"Shiraaa! Shiraaaaa! Shiraaaaaaa!"
Suara Mamanya panjang sekali. Bisa mengalahkan penyanyi sopran yang sedang naik daun. Shira masih bergulat di atas tempat tidur. Memeluk erat bantal gulingnya. Jujur saja, ia masih mengantuk. Kemarin ikut gladi resik sebuah acara di mana ia akan turut tampil ke dalam sebuah pementasan musikal. Tentu saja ia bernyanyi tapi tidak ada live melainkan rekaman. Hihihi. Khawatir akan sumbang dan mempermalukan diri sendiri di depan banyak orang. Itu adalah cara teraman yang bisa ia lakukan.
"Belum bangun juga, Tan?" tanya Dya. Gadis itu sudah sampai. Tadi ditawari makan ya ikut sarapan dulu di sini. Tapi Inshira malah tak kunjung bangun. Padahal mereka perlu berangkat sekarang karena jadwal pemotretan ada yang dimajukan tiba-tiba dan Dya juga baru membaca pesan itu subuh tadi. Astagaa!
"Susah emang ini anak kalo dibangunin!"
Si Tante mengomel. Kemudian bergerak turun untuk mengambil kunci cadangan. Kini gantian Anindya yang berteriak-teriak berharap Shira segera bangun. Mereka bisa terlambat parah kalau begini. Bisa diomeli orang-orang sana. Duuuh! Anindya menggetuk-getuk kepalanya, pusing juga. Meski tadi ia juga yang salah karena terlalu santai.
"Shiraaaaaa! Bangun iiih! Ada pemotretan iniii! Kalo telat kita bisa dimarahiiin! Entar gue juga bakalan diomelin parah! Iiihh! Shiraaaaa banguuuuun!"
Shira malah makin menutup telinganya. Tidak mau mendengar. Ia masih mengantuk, tubuhnya juga masih pegal. Sebulanan ini ia bahkan tak mendapat pijatan sekalipun. Menyedihkan sekali.
"SHIRAAAAAA! ADA PEMOTRETAAAAAAN!"
"Awas! Awas! Biar Tante aja!"
Anindya segera meminggirkan tubuhnya. Ia biarkan saja si Tante dengan ganas membuka kunci kamar. Meski sempat salah memilih kunci, dalam hitungan beberapa detik saja, pintu kamar itu bisa dibuka. Inshira mengeluh sakit saat Mamanya menampar pantatnya dengan ganas.
"Bangun cepetan! Katanya ada pemotretan!"
"Kan masih siang, Maaaa!"
"Siang pala lu! Mereka tiba-tiba majuin jadwal nih!" kepret Anindya saking kesalnya. Tubuh Inshira ditarik-tarik agar segera bangun dan beranjak dari tempat tidur. Shira hanya bisa mendesis jengkel. Meski ia senang dengan pekerjaan ini, sejujurnya ia juga kurang mendapat waktu istirahat. Jadi hanya bisa mengeluh.
"Kebiasaan tuh anak, kalau tidur udah gak tahu waktu!" omel si Mama. Anindya malah sibuk mengobrak-abrik lemari Shira untuk mencari baju yang pas dikenakan gadis itu.
Setengah jam kemudian, mereka sudah di jalan. Inshira tentu saja mengomel karena ia bahkan tak sempat memakai body lotion. Anindya menyuruhnya untuk memakainya di mobil saja. Toh itu kan tidak harus dilakukan di rumah.
"Lo harusnya nelpon gue heh kalo jadwalnya tiba-tiba dimajuin!"
"Gue udah nelpon lo dari Subuh tauuk!"
Inshira nyengir. Memang dasar dia-nya saja yang malas menerima telpon tadi pagi dari Anindya dan memilih untuk tidur.
Hampir satu jam kemudian mereka tiba di lokasi pemotretan. Anindya dan Inshira kompak berjalan cepat memasuki lokasi pemotretan. Mereka tentu saja terlampar hampir setengah jam. Maklum lah, pagi-pagi begini jalanan di Jakarta pasti padat sekali. Apalagi mereka juga memang terlambat berangkat sejak awal. Walau tak ada kru atau penanggung jawab yang mengomel. Mereka sadar diri karena telah mengubah jadwal tiba-tiba. Untung saja tak bertabrakan dengan jadwal Inshira. Kebetulan memang niatnya ingin dikosongkan untuk jam pagi. Karena Anindya juga ingin istirahat. Tapi kalau begini juga tak terlalu menjadi masalah. Karena mereka bisa istirahat di siang hari nanti. Inshira akan bisa tidur dengan sangat pulas.
