"Dari mana?"
Pertanyaan itu menyambut Sitha saat ia baru menginjakkan kaki di ruang tengah.
"Bukan urusan lo," dengkusnya kasar.
Bintang menghela napas panjang. Lalu memilih diam ketimbang berdebat dengan Sitha yang bakal tidak ada ujungnya. Lelaki itu kembali mengalihkan pandangan ke depan televisi.
Sementara Sitha melangkah menaiki anak tangga dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Hingga suara high heels-nya lebih dominan dari suara tivi.
Gadis itu membanting pintu kamarnya kasar.
Bintang menoleh sekilas, kemudian menggelengkan kepala. Gadis aneh, batinnya.
Tak lama kemudian pintu kamar di lantai atas kembali terbuka. Gadis itu telah berganti pakaian. Ia menuruni anak tangga dengan wajah ditekuk. Sitha mengenakan baju tidur panjang bermotif bunga-bunga berbahan sifon lembut. Rambut digulung hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Cantik.
Bintang membuang pandang. Kalau saja gadis itu sedikit membuka hati. Sitha adalah istrinya, tapi gadis itu begitu susah untuk ia rengkuh. Jangankan untuk mendapatkan hak sebagai seorang suami, berbicara pun seringkali ia tidak dianggap.
Seperti saat ini.
Dengan langkah santai Sitha masuk ke dapur. Membuka tudung saji yang terletak di atas meja makan. Wajahnya masam saat ia kembali menutup asal. Tak ada apa pun di bawahnya.
"Kok nggak ada makanan sih?"
Bintang melirik sekilas, lalu kembali fokus ke layar televisi.
"Bukankah yang istri itu kamu ya?" sindir Bintang. "Lagian jam segini baru pulang, kelaparan, emangnya tadi kamu ke mana?" lanjutnya tanpa ekspresi.
Gadis itu menatap tajam Bintang. Wajahnya merenggut, kesal.
"Udah gue bilang bukan urusan lo," sahutnya kasar.
"Ya sudah, lo lapar juga bukan urusan gue," balas Bintang tak acuh.
Gadis itu tersentak. Mungkin tak menyangka Bintang akan menjawab seperti itu. Selama ini Bintang selalu mengalah, mengikuti apa yang ia mau.
Bintang kembali melirik sekilas. Sebenarnya ia tak bermaksud kasar pada Sitha. Hanya ingin memberi sedikit pelajaran, agar gadis itu menganggapnya ada. Agar gadis itu menyadari bahwa keberadaan Bintang di rumah ini adalah kepala keluarga.
Sitha melangkah ke kitchen set, mengambil sebungkus mie instan yang tersimpan di dalamnya. Suara panci dan kompor yang beradu kencang menandakan si koki abal-abal lagi bad mood. Bintang menahan senyum.
Walau seberapa kasar pun perlakuan gadis itu ia tak pernah bisa membencinya. Ia mencintai Sitha tulus, meski gadis itu tak pernah menyadari. Atau memang sengaja menutup diri.
Namun Bintang yakin suatu saat Sitha pasti akan luluh. Yang ia perlukan hanya bersabar. Seperti yang pernah dikatakan ibu mertuanya.
"Sitha itu gadis yang baik, hanya saja saat ini ia tengah protes dengan keadaan. Ia belum bisa menerima takdir yang telah digariskan untuknya. Mama harap kamu bisa bersabar."
"Saya tau, Ma. Saya akan menunggu saat itu tiba."
"Mungkin salah Mama yang selalu memanjakan hingga ia tumbuh menjadi seorang yang egois dan keras kepala. Mama malu padamu, Bin."
"Mama bilang apa? Sekarang Sitha istri Bintang, maka kewajiban Bintang untuk merubahnya. Mama nggak usah khawatir. Kami akan baik-baik saja."
"Syukurlah! Mama berharap banyak padamu."
"Aaaww...!"
Pekikan Sitha membuyarkan lamunan Bintang. Ia menoleh, ternyata tangan gadis itu ketumpahan kuah mie yang tengah dituangnya ke mangkok.
Bintang buru-buru mendekat. Segera ditariknya tangan Shita dan mengguyur dengan air di wastafel.
"Sakit...," isak gadis itu tertahan. Mencoba menarik tangannya dari genggaman Bintang. Namun laki-laki itu menahan.
Bintang mengeringkan dengan tissue, kemudian mengambil kotak obat. Ia mengolesi tangan Sitha dengan cream obat luka bakar. Gadis itu meringis.
"Lain kali hati-hati!" celetuk Bintang.
Sitha melengos, kemudian menarik tangannya kasar. Tanpa basa-basi apalagi ucapan terima kasih, gadis itu kembali ke kamarnya di lantai atas.
