PART 9 - INDAHNYA MENIKAH.

2001 Words
PART 9 – INDAHNYA MENIKAH. Sebulan setelah pemakaman Ayah mertuanya, Arkhan mengajak Nadya mencari rumah yang lebih layak, dari rumah yang semula Nadya sewa dan tempati selama ini bersama Ayahnya. Bagaimanapun juga Nadya kini sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Arkhan juga tidak ingin istrinya larut terus dalam kesedihan. Setelah seharian mencari, kesana kemari, sampailah ia di sebuah rumah yang cocok untuk mereka tempati. Sebuah rumah tipe 22/72 yang Arkhan pilih untuk tempat tinggal mereka. Mereka hanya tinggal berdua, ini adalah cukup. Arkhan menyewanya untuk sementara waktu. Setelah urusannya beres di kantor dan pernikahannya mendapat restu dari sang Mama, Arkhan pasti akan membawa Nadya ke rumahnya. Rumah yang seharusnya di tempati oleh keluarga Arkhan, yaitu Nadya dan keturunan mereka kelak. Nadya memasuki rumah yang memiliki satu buah kamar tidur, satu ruang tamu dan satu kamar mandi. Dulu ia sering berkhayal bisa memiliki rumah walau harus mencicil pada salah satu bank. Kini keinginannya terwujud. Arkhan membawanya ke daerah pinggiran Jakarta yang memiliki banyak perumahan bersubsidi. Kali ini mereka mungkin masih menyewa. Siapa tahu nanti mereka bisa membeli dengan mencicil. Itu yang ada di pikiran Nadya saat ini. “Maaf, aku hanya bisa membawamu ke rumah seperti ini. Nyewa pula,” ucap Arkhan tak enak hati. Nadya tersenyum. Buatnya ini sudah lebih baik dari tempatnya yang lama. Di manapun ia tinggal yang penting tetap bersama suaminya, Arkhan. Mereka memang tidak membawa apa-apa. Karena barang dari rumah Nadya semua sudah tidak layak pakai. Jadi Nadya hanya membawa tas berisi baju dan berkas milik Nadya. Walaupun mungkin berkas itu tak akan bisa ia gunakan, mengingat susahnya mencari lapangan pekerjaan. “Nanti kita pergi ke toko perabotan ya. Mungkin cari kasur lantai yang lebih tebal.” Arkhan memegang bahu istrinya dari belakang, ketika melihat Nadya meneliti tiap sudut rumah. Tidur di rumah Nadya dengan alas kasur yang tipis, terus terang membuat tubuh Arkhan pegal-pegal. Namun hatinya bahagia, ketika ia sudah bisa memeluk istrinya. Wanita yang teramat dicintai. Kebetulan rumah yang mereka sewa kali ini sudah berisi beberapa perabotan, kecuali kasur. Nadya membuka pintu belakang rumah. Terdapat halaman kosong, berukuran empat meter. Kening Nadya melipat. Andai ini rumahnya sendiri, mungkin ia akan meminta suaminya membangun kamar satu lagi untuk anak mereka kelak. Membayangkan buah cinta mereka, membuat pipi Nadya bersemu. “Kamu suka rumahnya?” tanya Arkhan memandang wajah cantik sang istri. Nadya menoleh dan mendapati raut wajah tampan menatapnya mesra. “Suka sekali, terima kasih ya." Arkhan memeluk Nadya dan melabuhkan kecupan mesra di pelipis sang istri. "Aku ingin kita seperti ini terus. Kamu bahagia menjadi istriku, Nadya?" Mereka saling tatap. "Kamu bukan hanya cinta pertama aku, Arkhan. Kamu cinta terakhir aku. Sekarang dan selamanya." Nadya memeluk erat Arkhan. Melilitkan lengannya pada pinggang suaminya, menyandarkan kepala di dadda bidang Arkhan. "Jangan pernah tinggalkan aku, apapun yang terjadi." Arkhan tersenyum