Pemotretan berlangsung cepat. Karena para kru juga dikejar jadwal. Apalagi akan ada artis yang juga melakukan pemotretan di sini. Begitu menyelesaikan pekerjaannya, Shira segera mengganti baju. Ia malas menghapus make up-nya karena tadi pagi juga tak sempat berdandan ria.
"Loh? Kapan-kapan tuh orang bisa di sini?" tutur Anindya yang baru menyadari kehadiran Rieki. Lelaki itu tampak sedang mengobrol dengan seseorang. Namun sialnya, karena si perempuannya memunggunginya jadi ia tak tahu itu siapa. Tapi sepertinya tidak asing. "Shir, ada Iki tuh!" tuturnya begitu menghampiri Inshira yang baru keluar dari ruang ganti.
"Ngapain? Pemotretan?" tanyanya. Anindya hanya mengendikan bahu. Ia mana tahu. Lalu Inshira menoleh ke salah satu kru lain. "Rieki ada pemotretan di sini, Mbak?"
"Eh-oh," si Mbak-nya kaget. Karena ia sedang sibuk dengan baju-baju yang akan dikenakan untuk pemotretan selanjutnya. "Rieki? Enggak tuh. Kita gak ngundang dia."
Lalu Inshira menoleh ke arah Anindya. Ia juga mana tahu. "Tanya orangnya langsung aja lah."
"Lo gak ngasih tahu jadwal gue atau dia ada nanya gitu?"
"Gak ada. Mana sempat juga. Kita tiba-tiba begini."
Inshira jelas bingung mendengarnya. "Lo sendiri?"
Mata Inshira menyipit. "Seingat gue gak ada."
Anindya mengangguk-angguk. "Ya udah samperin aja," tuturnya lantas keduanya berjalan menuju pintu di mana Rieki masih asyik mengobrol.
"Iki!"
Rieki menoleh. Tentu saja dengan senyum mengembang. "Hei, Noon!"
"Lah? Pevita!"
Si perempuan yang asyik mengobrol dengan Rieki pun menoleh. Senyumnya tak kalah manis. Gadis cantik berambut panjang. "Hei, Shir. Abis pemotretan?"
"Lo ada kerjaan di sini?"
"Iya nih!" tuturnya lantas pamit karena namanya sudah dipanggil kru. "Duluan ya, Shir."
Shira mengangguk-angguk. Tentu saja ia mengenal Pevita. Perempuan yang pernah satu film dengannya setahun lalu.
"Kamu ngapain di sini?"
"Mampir aja, Non. Aku ada kerjaan di dekat sini."
"Mampir?"
"Iyaa. Kan kamu bilang ada pemotretan di sini."
Shira mengangguk-angguk. Meski sebetulnya bingung. Seingatnya ia tak pernah memberitahu Rieki kalau ia punya pemotretan di sekitar sini. Jadwalnya juga tiba-tiba dimajukan. Bagaimana ia bisa tahu? Aneh bukan?
"Kamu ada kesibukan?" tanyanya. Kalau Rieki tidak ada pekerjaan, Shira tak keberatan mengajaknya jalan. Rasanya mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.
Rieki melirik jam tangannya. "Aku harus balik, Noon."
Shira menghela nafas. Kecewa sih kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Akhirnya ia tetap membiarkan Rieki pergi dengan mobil sementara ia dan Anindya juga kembali masuk ke dalam mobil.
"Aneh gak sih?" tutur Anindya. Sebetulnya ia merasa ini sangat ganjil. Shira yang masih sedih tentu saja tak begitu memerhatikan. "Padahal lo ataupun gue gak sama sekali bilang kalau jadwal pemotretannya dimajuin."
Shira menoleh.
"Iya kan? Gue tadi lihat chat lo. Lo bahkan belum pernah ngehubungi Iki sehari ini."
Shira sempat tercenung. "Tapi tadi katanya mampir. Mungkin ngelihat mobil gue pas jalan terus sekalian mampir."
"Tapi kalo dia mampir, harusnya dia nyamperin elo, Shir. Tapi tadi gue gak ngelihat sama sekali. Bahkan gue baru sadar dia ada itu waktu lo lagi ganti baju."
