Daren pergi dari rumah

1296 Words
Setelah sampai di kantor, Daren langsung menuju ruang kerjanya dan mulai sibuk dengan tumpukan dokumen yang harus dia periksa. Dia mendengkus menatap tumpukan dokumen yang sudah menjadi makanannya selama 2 tahun ini. Ya, begitulah kerjaan Daren setiap hari, memeriksa berbagai dokumen, bertemu dengan dewan direksi perusahaan lain baik itu perusahaan dalam negeri ataupun luar negeri, dan berbagai pekerjaan lainnya. bahkan dalam satu bulan dia bisa pergi ke berbagai negara beberapa kali, belum lagi mengurus urusan kakak pertamanya, Dafi. bila ada orang yang menginginkan hidup seperti Daren, mungkin dengan senang hati dia akan menukarnya. Tok tok tok! Tok tok tok! "masuk." ucap Daren tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen itu. seorang pria bertubuh tinggi tidak jauh berbeda dengannya langsung masuk dan dengan santainya merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan itu. Daren melirik sebentar, dia kembali sibuk mengecek dokumen di depannya, dia sudah terbiasa dengan kelakuan sesuka hati sahabatnya itu. "ayo makan!" ajak pria itu yang sudah mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk tegap. "aku sibuk." tolak Daren tanpa melihat kearahnya. "Aish! aku ini paman kamu, berlakulah sopan sedikit." cibir pria yang bernama lengkap Krisna Arya Narendra itu. Daren hanya memutar bola matanya, apa pria yang berdiri di depannya ini sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan? memintanya berlaku sopan sedang dia sendiri? Daren tidak habis pikir kenapa tantenya itu bisa menikah dengan pria yang menyebalkan seperti Krisna. Krisna adalah kakak tingkat Daren di Universitas saat mereka kuliah dulu. Usia mereka memang terpaut cukup jauh lima tahun. Namun, karena Daren memiliki otak yang pintar dia bisa menyelesaikan SMP-nya hanya dalam kurun waktu satu tahun, sedangkan untuk SMA dia hanya membutuhkan waktu dua tahun saja. Sedangkan Krisna sempat menunda kuliahnya beberapa tahun karena memilih bekerja dahulu. Dan, ya, sekarang dia telah berganti status menjadi pamannya. Krisna menikahi Aura dua tahun yang lalu. Saat itu memang Daren yang mengenalkan Krisna pada tantenya. namun, Daren tidak menyangka bahwa perkenalan itu akan berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. meskipun Krisna adalah pria menyebalkan dalam kacamatanya, tapi dia lega tante kesayangannya menikah dengan orang yang tepat. Daren yakin Krisna akan membahagiakan Aura, dan jarang melupakan perhatian Aura padanya. "Aish! percuma saja aku mengajak manusia robot ini." gerutu Krisna menatap jengkel keponakannya. entah sudah berapa kali dia mengajak Daren makan, Daren hanya mengatakan iya dan nanti. Krisna merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang, sepertinya dia harus menelpon pawangnya langsung. hanya dua kali suara getaran, seseorang di seberang sana sudah mengangkatnya dan Krisna langsung mengadu padanya. Krisna tersenyum penuh arti sambil memberikan ponselnya pada Daren, sedangkan Daren menatapnya dengan kesal karena dia sangat tahu arti dari senyuman itu. "Daren, ikut Mas Krisna makan! kamu ini kebiasaan banget." ucap Aura sedikit berteriak seperti seorang ibu yang sedang memarahi putra kecilnya yang nakal. Daren melirik tajam ke arah pamannya yang sekarang sedang menahan tawanya seperti seekor elang yang siap mencabik-cabik mangsanya. "Iya." hanya tiga huruf dan Daren langsung mematikan sambungan telponnya. "Ayo!" Krisna langsung menarik tangan Daren untuk meninggalkan ruangan kerjanya agar ikut makan siang bersamanya di kafetaria kantor. seakan tidak pernah lelah membuat seorang Krisna kesal, Daren kembali berulah dengan tidak memesan makanan. dia hanya memesan segelas kopi espresso untuk waktu makan siangnya. "kenapa aku harus memiliki ponakan yang menyebalkan seperti kamu." ucap Krisna mengeluh sambil menatap pria yang ada di depannya. "ceraikan saja." ucap Daren yang langsung mendapat toyoran darinya. Dingin, galak, bermulut tajam, itulah Daren. "aku dengar Dafi melamar Linsay, apa itu benar?" tanya Krisna ragu, karena dia yakin Daren tidak menyukai pertanyaan ini. Namun, mau bagaimana lagi rasa penasarannya sudah diambang batas. Seakan tidak mendengar apapun, Daren meneguk kopi espressonya dengan santai, tapi sangat jelas sekali sorot matanya yang awalnya cerah berubah seketika menjadi redup tidak bercahaya. Krisna hanya bisa menghela napasnya prihatin. "itu artinya k--" "waktu istirahat aku sudah habis, permisi." potong Daren dan langsung pergi meninggalkan Krisna. "aish!" anak itu entah berapa puluh kali Krisna mengerutu hari ini, dia sengaja meninggalkan urusan kantornya