Amarah

2542 Words
Serba salah. Davira hanya bisa menghela nafas di kursinya. Ia hanya ingin membicarakan ini baik-baik, dengan tuntas dan cepat selesai. Tapi suaminya malah begini. Tak bisa diajak kompromi sama sekali. Ia hanya bisa mengeluh dalam hati. Lalu disaat Davira hendak membereskan meja makan, ia malah melihat lelaki itu keluar dari kamar dengan kemeja dan agak terburu-buru. Ada sesuatu yang terjadi kah? "Mas! Mas! Mas mau ke mana?" tanyanya. Tapi tak dijawab. Lelaki itu berjalan cepat menuruni tangga. Saat mendengar langkah Davira juga hendak menyusulnya, Gavin berhenti di dekat pintu. Ia baru hendak membuka pintu itu. "Aku ke rumah Mama," tuturnya. "Apa? Ada apa?" "Gak ada. Mama hanya butuh aku," tuturnya lantas berjalan menuju garasi rumah. "Kunci saja pintunya," katanya. Itu pertanda ia akan pulang larut. Davira menghela nafas. Tentu saja kecewa dengan perlakuan Gavin. Oke, ia juga jarang ke rumah mertuanya sejak dulu. Tahu kan kenapa? Karena mertuanya sedari dulu tidak menyukainya. Alasannya tidak jauh-jauh dari latar belakang kehidupan orangtua Davira. Meski Davira justru sukses di dunia akademisi, ia tidak bisa menutupi kenyataan kalau orangtuanya bahkan tidak sekolah. Davira tidak pernah malu soal itu. Ia juga tak merasa perlu malu hanya karena hal semacam itu. Tapi mertuanya lah yang sangat malu. Gavin berangkat, Davira hanya terdiam. Matanya melihat mobil yang bergerak semakin jauh itu. Ia tak paham dengan Gavin. Ketika merasa telah lama mengenalnya, Davira justru semakin tak merasa telah mengenalnya begitu lama. Karena sampai sekarang pun, ia masih belum benar-benar paham tentang sosok Gavin yang sebenarnya. Davira mengambil kerudungnya lalu keluar untuk mengunci pintu pagar rumah. Eeeh mobil yang dikendarai Eshal hendak meluncur tapi malah berhenti karena melihat Davira di pintu pagar. "Gavin belum pulang?" tanya lelaki itu begitu membuka kaca jendela. "Udah. Tapi pergi lagi," tuturnya yang dibalas dengan anggukan kepala. "Mau keluar?" "Yoi!" serunya dengan berlagak sombong sembari mengenakan kacamata hitamnya. "Nyari jodoh dulu. Bye, Vir!" pamitnya yang membuat Davira terkekeh. Davira hanya menatap mobil Eshal yang juga ikut pergi. Saat tersadar, ia buru-buru mengunci pintu pagar rumahnya. Lalu berjalan masuk ke dalam rumah dan juga mengunci pintunya. Ia kembali memberesi meja makan dan isi dapur. Setelah itu berjalan menuju kamar. Rumah mereka tak begitu besar sebetulnya. Kebetulan saja dua tingkat. Ruang tamunya juga agak sempit, ada ruang keluarga yang cukup panjang, ada satu kamar pula di lantai bawah lalu, dapur, ruang makan dan jemuran. Di lantai atas, ada dua kamar, satu ruang perpustakaan mini dan balkon. Davira hendak duduk di atas kursi belajarnya saat melihat ponselnya berdenting. Bukan pesan dari Gavin melainkan..... Kalau ada apa-apa dan Gavin belum pulang, jangan sungkan hubungi gue ya, Vir Itu pesan tulus dari seorang sahabat yang membuat Davira tersenyum kecil. Ia senang pada Eshal meskipun cowok itu sering bertingkah konyol tapi ia selalu perhatian dengan caranya sendiri. Eshal sering seperti ini disaat tak sengaja mendapati kemungkinan Gavin belum pulang. Karena bagaimana pun, satu-satunya keluarga selain yang benar-benar memiliki hubungan darah, Eshal hanya memiliki Davira sejak dulu. Sejak awal masuk kuliah mengenal Davira dan bersahabat. Mereka melalui suka dan duka bersama-sama. Dan itu membuat Eshal sulit mencari pendamping hidup yang lebih mengenalnya dibandingkan