sambil kembali mendaratkan kecupan di puncak kepala istrinya. "Aku bisa gila jika kamu yang pergi dariku." "Aku gak mungkin pergi. Aku sudah menyerahkan hidupku padamu." Arkhan merangkum wajah istrinya. "Kamu harus tahu kalau aku Arkhan Pranaja akan selamanya mencintai Nadya Faranisa." "Terima kasih untuk semua cintamu." "Nadya. Kalau kita begini terus, aku beneran mau narik kamu ke kamar. Sayangnya kita belum punya kasur." Godaan Arkhan membuat Nadya terkekeh. Ia lupa mereka harus membeli kasur. Pelukan mereka terlerai. "Sebaiknya, aku susun baju dulu ke lemari.” Lalu Nadya melangkah ke dalam kamar, yang sudah tersedia satu buah lemari. Ia membuka tasnya juga tas milik Arkhan, menyusun baju itu ke dalam lemari hingga rapi. “Hmm Nadya. Ada yang mau aku sampaikan.” Arkhan mendekati istrinya yang masih merapikan pakaian. Masih menimbang apakah ia mau jujur atau tidak. Arkhan menelan salivanya sambil memandang wajah istrinya. “Aku – aku cuma mau kasih tahu. Mungkin nanti kamu akan sering aku tinggal untuk tugas ke luar kota. Karena aku baru saja memulai pekerjaan disana. Aku harap kamu mengerti.” Maafkan aku. Senyum mengembang di sudut bibir Nadya. Selama masa berkabung, Arkhan memang kerap tidak masuk kerja. Pasti atasannya menegur. “Iya aku mengerti kok. Aku akan tetap menunggu kamu di sini.” Lalu Arkhan menggaruk kepalanya. “Tapi kamu jangan kerja lagi ya. Cukup diam di rumah saja menunggu aku,” pinta Arkhan. Nadya berpikir sejenak. Dahinya melipat. Apakah memang ia lebih baik berhenti kerja, dan berbakti pada suami dengan berdiam diri di rumah saja? Dengan menghela napas, Nadya berkata. “Oke, tapi aku izin ke kantin untuk ketemu Bu Mar. Aku harus pamit. Gak enak kalau aku pergi begitu saja.” Senyum mengembang di sudut bibir Arkhan. Membayangkan masa depan yang akan ia habiskan bersama Nadya, istrinya. Sifat Nadya baik begini, tak akan sulit membuatnya di sukai Mama. “Kalau begitu hari ini, kita pamit pada Bu Mar sekaligus beli kasur lipat.” Nadya mengangguk. Ia tahu suaminya tidak nyaman dengan kasur di rumahnya yang dulu. ** Agak siangan Nadya dan Arkhan ke kantin milik Bu Mar. “Nadya, ibu turut berduka cita. Maaf , ibu tidak ke rumahmu saat ayahmu meninggal. Kantin ramai sekali.” “Gak apa-apa bu. Justru saya yang minta maaf karena tidak sempat memberitahu.” Bu Mar mengajak Nadya duduk di salah satu kursi yang ada di kantin. “Semalam ibu ke rumahmu. Kata pemilik rumah, kamu pindah karena ikut sama suami kamu?” Nadya tersenyum. “Iya bu. Saya sudah menikah," ucapnya dengan menunduk malu. Raut wajah terlihat di wajah Bu Mar. “Dengan pacar kamu yang itukan?’ Nadya mengangguk dan tersipu. “Wah, selamat ya. Kalian serasi. Kamu cantik, suamimu tampan. Aduh ibu jadi penasaran sama anak-anak kalian nanti.” Bu Mar menggoda. “Ih ibu. Kita baru juga menikah, masa sudah bicara anak.” “Lah memang kalian belum proses buat anak?” Astaga. Melihat Nadya yang menganga, Bu Mar tertawa. “Ya Tuhan Nadya. Suami kamu itu baik sekali. Serius kamu belum ditoel-toel sama dia?” Mendengar ucapan Bu Mar, Nadya makin bertambah risih, “Bu, saya kan masih berduka.” Nadya menjalin jemarinya. Bu Mar menggeleng. “Nadya, walaupun sedang dalam berduka. Ya gak juga kamu tolak terus kali suami kamu. Aduh ini anak benar-benar ya. Menolak suami itu dosa, tau.” Nadya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Niatnya kemari hanya mau pamit, kenapa justru di ceramahi? “Ngomong-ngomong suami kamu gak ikut kemari?” Bu Mar melirik ke luar kantin, memastikan Nadya datang sendiri. “Ikut kok bu tadi. Cuma dia mau ketemu temannya dulu ke dalam kampus.” Bu Mar menatap sendu. “Beruntung kamu dapat dia. Bertitel lagi. Pasti suamimu itu bukan orang sembarangan.” Nadya menggeleng. “Arkhan orang biasa saja bu. Dia kuliah juga sambil bekerja. Bukan orang kaya seperti yang lain.” “Sama saja Nadya. Kamu kira kuliah di sini murah? Mahal.” “Aduh, kok ibu jadi ngelantur kemana-mana ya. Ibu doakan semoga kamu dan suamimu bahagia berdua selamanya. Sampai kalian memiliki anak dan cucu.” Elusan lembut pada lengan, Nadya dapatkan dari orang yang sudah berbaik hati menerimanya bekerja selama ini. Disaat dulu ia kebingungan karena sulitnya mendapatkan pekerjaan, Bu Mar dengan baik hati mengajaknya bergabung mengurus kantin. Nadya harus bersyukur, karena disinilah ia bertemu suaminya, mendapatkan cintanya. Sementara di bagian gedung. Arkhan terus berjalan hingga ke belakang kampus. Matanya mencari sosok yang ia kenal. Hingga ia berseru. “Elsa!” Wanita yang dipanggil Elsa menoleh. Wanita itu sedang berjalan hendak keluar kampus. Arkhan langsung menarik tangannya agak ke pojok, supaya tidak mengganggu lalu lalang orang yang lewat. “Aku mau bicara sebentar,” pintanya. Elsa menatap sepupunya. Beberapa minggu ini, Elsa memang tidak bertemu lagi dengan Arkhan. Apalagi ia mendengar sepupunya ini sudah berdamai dengan Tantenya. Arkhan menatap penuh keraguan pada Elsa. “A-aku sudah menikah dengan Nadya.” Wajah Elsa menganga. Menikah? Semudah itu? Tunggu, mereka keluarga, dan bagaimana bisa Elsa tidak tahu? Kecuali pernikahan itu terjadi diam-diam. “Apakah tante tahu?” Mata Elsa memicing, curiga. “Itu sebabnya aku mau minta tolong. Jangan sampai Mama tahu,” pinta Arkhan. Tebakan Elsa tepat. “Kapan kamu menikah?” “Hampir sebulan. Ayahnya Nadya meninggal. Itu sebabnya aku mengambil keputusan menikahi Nadya.” “Kamu nekad Arkhan.” Elsa menggeleng. Arkhan mengusap wajahnya dengan kasar. “Please Elsa, aku akan katakan pada Mama jika saatnya tiba. Tolong rahasiakan dulu.” Elsa menimbang dengan penuh keraguan. “Walau aku gak yakin kamu bisa menyembunyikan hal ini dari Tante, aku akan pastikan mulut aku tidak akan bersuara.” Arkhan tersenyum. Ia mempercayai sepupunya ini, meskipun hubungan mereka tidak begitu dekat. “Terima kasih Elsa. Aku pergi dulu.” “Tunggu Arkhan.” Elsa mencegah langkah Arkhan. “Apakah Nadya tahu siapa kamu sebenarnya?” Arkhan menggeleng. “Belum saatnya. Nanti, jika Mama sudah merestui hubungan kami. Aku akan mengatakan pada Nadya semuanya.” Helaan napas dari hidung Elsa bersamaan dengan gelengan kepalanya. “Semoga ya. Semoga Tante Citra merestui hubungan kamu dan Nayda.” “Aku sudah berubah menjadi lebih baik. Aku rasa Mama tidak akan keberatan. Aku pergi dulu ya. Terima kasih.” Arkhan berbalik dan melangkah pergi. Tak lama Arkhan menemui