Lagi-lagi Bintang hanya bisa menarik napas panjang. Benar-benar keras kepala.
***
Sitha menghempaskan tubuh di ranjang. Tangis yang sedari tadi ia tahan tumpah sudah. Sakit. Ya luka bakar, ya hatinya. Ia benci dengan keadaan ini. Menjalani hidup bak panggung sandiwara. Lalu salah siapa?
Bintang lelaki yang baik. Sita tahu itu. Sayang seluruh ruang di hatinya telah diisi satu nama. Dan itu bukan Bintang. Andai saja kau tidak ikut andil dalam urusan pribadiku, gadis itu membatin.
Lantas untuk apa ia merasa kecewa, ketika laki-laki itu mengabaikannya? Bukankah memang ini yang ia inginkan? Bintang bosan lalu memilih menyerah?
Dengan kasar gadis itu kembali bangkit dari ranjang, menyeka air mata yang tanpa diminta keluar dengan tidak sopannya.
Ia duduk di depan meja rias. Meraih sebuah foto yang terbingkai indah dalam sebuah figura. Azka, lelaki tampan itu tersenyum manis padanya.
"Sayang, kamu di mana?" Sitha mengusap pelan wajah pria di foto itu.
"Harusnya kamu yang berada di sisiku, bukan pria nggak jelas itu. Kamu tau, Sayang. Sampai kapan pun aku akan menunggumu. Seperti janji kita."
Dia mencium lama sebelum kembali menyimpan foto itu di laci. Setelah membersihkan wajah dengan kapas dan s**u pembersih, Sitha kembali merebahkan diri di pembaringan. Karena lelah dan sangat mengantuk, ia pun tertidur.
Tepat jam 2.00 dini hari ia kembali terbangun. Perutnya keroncongan. Ya Tuhan, apa yang bisa ia makan? Sementara mau masak kembali mie instant dia sudah kapok.
Gadis itu melirik tangan yang kena luka bakar, kulitnya sedikit melepuh. "Dasar bodoh, perempuan macam apa kamu Sitha, masak mie instant aja gak becus," dumelnya pada diri sendiri.
Mungkin teh hangat cukup mengganjal perutnya untuk sementara waktu. Lagipula ia tak perlu menyalakan kompor, tinggal ambil air panas dari dispenser. Mengingat hal itu, Sitha bergegas kembali ke dapur.
Matanya menatap bingung sekotak pizza yang tergeletak di atas meja makan. Bagaimana benda itu ada di sana? Bukankah tadi tak ada makanan apa pun?
Bodo amatlah. Tanpa pikir panjang lagi, Sitha langsung melahap. Ia menghabiskan dua potong besar. Lalu meminum segelas air putih.
"Alhamdulillah, rezeki memang tak kan kemana," gumamnya. Ia mengelus perut yang sudah kekenyangan.
Gadis itu tak menyadari ada sepasang mata yang tengah mengintip aktivitasnya. Mata milik Bintang Pratama Alkatiri.
Laki-laki itu tersenyum samar. Bagaimanapun ia tak tega membiarkan Sitha kelaparan.
Setelah Sitha kembali ke kamarnya, Bintang menelpon pizza delivery. Satu jam kemudian pesanan datang. Bintang meletakkan di meja makan. Biar nanti gadis itu gampang menemukannya. Ia yakin Sitha takkan bisa tidur nyenyak dalam keadaan perut kosong.
Setelah membuang mie dan membersihkan kompor yang dibuat kacau gadis itu, Bintang kembali ke kamar kerja yang sekaligus merangkap kamar tidur. Sesuai perjanjian mereka, Sitha mau tinggal bersamanya dengan syarat mereka pisah kamar.
Namun sayang matanya sama sekali tak bisa terpejam. Bayangan Sitha dengan segala lekuk tubuhnya saat mengenakan baju tidur memenuhi otak Bintang. Terlebih aroma tubuh gadis itu saat tadi berdekatan benar-benar mengganggu.
Ia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi siang. Bintang menenggelamkan diri dalam seabrek file-file yang memenuhi meja kerjanya.
Konsentrasi pria itu buyar ketika mendengar suara pintu kamar Sitha terbuka. Ternyata dugaannya benar, Sitha tak 'kan kuat menahan lapar.
Ketika akan kembali menutup pintu kamar, tanpa sengaja Bintang menginjak ekor si Putih. Bintang tak menyadari entah sejak kapan binatang itu berada di sana. Si Putih menggeram marah.
Sitha yang tengah merapikan kotak pizza tersentak kaget. Pikiran aneh mulai merayapi otaknya. Gadis itu menajamkan pendengaran. Tak ada apa pun, kecuali detak jantung sendiri yang kini berdetak lebih kencang.
"Siapa?"