Inshira tercenung lagi. Itu analisa yang lewat dari kepalanya. Ia bahkan tak berpikir jauh ke sana.
"Terus pamit gitu aja kayak tadi. Malah asyik ngobrol sama cewek lain. Nyadar gak sih?"
Inshira menggelengkan kepala dengan polosnya. Anindya menghela nafas, jengah dan agak-agak emosi juga.
@@@
Menangis semalam.
Meski masih tak percaya dan berharap ia salah mendengar. Namun jelas itu bukan lah halusinasi. Walau jelas hatinya terluka. Tapi yang namanya Arabella tidak mudah percaya begitu saja. Ia akan mencari bukti entah itu kabar baik atau kah kabar buruk. Di satu sisi, ia sungguh penasaran. Di sisi lain, ia sungguh ketakutan. Bagaimana jika itu memang benar adanya? Suaminya selingkuh bahkan tidur dengan perempuan lain? Itu sudah jelas lebih dari mengerikan. Mungkin kalau hanya sekedar bermain hati, Arabella bersedia membuka pintu hatinya lebih lebar untuk bisa memaafkan. Tapi kalau sampai meniduri perempuan lain, Arabella tak yakin. Mengingat itu saja membuat kakinya lemas hingga terduduk di lantai dekat kursi makan. Ia bahkan masih harus menguatkan diri demi Arasha. Apakah suaminya tak bisa melakukan hal yang sama? Bukan kah mereka hidup berdua, berjanji berdua, untuk menjadi pasangan selamanya? Kalau sampai berpisah, ia tak bisa. Hatinya hancur tapi melihat Arasha yang terluka, ia jauh lebih hancur.
Arabella menarik nafas dalam. Masih berharap kalau ia memang salah mendengar tadi malam. Meski sia-sia juga.
"Bunda!"
Arabella menoleh. Ia memaksakan senyumnya sambil beranjak dari lantai. Berharap Arasha tidak menangkap kepedihan yang ia simpan dalam-dalam.
"Bunda kenapa?"
"Gak apa-apa, sayang," jawabnya sambil berjalan menuju kulkas. Padahal kakinya masih lemas. Semalam saja ia sangat sulit tidur.
"Ayah mana, Bun?"
Gadis kecil itu tentu saja heran karena melihat satu-satunya lelaki di rumah ini. Ia mengambil duduk di kursi biasa ia duduk setelah menaruh tas sandangnya di lantai.
"Ayah udah berangkat."
"Yaaah! Padahal Arasha kan belum ketemu!" sungutnya. Tentu saja ia sedih. Terakhir kemarin pagi, ia sangat senang karena diantar ke sekolah.
"Nanti juga Ayah pulang," tutur Arabella. Arasha mengerucutkan bibirnya. Tentu tak terhibur dengan kata-kata itu.
"Kata Bunda, Ayah itu kerja sama presiden ya?"
"Sama rakyat, sayang. Yang gaji kan rakyat."
"Kakak Adel kan bilang kalau kakak Adel dan Arasha itu rakyat Indonesia, Bun. Berarti Ayah kerja sama Arasha juga dong!"
Arabella terkekeh mendengar itu. Bokeh juga nalarnya. Dari dulu, gadis kecil ini memang hobi berteman dengan Adel dan Adeeva. Mungkin satu pemahaman.
"Tapi, Bun, Arasha kasihan deh sama kakak Adel. Udah lama suka sama Kakak Abian tapi gak digubris. Iih! Kalo Arasha yang dicuekin gitu, udah Arasha tepuk-tepuk kepalanya!"
Arabella tertawa. Astagaa! Dasar anak kecil. Ia sih sudah tahu dari lama kalau Adel katanya suka sama cowok itu. Dan Arabella selalu berpesan untuk Arasha agar fokus dengan urusan sekolah saja. Urusan asmara nanti saja. Kalau sudah waktunya. Iya kan?
Saat mobil baru saja berjalan hendak mengantar Arasha pagi ini, gadis itu meneouk keningnya. Seolah lupa akan sesuatu.
"Ih Arasha baru inget deh, Bunda. Arasha kan ada tugas untuk bercerita tentang kebun Opa di Bandung!"
Arabella yang duduk di sebelahnya pun menoleh. "Terus?"
Gadis kecil itu nyengir. "Nanti Arasha boleh gak ke rumah Opa? Kan Opa jago bahasa Inggris!" serunya.