dengan Davira. Rasanya tak ada satu pun perempuan yang bisa memenuhi ekspektasinya seperti Davira. Meski ia juga tak pernah berpikir jauh ke arah sana. Selama ini, baik ia maupun Davira memang hanya sebatas teman. Sama-sama saling merasa kalau mereka adalah sahabat. Meski mungkin tak menyadari kalau ada kemungkinan hati mereka bisa saja terpaut atau bergerak jauh. Dulu banyak yang bertanya perihal kenapa ia dan Davira hanya berteman. Tak pernah lebih. Karena konon katanya, tak ada yang murni benar-benar bisa bersahabat antara laki-laki dan perempuan. Kebanyakan pasti ada rasa cinta di dalamnya. Tapi jawaban Eshal patut dipikirkan secara panjang. "Dia bisa jadi teman seumur hidup buat gue, untuk apa dijadiin pacar?" Kata-kata itu mungkin terdengar sederhana. Meski Eshal bahkan tak berpikir apapun tentang maknanya. Namun orang-orang mungkin akan memaknainya secara berbeda dan menganggap hal itu sebagai 'teman hidup' yang jauh lebih berharga. Bukan kah definisi teman hidup juga luas? Bahkan sosok pendamping hidup atau istri juga bisa masuk ke dalam definisi teman hidup itu. Iya kan? Sementara itu, Gavin yang terburu-buru menyetir hingga akhirnya tiba di rumah Mamanya, dibuat menghela nafas melihat apa yang sedang terjadi. Saat ia bergegas turun, Mamanya muncul dari balik pintu dengan senyum sumringah. Bagai baru mendapat hadiah tunai dari bank. Kan lumayan. "Mama tunggu dari tadi!" serunya. "Cepat masuk Gavin kasihan Moni menunggu!" tambahnya sembari balik badan dan masuk ke dalam rumah. Gavin mengira kalau terjadi sesuatu yang buruk entah pada Mamanya atau Papanya saat mendapat pesan dan panggilan tak terjawab dari sang mama. Tapi ternyata.... "Mon! Gavin udah sampe!" seru sang Mama. Perempuan itu tampak ceria karena artis yang baru naik daun itu berkunjung ke rumah. Tak perlu waktu lama untuk bisa membawa Gavin datang ke rumah ini sendirian. Gavin hanya berpikir untuk tidak membawa Davira karena memerhatikan mood Mamanya tentang hasil pemeriksaan itu. Namun ternyata, ia salah perkiraan. Mamanya mana pernah peduli dengan hal semacam itu. Davira bukan orang yang harus ia khawatirkan apalagi dipikirkan. "Hei, Vin," cewek itu menyapa. Senyumannya memesona. Rambutnya panjang dan terurai. Dandannya cukup tebal. Dia juga cantik. Tapi karena terlalu banyak melakukan perawatan atau mungkin permak, Gavin menyebutnya begitu, ia tak menemukan kenaturalan dari wajahnya lagi. "Istrimu mana? Gak dibawa?" tanyanya ramah. Padahal dalam hati, begitu girang karena Gavin datang sendirian. Gavin tak meladeninya, cowok itu malah mengalihkan tatapan pada Mamanya. Seolah meminta penjelasan tentang apa tujuan Mamanya membuatnya datang ke sini dengan terburu-buru. "Mama butuh apa?" tanyanya. Sang Mama berdeham, ia sejujurnya sejak tadi memerhatikan anaknya dan Moni. Calon menantu idaman di dalam kepalanya kini ada di depan matanya. Tentu saja senang bukan? Kalau perempuan seperti Moni ini menjadi menantu. Sudah cantik, artis dan keluarganya juga terpandang. Ayah dan ibunya juga artis senior yang kini punya banyak usaha. Ia akan bangga bercerita ke banyak orang kalau memiliki menantu seperti ini. Lah kalau Davira? Seujung kuku pun ia tak sudi menyalami orangtua perempuan itu. Sungguh tak berkelas dan membuatnya malu di depan teman-teman sosialitanya. "Eung tadi sih mau minta dibawain gitu sama kamu, Vin. Tapi ternyata Papamu udah beli. Sekarang mendingan kamu ngobrol aja sama Moni. Iya kan, Mon? Mumpung Moni lagi di sini. Susah loh ketemu