karena Aura terus menghubunginya untuk mengajak ponakan kesayangannya itu makan siang. Dan sekarang apa yang terjadi? ponakannya itu malah membuatnya kesal sepanjang hari. Daren sudah tiba di ruang kerjanya, dia terus berkutat dengan pikirannya sendiri. berbanding terbalik dengan apa yang dia ucapkan pada Krisna yang mengatakan masih banyak pekerjaan. potongan-potongan memori itu kembali bermunculan di kepalanya, membuat rasa nyeri itu kembali menyapa. "Argh!" Daren menjambak rambutnya kuat-kuat dan tidak terasa lelehan kristal itu kembali jatuh membasahi pipinya. Daren marah, kenapa takdir tidak mau berpihak padanya? kenapa dia dilahirkan seperti ini? Daren kembali menatap lurus ke depan serta menyeka air matanya dengan kedua tangannya. dia tidak boleh seperti ini! dia seorang pria, seorang pria tidak boleh menangis. Aura sedikit terkejut karena melihat mobil ponakan kesayangannya sudah terparkir di depan rumah. sampai-sampai dia mengucek-ngucek matanya untuk memastikan penglihatannya tidak salah. "Daren." gumam Aura seperti orang linglung. Pria itu memberengut sambil mengecek penampilannya sendiri? apa ada yang salah dengan pakaiannya hari ini? sepertinya tidak. karena dari tadi kakak pertamanya Dafi hanya diam menatapnya. Daren kembali melangkahkan kakinya berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Sesampainya di kamar, Daren langsung merapikan pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam koper yang cukup besar. Niatnya sudah bulat, dia akan tinggal di apartemen miliknya. Dafi yang tidak sengaja melihat adiknya yang sedang membereskan pakaiannya melenggang masuk ke dalam kamar. "perjalanan bisnis lagi?" tanya Dafi tampak tidak suka. Jujur saja pria itu iri pada adiknya yang bisa kapan saja pergi ke berbagai negara tanpa mendapatkan larangan, sedangkan dirinya tidak bisa jauh dari rumah dan rumah sakit. Tuhan memang tidak adil, pikirnya. Daren hanya melirik kakaknya sekilas lalu kembali memasukkan pakaian dan sebuah kotak kecil misterius ke dalam koper. "biar aku bantu." ucap Dafi sambil berjongkok dan berniat mengambil beberapa helai baju dari lemari pakaian milik Daren. Namun, matanya malah tertuju pada kotak kecil misterius yang ada di atas koper. baru saja tangannya ingin mengambilnya, dengan refleks Daren langsung mengambil kotak itu dan menjauhkannya. "Aish! pelit sekali." cibir Dafi, dan seperti biasa Daren tidak menanggapi. "kali ini ingin pergi ke negara mana?" tanya Dafi lagi. "apartemen." jawab Daren. Seketika membuat kening Dafi mengerut, apa telinga adiknya ini rusak? kenapa tidak nyambung? pikir Dafi. "aku akan tinggal di apartemen." ucap Daren mengulang. mata Dafi terbuka lebar, mungkin jika mata itu bukan ciptaan Tuhan, benda itu sudah lepas dari tempatnya. "kenapa? terus aku berbagi cerita sama siapa kalau kamu tidak ada?" tanya Dafi lagi. "itu sebabnya aku pergi." balas Daren dalam hati. Daren sudah siap dengan kopernya, untuk sementara waktu dia akan tinggal di apartemen setidaknya sampai dia bisa mengontrol perasaannya lagi. langkahnya terhenti ketika Aura berlari ke arahnya diikuti oleh Zora yang berjalan di belakangnya. "kamu apa-apaan mau meninggalkan rumah." marah Aura sekaligus khawatir. Bagaimana dia tidak khawatir, di rumah saja ponakannya itu sering melupakan makannya, apalagi kalau dia tinggal sendiri? dan lagi dia sangat tahu keponakannya itu tidak pandai memasak. Lantas siapa yang akan menyiapkan makanannya? tidak Dafi, tidak Daren selalu saja membuatnya khawatir, kesal Aura. "banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sedangkan jarak rumah ke kantor terlalu jauh, akan sangat melelahkan kalau harus menempuh jarak jauh setiap hari." ucap Daren beralibi dan berhasil membuat Aura percaya. "baiklah, tapi jangan lupa makan kamu, ya." ucap Aura lagi. "Ya." jawab Daren yang langsung mendapat pelukan hangat dari tantenya. "kenapa, kamu selalu membuat tante kamu khawatir." gumam Aura disertai suara isakan. Daren hanya membalas pelukan tantenya, sedangkan sepasang matanya menatap sendu ke arah wanita yang juga sedang menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. Daren melepaskan pelukannya dan menarik napas panjang saat rasa sesak di dadanya datang. "aku pergi." ucap Daren berpamitan. baru beberapa langkah dia berjalan, Zora memanggil putra bungsunya dan saat Daren berbalik wanita itu memeluk erat. "maafkan Mami." ucap Zora dengan suara bergetar. Daren hanya memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya sedih saat Mami mengatakan kata maaf padanya. ini lebih menyakitkan dibanding rasa sakit hatinya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD