“Kau beruntung, jika tidak ada Luois maka proyek itu akan hancur!”
Ucapan Armand Dirgantara membuat Lukas menghentikan suapannya di tengah jalan. Saat itu adalah saat makan malam keluarga, ketika Armand, Lukas dan Louis sedang duduk bersama di meja makan.
Lukas yang awalnya kelaparan kini mendadak saja kehilangan napsu makan. Dia meletakkan kembali sendoknya di atas piring makan malam yang masih separuh penuh.
“Maksud Ayah?”
“Louis telah membuat Alexis Maxwell berubah pikiran. Dia berhasil membujuk gadis itu untuk menanam modal investasi ke produk kita. Kalau dia tidak ada, maka entah bagaimana nasibmu, Lukas!”
Ucapan itu membuat kemarahan Lukas tersulut lagi.
“Oh, ya? Trims, malaikat penyelmatku, Louis tersayang!” ucap Lukas dengan maksud menyindir.
Louis tersenyum penuh kebanggaan diri. Dia sama sekali tidak menggubris sindiran Lukas.
“Tentu saja, aku harus mengambil alih tanggung jawab besar yang harusnya kau lakukan, karena kau terlalu sembrono!” balasnya dengan telak.
Lukas mendelik menatapnya, seakan ingin menelannya saat itu juga.
“Jadi, Alexis berinvestasi ke perusahaan? Hebat! Aku heran bagaimana kau bisa membujuknya, Luois!”
“Itu mudah!” ucap Louis dengan sombong. “Dia langsung berubah pikiran sejak melihatku.”
“Astaga, dia pasti tertarik padamu kalau begitu?” sindir Lukas lagi.
“Tentu saja,” kata Louis bangga. “Dia bahkan memperhatikan penampilanku dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Kau tahu itu? Dia mungkin saja menolakmu karena tingkah lakumu itu!”
Lukas bangkit berdiri karen tidak terima dengan ucapan kasar adiknya. Dia baru saja hendak membalas dengan kata-kata yang kasar.
BRAKKK!
Armand menggebrak meja dengan keras, membuat kedua putranya terdiam. Lukas menoleh kepadanya dengan marah.
“Cukup! Jangan ribut lagi!” ucapnya dengan tegas.
“Dia yang memulai!” tunjuk Lukas pada sang adik.
Louis mendengus geli. “Bukankah kau yang duluan? Aku kan hanya mengatakan fakta yang sebenarnya saja.”
“Kau—“
“Cukup! Lukas, aku ingin kau pergi ke kamarmu sekarang juga!” bentak Armand dengan nada tak ingin dibantah.
Lukas menyipitkan mata menatap ayahnya berang. “Kau selalu membelanya. Tentu saja, karena dia adalah anak favoritmu, bukan?”
“Ucapanmu kasar sekali, Luke. Kau sungguh tidak sopan. Sebaiknya kau belajar tentang tata krama sebelum pergi keluar rumah. Itu akan membawa masalah bagimu, seperti hari ini.”
Lukas mengepalkan kedua tangannya, geram tapi tak berdaya.
“Baiklah, aku sudah muak dengan semua ini!” ucapnya seraya bergegas pergi.
Begitu sampai di kamar, dibantingnya pintu kamar dengan keras. Dia melampiaskan kemarahannya agar didengar oleh Armand.
Kemudian Lukas melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur yang empuk. Dia rebahan sambil menatap langit-langit kamar yang tinggi di atas. Kemarahannya semakin memuncak, tidak berkurang sedikitpun. Dia merasa marah setiap kali mengingat wajah Louis yang percaya diri. Juga wajah sang ayah yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan adik brengseknya itu.
“Tunggu saja, aku akan membalas kalian suatu hari nanti!” geramnya penuh tekad.
Lukas terpaksa tidur dengan perut belum kenyang malam itu. Dia gelisah dalam tidurnya, karena merasa lapar kembali. Gara-gara si b******k itu, dia harus meninggalkan meja makan sebelum waktunya. Sebenarnya, ini bukan yang pertama kali. Dia sering kali seperti ini jika berdebat dengan Louis di meja makan. Dan selalu saja Louis yang dibela oleh ayahnya.
Lukas mengendap-endap keluar ke dapur untuk mencari makanan.
Dari kegelapan, tiba-tiba saja lampu dapur menyala begitu terang. Lukas sempat mendengar bunyi klik tombol lampu.
Cahaya terang mendadak membuat Lukas mengerjapkan mata silau. Di dekat kulkas, dia melihat Louis berdiri bersandar dengan tangan bersedekap di depan d**a.
