa kali wanita beranak tiga itu memandangi foto keluarganya saat dulu masih baik-baik saja, sifat family man Richard sudah benar-benar hilang dari diri orang yang Delya kenal dulu, seiring waktu semuanya telah berubah.
"Ke mana kamu yang dulu? Aku kangen saat semuanya masih baik-baik saja," ucap Delya dengan wajah sendu, tidak ada lagi keluarga yang utuh, yang ada hanyalah Delya dan Richard yang terpisah.
Beberapa hari ini Delya memang disibukkan dengan pertimbangannya untuk menggugat cerai Richard, apapun yang Richard lakukan ia tetaplah Richard orang yang sangatlah Delya sayangi dan pria itu juga bagian dari anak-anaknya yang tak dapat dilupakan begitu saja, terlebih untuk anak-anaknya yang masih kecil pastilah hal ini sangat berat.
"Kamu yakin akan menggugat cerai Richard? Gak kasihan anak-anak?" tanya wanita paruh baya yang duduk di sebelah Delya, ibunya meragukan keputusan Delya saat ini, ia tidak mau karena hal tersebut kepercayaan diri kedua cucunya menjadi rendah hanya karena kedua orang tuanya yang berpisah.
Prang!
Suara piring jatuh membuat Delya dan ibunya terkejut. Mata mereka sekarang terfokus pada sumber suara, namun langkah Delya terhenti dibalik tembok ruang tamunya.