Arabella mengangguk. Tentu saja. Berhubung jadwalnya lebih padat hari ini jadi ia tak bisa menemani. Biasanya kalau sempat, Fajri yang akan mengajarinya. Yah dibandingkan Arabella, bahasa Inggris Fajri pasti lebih bagus. Namun mengingat nama Fajri terlintas dibenaknya, ia pilu lagi. Meski mati-matian menyembunyikan kepiluannya sendiri.
"Nanti Bunda tanya Opa, mungkin Opa bisa jemput Arasha pulang sekolah nanti."
"Yeeeeeey!" serunya. Arabella tersenyum kecil. Gadis kecil itu asyik bercerita banyak hal. Tentang banyak kejadian di sekolah dan kegiatan bermainnya bersama Adel dan Adeeva. Katanya mereka membentuk geng kecil. Arasha satu-satunya yang termuda. Mendengarnya, Arabella hanya bisa tersenyum kecil. Mencoba tegar di depan anak gadisnya yang bahkan tak tahu apa-apa.
Arabella mengusap kepala Arasha. Ia masih berharap kalau semalam hanya lah mimpi. Meski terasa mustahil. Ia takut sesuatu yabg lebih buruk terjadi. Ia bahkan tak berani membayangkannya. Ia hanya bisa berusaha tegar. Untuk mencari bukti lebih lanjut pun terasa takut sekali. Karena di satu sisi, hatinya begitu lemah. Jujur saja, ia sangat mencintai Fajri. Tentu saja ini tidak akan mudah. Ditambah perasaan Arasha yang harus Arabella pikirkan. Apa yang harus ia perbuat sekarang? Melupakan apa yang sudah terjadi? Berpura-pura tak tahu? Atau apa?
Otaknya sudah terasa buntu hingga tak mampu berpikir apapun lagi.
"Bye-bye, Bundaaa! Hati-hatiii!" serunya dari gerbang sekolah. Arabella membalas lambaian tangannya dengan senyuman lebar.
Arabella menyandarkan punggungnya. Ia akan menjemput Mina hari ini. Masih setengah jam lagi baru akan tiba di sana. Mumpung ingat, ia segera menelepon Papanya. Berharap lelaki tua itu bersedia meluangkan waktunya untuk Arasha. Namun....
"Ada apa dengan suaramu?"
Begitu pertanyaan yang muncul usai Arabella bertanya apakah Papanya sibuk hari ini atau tidak. Alih-alih menjawab, Arabella malah ditanya balik.
"Cuma kurang istirahat, Pa. Bella kan sibuk beberapa hari ini. Biasa lah," bohongnya.
Papanya berdeham. Sesungguhnya wajahnya masih kaku. Perasaannya berubah menjadi tak enak. Ia punya firasat buruk tentang hal ini. Apakah terjadi sesuatu? Ingin sekali ia bertanya. Tapi akhirnya hanya menghela nafas. Berpura-pura tak mengkhawatirkan kejadian tadi. Meski jelas, tangannya terkepal. Ia akan menghajar menantunya kalau sampai Bella tersakiti sangat parah.
"Kalau begitu, istirahat lah. Gak usah kerja terus." Lelaki tua itu berdeham. "Ah ya, ada apa menelepon?"
Arabella tersenyum kecil. Tentu senang karena Papanya masih sangat perhatian. Sedari dulu pun, ia memang selaku dimanjakan. Bahkan hingga saat ini, perlakuannya masih sama. Meski sudah ada Arasha.
"Papa hari ini sibuk? Arasha mau belajar bahasa Inggris sama Papa terus kalau bisa, nanti Papa saja yang jemput."
"Dengan senang hati."
Arabella tersenyum kecil. "Makasih ya, Pa."
"Ya. Fajri bagaimana kabarnya?"
Tentu saja ini pertanyaan aneh. Tapi sayangnya, Bella tak menangkap itu.
"Biasa lah, Pa. Sibuk. Tapi baik-baik aja," tuturnya. Jelas baik fisiknya meski ia juga tak tahu apa yang terjadi.
"Bagus lah," tutur lelaki itu. Tangannya semakin kuat menekan meja. Tiba-tiba teringat percakapan dengan seseorang semalam.....
"Saya melihat mereka masuk ke hotel, Pak. Yang dekat sekitar GI."
Lalu telepon tadi pagi...
"Mereka baru saja keluar, Pak. Dengan baju yang berbeda. Tadi saya juga melihat mereka sarapan."
@@@
Saat mendengar suara mobil, Davira langsung berlari turun. Ia tentu tak mengira kalau suaminya akan pulang. Karena pesannya memang tak dibalas. Hanya dibaca. Jadi berpikir kalau suaminya masih marah. Davira berusaha tersenyum seperti biasa saat membuka pintu. Ia mendapati Gavin yang baru turun dari mobil.
"Mas! Mau makan?" tanyanya begitu Zavin hampir tiba di dekatnya. Lelaki itu hanya berdeham lalu melewatinya dan langsung berjalan menuju kamar. Davira menutup pintu rumah. Agak kecewa. Karena apa?
Bukan kah ia yang paling tersakiti dalam posisi ini. Tapi kenapa seolah yang paling terluka itu Gavin? Yang divonis mandul juga bukan Gavin melainkan Davira. Tapi kenapa lelaki itu bersikap seperti itu? Davira hanya bisa menelan kelu. Meski ia bergerak juga menuju dapur untuk menghangatkan makanan yang ia buat tadi sore.
Jemarinya menggetuk-getuk bar kitchen. Matanya terua melirik ke arah pintu kamar yang belum juga terbuka. Mungkin masih mandi. Suaminya biasa mandi dulu setiap tiba di rumah. Davira menunggu di kursi makan usai menghangatkan dan merapikan makanan di atas meja.
Hampir setengah jam ia menunggu hingga akhirnya, Zavin keluar dari kamar. Davira langsung berdiri. Tentu senang karena suaminya keluar. Ia hanya tak mau membuat suasana kemarahan larut dan berkepanjangan. Karena bagaimana pun, Davira masih sangat terluka dengan kejadian itu. Ia justru meminta agar Gavin dapat menghiburnya. Karena biasanya dalam film dan sinetron bukan suami akan melakukan hal semacam itu? Tapi ini justru Davira yang harus mengalah dan menghiburnya. Davira jelas bingung dengan keadaan ini. Ia dipaksa untuk menguatkan dirinya sendiri, berusaha tegar di atas kakinya sendiri. Meski ia sudah terbiasa melakukan itu sedari dulu. Namun boleh kah? Sesekali ia merasa tak berdaya di harapan suaminya?
"Barusan aku panasin lagi, Mas," tuturnya. Ia mengambilkan nasi dan menaruhnya di atas piring Gavin. Cowok itu hanya berdeham. Ia biarkan Davira juga menaruh lauk-pauk di atas piringnya. Perempuan itu kembali duduk setelah melayaninya dengan baik di meja makan. Ia mulai makan namun agak terganggu dengan Davira yang terus menatapnya.
"Kamu gak makan?" tanyanya dan senyuman Davira spontan mengembang lebar. Meski entah ini pertanda baikan atau apa, yang jelas ia senang.
"Tadi aku udah makan," tuturnya. Meski tadi ia hanya makan sedikit. Lelaki itu hanya berdeham. Tak begitu menanggapi. Tangannya kirinya sibuk dengan ponsel. Davira menghela nafas. Ia bingung dengan suasana yang terasa sangat canggung ini. "Soal hasil kema--"
"Gak usah dibahas," tuturnya dingin. Ia langsung emosi kalau mengingat hasil itu. Davira hanya menatapnya dengan kelu.
"Aku tahu, Mas marah. Mas gak terima dengan hasil itu. Tapi dengan posisi itu, justru aku yang harusnya lebih marah dan syok parah. Sampai detik ini pun, aku masih tidak mempercayainya," curhatnya. Ia berharap Gavin juga mengerti perasaannya. Ia hanya ingin Gavin juga memikirkan perasaannya. Bukan hanya perasaan lelaki itu sendiri. Karena di sisi ini, ia lah yang mengalaminya.
Gavin menghela nafas. Ia sudah bilang untuk tidak mengungkit lagi karena emosinya masih sangat tidak stabil.
"Aku tidak mau bertengkar, Vir," ingatnya dan terdengar sangat dingin.
Davira menghela nafas menatapnya. "Aku gak ngajak Mas untuk bertengkar. Aku justru ingin membicarakan ini dengan kepala dingin."
"Ya, tapi kata-katamu itu seolah-olah aku gak pantas marah juga," balasnya lantas berdiri meninggalkan Davira dan makanan yang masih tersisa di piringnya.
@@@
Note : GI -)) Grand Indonesia