artis itu," tuturnya seraya memuji Moni yang sok merendahkan hati. Perempuan itu tentu saja terkekeh sambil berpura-pura menolak perkataan itu. Padahal jiwanya sudah terbang hingga ke langit ke tujuh. "Gak ada lagi?" tanya Gavin. Ia sedang tak mood bertemu siapapun sebetulnya. "Eung...i-iya, Vin. Memangnya kenapa, nak? Kamu sibuk? Mama gangguin kerjaan kamu ya?" tanya sang Mama. Tentu saja ia menangkap wajah Gavin yang kurang bersahabat malam ini. Moni pun hanya meliriknya dalam diam. "Enggak," ia menghela nafas. Lelah juga karena ia sudah capek-capek datang ke sini, meninggalkan Davira lalu saat tiba malah begini. Namun mendengar pertanyaan Mamanya ia malah merasa bersalah. "Gavin hanya mengira kalau Mama ada urusan yang perlu bantuan Gavin dan penting sekali," tukasnya. "Enggak, nak," ia mencoba berucap lembut agar anaknya luluh dan mau tinggal lebih lama. "Atau jangan-jangan kamu baru aja tiba di rumah atau lagi di jalan tadi pas Mama telepon? Belum sempat makan ya? Atau di rumah gak ada makanan?" tanyanya bertubi-tubi. Ia mencurigai menantunya tak memasak sama sekali. Gavin berdeham. Ia malas mengucap apapun. Ia tak mau Mamanya menjelek-jelekkan menantunya sendiri di depan orang lain. Terlebih orang itu.... "Apa karena aku, Mas?" Perempuan itu bertanya saat Gavin akhirnya ikut makan malam sebentar lalu pamit pulang. Ia tak mungkin meninggalkan Davira sendirian. Meski terkadang ia berpikir untuk melakukan itu. Kenyataannya sangat sulit untuk melakukannya. Karena ia hanya akan diselubungi kekalutan dan rasa bersalah. Gavin berdeham. Ia terlihat sibuk membuka pintu mobil. Mamanya yang hendak menyusul pun langsung balik badan karena melihat ada Moni. Barangkali keduanya ingin mengobrol sendiri. "Aku pikir, kita bisa berteman lagi kayak dulu, Mas." "Bukan kah kamu sendiri yang memutuskan untuk memusuhiku semenjak aku menikah?" Perempuan itu membeku. Gavin hanya mengingatkan hal itu. Hubungan mereka sudah lama berakhir. Sudah sangat lama. Dan bagi perempuan itu, bukan kah hubungan mereka memang tak pernah serius? Alias hanya sekedar cinta monyet? Apakah hubungan tiga tahun itu kategori dari cinta monyet? @@@ "Bapak udah pulang, Bi?" tanyanya. Ia sendiri masih di jalan. Ini sudah hampir jam sebelas malam sebetulnya. Arasha masih di rumah Papanya. Lelaki tua itu bilang kalau Arasha di sana saja sehingga Arabella tak begitu khawatir meninggalkan Arasha. Padahal Papanya memang memiliki alasan lain. Yaa menilik kondisi menantu yang bahkan bersenang-senang dengan perempuan lain, apa yang bisa ia harapkan? "Belum, Bu." Arabella memijit keningnya. Ia heran ke mana lelaki itu? Pesannya sama sekali tak dibalas. Meneleponnya, Arabella masih takut. Ia sejujurnya sudah kalut. Namun merasa belum siap menerima kenyataan. Apa yang harus ia lakukan dengan keadaan seperti ini? Ia bahkan tak bisa berpikir apapun. Arabella sudah menangis dalam diamnya. Suasana mobil yang gelap membuatnya bisa menyembunyikan air mata yang kian menetes. Yaa akhirnya ia menangis juga. Setelah menahan diri untuk beberapa lama. Ia masih harus membagi jiwanya dengan berbagai pekerjaan dan berusaha menyembunyikan kekalutannya sendiri. Kini terasa mengenaskan. Ia juga tak kuat jika apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Ia belum siap. Ia benar-benar diterpa kekalutan. Tiba di rumah, kakinya semakin lemas karena saat menoleh ke garasi, mobil suaminya belum juga tiba. Beberapa pembantunya berseru karena melihatnya jatuh begitu saja saat turun dari