Nadya. “Nak Arkhan jangan lupa cepat buat istrinya hamil, biar ibu bisa lihat anak-anak kalian.” Tampaknya Bu Mar masih tak puas menggoda Nadya. “Iya bu, pasti. Ini habis ini kami mau ke pasar. Mau beli kasur. Soalnya kasur di rumah dulu tipis sekali, gak enak dipakai nantinya.” “Ish Arkhan, apa-apaan sih,” gerutu istrinya. “Lho benar kan? Kita mau ke pasar mau beli kasur. Memangnya kamu mau pake kasur yang ada di rumah kamu itu? Itu sudah gak layak pakai lho.” Akrhan menikmati sekali wajah Nadya yang makin bersemu. Setelah berpamitan, mereka berjalan ke luar kampus. “Kita ke pasar mana beli kasurnya?” tanya Arkhan. “Kita naik angkot dulu sebentar.” “Oke.” Mereka berdua menunggu angkot, hingga sebuah mobil mewah melewati tempat mereka berdiri. Pintu kaca terbuka dan terlihat seorang wanita cantik menoleh ke arah keduanya. Arkhan melotot pada pengemudi mobil mewah itu yang tak lain Elsa, sepupunya. Elsa hanya menggeleng. Ternyata cinta bisa membutakan semuanya. Pikir Elsa sambil terus mengemudikan mobilnya. ** Arkhan meletakkan kasur yang baru saja mereka beli dari pasar. Kini kasur itu telah terpasang dan menghabiskan satu ruang tidur. “Harusnya kita beli yang lebih kecil tadi,” keluh Nadya. “Kalau begini, ruang kamar jadi makin sempit.” Arkhan memeluk tubuh istrinya dari belakang. “Bilang aja kalau kamu maunya tidur nempel-nempel sama aku,” bisik Arkhan. “Ih apaan sih. Bukan gitu, liat deh kalau gini susah buka pintunya. Harus angkat dulu kasurnya.” Gemas melihat wajah Nadya saat merajuk, membuat Arkhan melabuhkan kecupan di pipi sang istri. “Nanti aku akan belikan kamu rumah yang lebih besar dari ini.” Nadya menoleh ke arah suaminya. “Aku doakan supaya kerjaan kamu sukses. Jadi saat kita punya anak-anak nanti, rumah kita lebih besar dari ini.” “Amin. Terima kasih istri.” “Hmmm tapikan sebelum memiliki anak, kita harus melalui prosesnya dulu,” goda Arkhan. Nadya tersipu. Ia mengerti kemana arah pembicaraan suaminya. Memang sejak mereka menikah, Nadya belum menjadi istri yang seutuhnya bagi Arkhan. Karena dia masih dalam keadaan berduka. Tapi kini sudah hampir satu bulan pernikahannya. Sepertinya ia akan berdosa jika terus menangguhkan permintaan suaminya. Arkah menatap wajah istrinya yang bersemu. “Iya aku udah siap ko,” bisik Nadya pelan sambil menunduk. “Hmm kalau gitu aku kunci pintu depan dulu ya.” Dengan bersorak dalam hati, Arkhan segera melangkah ke pintu depan. Ia tak ingin acara sakralnya ini diganggu siapapun. Hari ini Arkhan dan Nadya mereguk indahnya madu dalam pernikahan. Menyatu dalam kasih dan cinta mereka berselimutkan malam pertama. Berulangkali ungkapan cinta Arkhan labuhkan di telinga Nadya, saat lelaki itu membawa istrinya terbang ke nirwana. Mereka berjanji untuk hidup bersama hingga memiliki buah hati dan hanya terpisahkan oleh maut. Itu yang ada dalam benak Arkhan. Tapi ia lupa, jika ia hanya manusia yang bisa berencana. Dan tak mampu berbuat apa-apa ketika sang pemilik kekuasaan dunia dan segalanya memberikan takdir yang tak sesuai seperti yang ia rencanakan. Takdir yang mampu memisahkan cinta sejati Arkhan dan Nadya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD