Sitha melirik kiri kanan. Tak ada siapa pun. Tadi ia mendengar suara si Putih. Tapi ke mana binatang kesayangan Bintang itu? Mungkinkah si Putih melihat sesuatu? Atau ia hanya tengah berhalusinasi?
Tengkuknya merinding tiba-tiba. Cepat ia kembali ke kamar. Meringkuk di ranjang, menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Ia menajamkan pendengaran. Tak ada suara apa pun lagi, tapi tetap saja ia tak bisa memejamkan mata.
Apa ini malam Jumat Kliwon? batinnya.
Sitha kembali melompat dari ranjang. Meraih kalender yang terletak di meja rias. Fix! Ia tidak sedang berhalusinasi. Suara kucing yang ia dengar tadi benar-benar ada. Gadis itu makin meringkuk ketakutan.
Sejak kecil karena hobinya menonton film yang berbau mistis gadis itu parno dengan yang namanya malam Jumat Kliwon. Ada-ada saja.
"Mama, aku takut." Ia terisak lirih di bawah selimut. Keringat dingin mulai bercucuran dari pori-porinya.
Ah, andai saja ada yang menemani, tentu ia tak perlu setakut ini. Bintang. Ya, Sitha sempat terpikir untuk minta ditemani laki-laki itu. Tak ada salahnya bukan? Toh mereka suami istri.
Tidak! Ia pasti akan kege-eran.
Akhirnya gadis itu komat-kamit sendiri. Entah apa yang ia baca. Mungkin ayat kursi atau beberapa surah pendek dalam juz 'amma. Apa saja yang sekiranya masih hafal. Sesekali terisak tertahan, hingga tubuhnya bergetar.
Bintang yang baru saja merebahkan diri di ranjang kembali bangkit. Lapat ia mendengar tangisan seseorang. Laki-laki mujarab (muka Jawa Arab) itu menajamkan pendengaran.
Benar, suara itu berasal dari kamar sebelah. Meski ragu ia mengetuk pintu kamar Sitha. Tak ada sahutan. Ia memutar hendel, tidak dikunci. Rasa penasaran mendorong pria itu untuk masuk.
"Pergi! Jangan mendekat! Aku tidak mengganggumu. Pergilah makhluk astral, aku takuuut ...." Wanita itu berteriak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Sitha, kamu kenapa?" Bintang mengguncang tubuhnya, panik.
Sitha membuka mata. Menatap nanar pria di depannya.
"Bin ...."
Ia memeluk Bintang erat. Sesaat pria itu tertegun. Bergeming. Berbeda dengan ritme jantungnya yang makin tidak beraturan.
"Ada apa?" tanyanya setelah isak wanita itu mereda.
"Aku takut, rumah ini ada hantunya," sahut Sitha. Lalu melepas pelukan, "Maaf."
Sitha tersipu. Untuk pertama kali ia memeluk Bintang. Meskipun tidak sengaja tetap saja membuatnya salah tingkah. Sitha tak ingin pria itu salah mengartikan pelukannya. Gengsi.
Bintang tertawa miring.
"Perempuan modern sepertimu percaya hal begituan?"
“Maksud lo apa?" semprot Sitha galak. Sikap Bintang membuatnya jengkel.
"Lo gak percaya makhluk astral itu ada? Lo pikir gue halu?" Sitha cemberut.
"Ada, jelas ada. Tapi ia tidak akan ganggu, kecuali merasa terusik."
. "Maksud lo, gue ganggu mereka?"
"Mana kutahu."
"Bintang ...! Lo nyebelin. Besok gue akan pulang ke rumah mama."
Bintang hanya mengangkat pundaknya dengan wajah seolah mengatakan, 'bodo amat'.
Ia lalu berbalik, baru berjalan beberapa langkah Sitha meloncat dari ranjang, memeluk pinggangnya dari belakang. Wanita itu terisak di punggung lelaki yang telah menjadi pendampingnya selama beberapa bulan ini. Bintang menahan napas, debar tak biasa kembali menyapa. Lalu melepaskan perlahan tangan yang masih melingkari perutnya. Memutar tubuh menghadap Sitha, sesaat ia tertegun.
Sitha kembali memeluk, bahkan lebih erat. Tubuh wanita itu gemetaran. Sedikit ragu Bintang balas memeluk, membenamkan wajah Sitha di dadanya yang bidang. Ia tak menyangka kalau ternyata Sitha benar-benar ketakutan.
"Jangan takut, ada aku,” gumamnya.
Sekesal apa pun, ia tak 'kan bisa melihat Sitha menangis.
Wanita itu masih terisak dalam pelukannya. Ritme jantung Bintang makin menggila. Menuntut untuk berbuat lebih.
Tahu bagaimana rasanya melihat segelas air di tengah pandang tandus saat tengah kehausan? Begitu menggoda. Sementara si empunya tidak memberi ijin untuk menikmati. Dan itu membuat Bintang makin tercekat.
Sitha istrinya, tapi pernikahan mereka hanya status di atas kertas. Selama ini wanita itu tak tersentuh sama sekali. Kebenciannya pada Bintang sudah sangat menggunung. Situasi yang sama sekali tidak adil bagi Bintang.
"Tidurlah, aku akan menjagamu di sini," ujarnya setelah berdamai dengan diri sendiri. Menatap wajah cantik Sitha.
Wanita itu mendongak, "Beneran?"
"Hu'um."
Sitha tersenyum semringah, menghapus air mata dengan ujung lengan baju tidurnya. Bintang bersandar di daun pintu. Kedua tangan didekap ke d**a. Sementara Sitha kembali ke ranjang. Membaringkan tubuh dan menyelimuti tubuhnya hingga d**a.
Sitha memeluk gulingnya erat. Perlahan matanya mengintip Bintang yang bersandar dengan kepala tengadah. Tak jelas apakah lelaki itu mengantuk atau malah tengah melamun.
"Bin ...,” panggil Sitha ragu.
"Hmm ...."
"Lo gak pegal seperti itu?"
"Makanya buruan tidur, aku juga ngantuk nih."
"Tidur di sini aja. Tapi awas, jangan macam-macam,” ujarnya dengan wajah bersemu merah. Tak mudah untuk mengatakan itu.
"Aku gak salah dengar?" Sedikit terkejut Bintang menatapnya meyakinkan.
"Di sofa tapi," sahut Sitha membuang pandang. Menghindari bertatap mata dengan Bintang.
Tak jelas apa karena tidak tega atau malah takut pria itu akan macam-macam jika mereka tidur di ranjang yang sama. Ia lalu menyodorkan bantal kepada Bintang.
Bintang terlihat ragu. Namun demi melihat tatapan memohon wanita itu lagi-lagi ia tak bisa menolak. Sangat sadar dimanfaatkan, tapi mau bagaimana lagi? Terkadang cinta dan bodoh itu memang sulit untuk dibedakan.
Pria itu merebahkan diri di sofa. Saking mengantuknya tak berapa lama ia pun tertidur. Pulas.
Sitha bangkit dari ranjang, menatap wajah Bintang. Ternyata pria yang telah menikahinya tiga bulan lalu itu sangat tampan. Baru kali ini Sitha benar-benar menatapnya.
Alis Bintang hitam dan tebal, bulu mata lentik, hidung mancung dengan bibir merah alami. Ia merasa wajah itu sudah tidak asing. Ya iyalah, meski jarang menatap, ‘kan sudah lebih dari tiga bulan tinggal bersama, pikirnya.
Rahang yang membiru bekas cukuran cambang terlihat kokoh. Laki-laki itu memang selalu rapi.
Sitha menarik napas panjang. d**a bidang Bintang naik turun seiring napasnya yang teratur. Dengan tidur telentang seperti itu, kakinya terjuntai ke bawah sofa. Kasihan.