mobil. Mereka membantunya berdiri, Arabella akhirnya bisa bangkit. Ia berjalan gamang masuk ke dalam rumah. Sementara dua pembantu yang tadi membantunya saling menatap. Keduanya tentu tahu sesuatu. Tapi belum berani bicara. "Biar kan Arabella mencari tahu sendiri. Kalian jangan melapor apapun kecuali jika Arabella bertanya." Itu pesan Papa Arabella saat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Lelaki itu tentu sudah menyiapkan rencana terburuk sekalipun. Tapi memang belum bergerak karena memang sengaja menunggu Arabella benar-benar mencari tahu. Karena Papanya tahu betul karakter Arabella. Perempuan itu lembut, ia bisa saja goyah dan memaafkan Fajri begitu saja. Tapi begitu menemukan bukti kalau lelaki itu sudah keterlaluan, lelaki tua itu yakin kalau anaknya tak akan mau menerimanya lagi. Maka benar memang jika rencana terburuk yang disiapkan Papa Arabella adalah kehidupan setelah Arabella memutuskan untuk berpisah dengan Fajri. "Aku gak tega sebetulnya." "Aku apalagi." Kedua pembantu itu mengeluh sembari berjalan menuju dapur usai mengunci pintu. Mereka juga lemah akan masalah ini. Ingin berpihak tapi takut menghancurkan hati majikan yang selama ini telah sangat baik kepada mereka. Terus membungkam juga menjadi masalah. Hati juga tak nyaman. Semua menjadi serba salah. "Tapi kalau tuan besar yang ngomong begitu, kita bisa apa?" Temannya mengangguk. Memang benar. Meski melihat Arabella seperti itu pun mereka tak tega. Mereka juga punya firasat, mungkin majikan mereka ini sudah tahu. Tapi buktinya belum terkumpul jelas. Apalagi Arabella masih berupaya menyangkal. Karena ia takut menghadapi kenyataan itu maka satu-satunya tindakan yang ia putuskan saat ini untuk dijalani adalah berpura-pura tidak tahu. Abang di mana? Kenapa belum pulang? Ia setidaknya masih ingin tahu di mana keberadaan lelaki itu. Arabella menarik nafas dalam. Kemudian berjalan menuju kamar mandi. Setelah itu, ia menghadap ke arah jendela. Tak ada apapun yang ia temukan di sana selain kekalutan di dalam kegelapan. Ia ingin berpura-pura tidak tahu tapi terasa sulit. Sementara itu.... "Mereka di mana?" "Ada di bioskop, Opa!" Terdengar suara kekehan. "Rain? Ini Rain?" Ia hanya memastikan lalu terdengar kekehan. "Oh jadi Rain yang bertugas malam ini?" "Iya, Opa Tua. Ada salam dari Opa-nya, Rain." "Ya-yaa," tuturnya lalu berkomunikasi lebih dalam terkait perkembangan pemantauan. Tak lama ponsel itu diambil alih cowok tengil. Dia, Ferril. Obrolannya lebih hangat dan seperti dua orang yang seumuran. Hal yang tentu saja mengundang gelengan kepala milik Rain. Ia dibawa-bawa ikut ke dalam urusan ini. Tapi hanya sekali saja. Karena kebetulan Ferril hanya mengajaknya sebagai alibi bisa masuk bioskop privat yang tentu saja bayarannya tidak sedikit. Dua jam kemudian, terdengar suara mobil memasuki garasi rumah. Arabella buru-buru menghapus air matanya. Ia beranjak ke kamar mandi, ingin menghapus jejak sembap di wajahnya dengan membasuhnya dengan air. Meski jelas terasa percuma. Yang berbuat salah malah santai sekali dengan masuk ke dalam rumah lalu menguncinya. Ia berjalan menuju ke kamar dengan tampang lelah. Bukan lelah setelah bekerja karena ia pun tak lama di kantornya tadi. Tapi sibuk kelayapan bersama para lelaki lalu menghibur perempuan yang 'ngambek' karena ditinggal sendirian di kantor itu. "Kamu belum tidur?" Ia bertanya kaget. Karena saat ia membuka pintu kamar, Arabella baru saja keluar dari kamar mandi. Perempuan itu mengangguk lantas