“Mau ngapain, kau?” ucap Lukas dengan ketus.
“Kamu pasti kelaparan, kan?” sindir Louis dengan cengiran lebar.
Lukas diam tak menjawab, tetapi menatap saudaranya dengan sengit.
“Minggir!” tukasnya ketus.
Louis minggir dari kulkas, tapi masih nyengir menatap Lukas.
“Kau tak ingin berterima kasih padaku karena menyelamatkan proyekmu hari ini, Luke?”
Lukas yang sedang menggerayangi isi kulkas, memutar bola matanya jengkel.
“Trims,” ucapnya setengah hati. “Lain kali kau tak usah muncul. Aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri.”
“Benarkah? Aku ragu, Luke. Alexis Maxwell bukanlah tipe gadis yang mudah. Apalagi dalam hal berbisnis.”
Louis berucap seolah-olah dia mengenal Alexis dengan baik saja.
“Ngomong-ngomong, kalau kau butuh bantuanku dalam proyek, katakan saja. Aku pasti akan membantumu.”
Lukas membanting pintu Kulkas hingga menutup dengan keras. “Tak usah.”
“Apa kau yakin? Kau tidak akan mengacaukan proyek ini seperti kau mengacaukan presentasi?”
Lukas berbalik dan menghadapi saudaranya dengan mendongak, sebab tinggi Lukas memang berselisih sedikit dengannya.
“Aku bisa sendiri, Lu! Kau tak perlu ikut campur!”
Louis mengangkat bahunya dengan tak acuh.
“Yah, aku kan hanya mencoba untuk menawarimu bantuan. Itu saja. Jangan sungkan-sungkan padaku, Luke. Aku bersungguh-sungguh.”
Lukas memakan sebuah cake dingin dari kulkas, dengan kening berkerut heran. Dia berpikir mengapa Louis begitu ngotot ingin membantuanya. Ini aneh sekali. Karena sepanjang pengetahuannya, Louis tak akan mengulurkan tangan untuk membantu tanpa ada maksud tersembunyi di baliknya. Ibarat pepatah, ada udang di balik bakwan!
“Kenapa kau ingin membantu?” selidik Lukas dengan tajam.
“Sebagai saudara yang baik, aku kan harus begitu?”
Ucapan itu jelas bukan maksud yang sesungguhnya. Lukas memicingkan matanya berusaha menyelami adiknya itu.
“Katakan dengan jujur, apa yang kau inginkan?”
“Tak ada, Luke. Sungguh, aku hanya ingin menolongmu. Aku tak ingin proyek besar perusahaan harus kacau karenamu.”
Proyek itu memang bernilai cukup besar. Tapi, Louis tak akan sepeduli itu kepada perusahaan. Dia hanya akan memikirkannya jika itu menyangkut reputasi baiknya.
“Apa kau mengincar proyek ini? Kau ingin menyingkirkan aku?” tuduh Lukas tanpa basa-basi lagi.
Louis mengangkat kedua alisnya tinggi, tapi tak menjawab.
“Benar kan? Kau mengincar proyek ini? Tapi kenapa, Lu?”
Louis tersenyum samar, bersikap sok misterius.
“Aku ingin proyek itu, Luke. Kalau kau memberikannya padaku, maka aku akan menggantikan dirimu dengan senang hati.”
Lukas menatapnya tajam. Proyek itu tidak akan membuat Louis begitu terpengaruh. Itu sama seperti proyek-proyek lainnya. Lantas kenapa dia begitu menginginkan proyek yang sedang Lukas tangani?
“Kenapa kau menginginkannya? Bukankah proyek-proyekmu sudah cukup banyak?”
Louis tertawa ringan. Dia bergerak mendekat dan merangkulkan sebelah tangannya ke bahu Lukas.
“Dengar, aku punya beberapa proyek yang lebih baik. Bahkan ada yang memiliki prospek bagus untuk pengembangan karirmu. Kalau kau mau menukarnya dengan proyekmu, maka aku akan melepaskannya. Bagaimana?”
Tawaran itu terdengar semakin mencurigakan. Lukas menampik tangan Louis dan melangkah mundur.
“Tidak akan kuberikan jika kau tak mau memberitahu aku apa alasannya!”
Kali ini Louis tak bisa berkutik. Lukas menang satu langkah di depannya.
“Baiklah, aku akan memberitahumu. Alasannya adalah gadis itu.”
“Gadis?”
“Ya, Lukas! Alexis Maxwell. Dialah alasanku. Kurasa, aku jatuh cinta kepadanya!”