Dinilai dari fisik maupun sifat, Bintang layak untuk diperjuangkan. Namun sayang hati Sitha telah tertoreh nama pria lain. Azka Prawira Abimanyu.
***
"Mama memintaku untuk pulang," ucap Azka tiga hari menjelang pernikahan mereka.
"Tapi Az...."
"Jangan khawatir, mama udah janji ia sendiri yang akan mengantarkan aku ke pernikahan kita."
"Kok aku gak yakin ya?" sahut Sitha. Mengingat selama ini orang tua, terutama mamanya Azka tidak merestui hubungan mereka. Bukan karena tidak menyukai Sitha. Tapi menurut mereka ini terlalu cepat. Yang mereka mau Azka menyelesaikan pendidikannya dulu hingga S2.
Namun karena Azka memaksa ia pun mengizinkan mereka tunangan. Lalu tiba-tiba sekarang meminta Azka pulang, sebenarnya apa yang tengah direncanakan wanita itu?
"Aku ikut," sahut Sitha tiba-tiba.
"Kau tak percaya padaku?"
"Aku percaya padamu, tapi tidak dengan mamamu, maaf."
Azka menggenggam tangan kekasihnya itu. Menatap dalam netra gadis yang telah dipacarinya lebih dari dua tahun.
"Ini pernikahan impianku. Percayalah, tak ada sesiapapun yang akan kubiarkan menghalanginya. Aku percaya mama tidak akan merusak rencana kita," ujarnya meyakinkan.
Sitha menatapnya ragu.
“Tapi aku takut ..., takut jika kau tak akan kembali."
"Percayalah, Sayang."
Azka menatapnya meyakinkan. Lalu membenamkan wajah Sitha dalam pelukannya.
Nyatanya sampai hari ‘H’ lelaki itu tak menampakkan batang hidung. Impian yang ia bangun bersama kandas di tengah jalan.
Andai saja Bintang tidak datang saat itu, tentu tak ‘kan ada pernikahan. Dan saat ini ia masih bebas menunggu Azka, karena Sitha sangat yakin prianya itu pasti kembali.
“Kamu gila! Bagaimana sebuah acara pernikahan tidak ada pengantin? Mau di kemanain muka Papa dan Mama? Pernikahan ini harus tetap dilangsungkan!"
"Tidak! Aku tidak akan menikah dengan pemuda yang baru saja aku kenal. Lagipula aku yakin kok Azka akan kembali. Mungkin saja telah terjadi sesuatu pada dirinya, makanya ia tidak datang."
"Buka matamu, Sitha. Dari awal Mama juga udah tidak yakin akan keluarga pemuda itu. Mengizinkan anaknya tunangan, tapi ia sama sekali tidak berkenan datang. Itukah yang disebut restu? Kamu saja yang terlalu bodoh!” Maki mamanya mulai tidak bisa mengendalikan diri.
Keras kepala Sitha membuat wanita itu naik pitam.
"Tapi, Ma ...."
"Kamu sendiri yang menentukan pernikahanmu hari ini. Maka jalani konsekuensinya, bersama Azka ataukah Bintang, yang pasti segalanya harus sesuai rencana," potong wanita itu tegas.
Air mata tak berhenti mengalir dari sudut matanya. Seperti kata mama, suka atau tidak ia harus menerima Bintang. Kecuali ia ingin mempermalukan seluruh keluarga besarnya.
Yang Sitha tidak mengerti kenapa Bintang mau menerima perjodohan begitu saja? Lelaki itu baru saja hadir pagi ini. Ia anak seorang rekan bisnis Papa yang berdomisili di Singapura. Kedatangannya memenuhi undangan keluarga Sitha sebagai perwakilan pihak keluarga. Hanya itu yang Sitha tahu tentangnya.
Entah berapa lama wanita itu tenggelam dalam pikirannya, hingga tertidur pulas. Cahaya matahari yang menembus kisi-kisi jendela kamar mengusik tidurnya. Sitha menggeliat, membuka mata perlahan dan ...
"Lo ...! Ap ..., apa yang lo lakuin?"