berjalan ke atas tempat tidur. Ia bukannya tak mau melayani tapi wajah sembapnya sulit disembunyikan. Bahkan ini pun agak tertutupi karena cahaya lampu yang agak remang. Arabella tadi sudah mematikan lampu kamar dan hanya menyisakan lampu tidur. Perempuan itu menghela nafas dalam saat suaminya masuk ke dalam kamar mandi. Ia memejamkan mata sesaat. Lelah juga dengan kondisi seperti ini. Ia juga masih benar-benar gamang. Apa yang harus ia lakukan pada pernikahan ini dikala hatinya bahkan sedang terguncang? @@@ Pagi harinya, Fajri baru menyadari kalau Arasha tak ada di rumah. Selama dua tahun terakhir ini, ia bahkan lupa menanyakan keberadaan anaknya ketika pulang bekerja. Padahal dulu, ia tak pernah absen mengecup kening Arasha saat agdis kecilnya sudah tidur. Tapi semenjak sibuk dengan perempuan lain... "Arasha di rumah Papa." Arabella seolah menjawab pertanyaan itu padahal tak sepatah kata pun keluar dari mulut Fajri. Arabella hanya menyiapkan sandwich yang tidak semewah biasanya. Karena biasanya ia membuatnya menjadi lebih bagus karena Arasha hendak membawanya sebagai bekal. Tapi berhubung hanya ia dan Fajri di rumah....aaah...ia baru menyadari satu hal. Ternyata setelah Arasha hadir, ia agak menomorduakan Fajri tanpa sadar. Apa karena itu hubungan mereka bahkan terlihat renggang dan juga canggung seperti ini? "Maaf beberapa hari ini aku sibuk," tukasnya pelan sembari menarik kursi lalu duduk di kursi makan. Arabella tak menanggapinya. Ia hanya diam. Tak mau membuat sindiran keras pada seseorang yang.... "Kamu menunggu apa?" "Eh?" ia terkejut. "Aku kira kamu sedang menyiapkan sarapan." "Oh, kamu mau?" tanyanya. Arabella tak sengaja berbuat seperti ini. Karena semakin dalam ia memikirkan soal telepon itu dan juga kelakuan Fajri yang berubah, membuatnya semakin dalam terluka tanpa ia sadari. Meski Arabella hanya diam namun segala pikiran berkecamuk di dalam kepalanya. "Y-ya kalau kamu keberatan, aku bisa sarapan di kantor kok," tuturnya pelan. Ia merasakan suasana hati Arabella yang tak enak. Namun tak berani berkomentar soal itu. Andai ia menyadari juga kalau Arabella tanpa sadar telah menghilangkan panggilan sayangnya. Arabella hanya berdeham. Fajri beranjak dari bangku meski sebetulnya ia meragu. Kemudian menatap Arabella yang masih fokus pada rotinya. Perempuan itu sedang kalut. Namun Fajri bahkan tak mampu menangkap kekalutan yang tersembunyi dibalik wajahnya yang sangat datar. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu," tuturnya dan mendengar itu, Arabella membeku. Tatapannya bertambah gamang dan ia benar-benar takut. Meski dalam hati, ia mengatai dirinya sendiri sebagai pengecut. Kenapa? Karena ia takut menghadapi kenyataan dan kemungkinan buruk yang terjadi. "Aku sedang terburu-buru," tukasnya padahal ia masih punya waktu setidaknya setengah jam sebelum Mina sampai di rumah untuk menjemputnya. "Eung....oh," Fajri mengangguk-angguk. "Lain kali saja kalau begitu." Arabella hanya mengangguk. Ia bahkan enggan berbicara apapun. Di dalam pikiran kalutnya, sepertinya Fajri ingin mengakhiri pernikahan ini. Mengingat itu membuat sesuatu yang selama ini diam di dasar hati Arabella mendadak ingin naik ke atas. Apakah sesuatu itu? Amarah. "Aku berangkat," pamitnya. Arabella bahkan tak mengatakan apapun. Perempuan itu masih menatap roti di tangannya. Fajri menoleh. Sesungguhnya ia sedang menerka-nerka tentang apa yang ada di dalam pikiran Arabella saat ini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD