“Jadi, kenapa aku harus melakukan investasi ke perusahaan Anda?” tanya Alexis dengan nada sedingin es.
Presentasi itu berjalan dengan kaku. Lukas membawakan materi dengan cukup baik, meski tidak sebaik yang diharapkannya. Sebenarnya dia sudah menyiapkan presentasi ini sejak seminggu lalu. Seharusnya dia bisa melakukannya dengan begitu mudah.
Dia sudah bisa membayangkan bagaimana dia akan membawakan materi hari ini dengan wajah penuh semangat dan ceria, karena proyek ini cukup besar baginya. Tapi bagaimana dia bisa tahu bahwa klien utama yang akan dia hadapi adalah Alexis?
“Jika Anda berpikir logis, maka Anda pasti bisa melihat betapa menguntungkannya melakukan investasi terhadap produk kami. Jika tidak, maka sepertinya Anda kurang pandai dalam menilai.”
Jawaban itu terdengar tidak menyenangkan, terutama di telinga Alexis. Tentu saja klien akan merasa risi dan tidak senang mendengar kata-k********r Lukas. Bahkan Armand sendiri duduk dengan kepala tertunduk malu, sementara rahangnya terkatup rapat. Mengatai klien kurang pandai tentu tidak bagus. Louis, yang duduk di dekat Alexis, diam-diam tersenyum senang melihat kegagalan kakaknya.
“Apa maksud Anda?” pancing Alexis dengan nada tetap datar meski hatinya sudah marah.
Gadis itu duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Dia selalu berusaha untuk menjaga wajahnya tetap datar agar tidak menunjukkan emosi dan perasaan pribadinya.
Meski dilanda keterkejutan ketika melihat tampang lelaki kurang ajar itu, namun Alexis dengan cepat bisa menguasai diri. Dia tak menunjukkan tanda-tanda pengenalan terhadapnya. Padahal sebenarnya, di dalam hati dia merasa geram dan terbakar. Amarahnya memuncak seketika Lukas berkata kepadanya dengan tidak sopan. Dia pikir, siapa dirinya?
“Yah ... Tidak ada maksud tertentu. Hanya menunjukkan bahwa investasi untuk produk kami adalah keputusan yang terbaik.”
“Begitu?” ucap Alexis dengan nada skeptis. “Lalu, jika saya tidak ingin melakukan investasi itu, bagaimana?”
Lukas dapat merasakan tatapan tajam sang ayah yang tertuju kepadanya. Lukas mengangkat dagu tinggi, mencoba tidak terpengaruh.
“Maka itu sebuah kerugian besar ....”
“Kerugian untuk siapa?” tanya Alexis ingin menggodanya.
“Untuk Anda, dan saya juga tentunya.”
Jawaban Lukas yang sederhana dan apa adanya memancing reaksi tawa kecil dari Louis. Pria bertubuh jangkung itu menggelengkan kepalanya sembari menatap Lukas, seakan ingin meledek kakaknya.
Lukas merasa geram, terutama karena sang ayah terus menatapnya dengan begitu tajam.
“Well, saya rasa saya tidak akn merasa rugi untuk itu. Produk Anda sebenarnya bagus, tetapi attitude Anda kurang.”
Lukas memicingkan mata terhadap gadis itu, merada heran dengan ucapannya.
“Maaf, tapi apa hubungnnya produk dengan attitude?” sergah Lukas tak terima.
“Jika attitude si pemilik produk tidak baik, maka saya akan meragukan kualitas produk itu. Lagipula, sebagai rekan kerja, saya rasa attitude itu yang paling penting!” jelas Alexis dengan penekanan.
“Eh, begini, Miss Alexis, mungkin saya bisa membawakan presentasi yang lebih baik dari pada Lukas. Dia masih muda sehingga belum terlalu memahami bidangnya.”
Alexis mengangkat sebelah tangannya, mencegah Armand berbicara lagi.
“Ini sudak cukup,” jawab Alexis dengan cuek.
“Tapi, bagaimana dengan keputusan Anda?” tanya Armand.
“Saya tidak bisa menanam modal untuk produk ini.”
Alexis bangkit berdiri. Dia membuat Armand merasa kecewa.
“Tapi, Miss –“
Louis berdehem menyela. Dia juga berdiri di dekat Alexis, kemudian tersenyum dengan penuh wibawa.
“Anda belum memperhitungkan untung-ruginya dengan produk kami, Miss. Saya memiliki tabel perhitungannya dengan tepat. Anda ingin melihatnya?”
Ucapan Louis membuat Alexis memutar badan. Dia memperhatikan penampilan laki-laki itu dengan seksama. Rapi, tampan, dan penuh perhitungan. Dari nada bicaranya juga dia terdengar begitu percaya diri. Sepertinya dia tipe pria yang bisa dipercaya.
“Mengapa?” pancingnya lagi.
“Karena Anda belum mendengar keseluruhan spekulasinya. Jika Anda sudah mendengarnya dan tidak merasa tertarik, saya rasa itu akan aneh sekali.”
Ucapan yang memancing rasa penasaran. Loius cukup pandai untuk membujuk Alexis yang merasa marah.
Dia mengangguk dengan kalah. “Baiklah. Saya akan pergi melihatnya.”
“Anda bisa datang ke ruangan saya, Miss. Silakan Anda duluan. Sekretaris saya akan memandu Anda.”
Alexis menurut. Dia berjalan keluar dengan cepat, diikuti oleh dua orang sekretaris pribadi dan dua orang bodyguard. Dia pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
Armand menghela napas lega, kemudian menepuk bahu Louis dan mengangguk bangga.
“Buatlah dia senang, Lu!” ucapnya pada putra keduanya. Dia sengaja melirik sosok Lukas yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Louis tersenyum lebar, merasa puas. Semua orang sudah meninggalkan ruang rapat, termasuk ayahnya. Louis menatap sang kakak dengan wajah sumringah yang tidak menyenangkan. Membuat api di dalam diri Lukas membara perlahan-lahan.
“Dasar sombong!” umpat Lukas dengan marah.
Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Dia terus menatap kepergian Louis dengan tatapan tajam penuh kebencian.
“Awas saja kau, dasar tukang pamer!” ucapnya lagi.
Lukas duduk di kursinya, dengan kepala berdenyut-denyut nyeri. Ini adalah akibat dari insomnianya semalam. Dia hanya sempat tidur selama beberapa jam sebelum alarm berbunyi memekakkan telinga. Kepalanya terasa pusing dan berat, namun dia sudah memaksakan diri bangun demi menghadiri rapat penting ini. Tapi lihat apa yang terjadi!
Gadis angkuh itu tiba-tiba saja datang dan menjadi klien utamanya!
Itu benar-benar sulit dipercaya. Lukas merasa geram mengingat reaksi Louis yang terus meledek dirinya di depan sang ayah dan gadis itu. Sementara si gadis, sepertinya memang sengaja berusaha membalaskn dendam terhadapnya.
“Ah, s**l!” teriak Lukas di ruangan yang kosong. “Kenapa aku harus bertemu dia lagi di sini?”
Lukas dapat membayangkan kemarahan Armand Dirgantara setelah ini. Dia pasti akan menjadi bulan-bulanan dan bahan olokan di meja makan.
Kemarahannya semakin memuncak, teringat ada taruhan yang dia lakukan dengan teman-temannya semalam. Kalau saja dia bisa menaklukkan hati gadis angkuh itu, maka dia akan bisa menyelesaikan semua masalahnya sekaligus.
Memenangkan taruhan, mendapatkan kembali posisinya di kantor dan kebanggaan di mata sang ayah. Itu semua akan dia dapatkan jika dia berhasil memikat gadis bernama Alexis itu.
Lukas tersenyum samar, sembari memutar-mutar kursinya dengan riang.
“Tunggu saja, Alexis! Aku akan membuat dirimu bertekuk lutut di depanku!” ucap Lukas berikrar kepada diri sendiri.
Tapi sebelum itu, dia harus mencari cara untuk dapat mendekati gadis itu. Bagaimana caranya?
Lukas bangkit berdiri, lantas segera pergi ke ruangannya. Dia harus mulai mencari tahu segala sesuatu tentang Alexis dulu. Jika dia mengetahui banyak hal tentangnya, maka akan lebih mudah untuk mencuri hatinya. Lukas harus bertindak hati-hati, menghadapi putri es yang dingin itu.
Tapi, dia begitu percaya diri akan bisa melakukannya. Dan jika dia berhasil mencengkeramnya, maka dia tidak akan melepaskan gadis itu, meski dia memohon-mohon sekalipun!