Terasa Aneh

2527 Words
"Arasha mana?" tanyanya. Tiba di rumah tapi rumahnya masih sepi. "Tadi Arasha main ke rumah Bu Airin, Teh!" sahut si Bibi. Arabella menaruh barangnya dulu kemudian mandi. Setelah itu, ia bergerak untuk menelepon Airin. Perempuan itu bilang kalau ada Arasha di sana. Tadi mereka jemput karena kebetulan lewat. Arabella berterima kasih karena mau menjaga anaknya. Perempuan itu segera beranjak menuju garasi. Kemudian mengendarai mobil menuju rumah Airin. Ia perlu menjemput anaknya yang memang sering main ke sana. "Bundaaaaaa!" Arabella tersenyum. Airin juga keluar karena mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. "Mampir dulu, Bel!" tutur Airin. Arabella mengangguk. Berhubung ia memang jarang bertemu akhir-akhir ini karena kesibukannya. "Baru selesai syuting?" "Iya, Kak. Tadi abis syuting juga masih ada kerjaan lagi," tuturnya. Arasha sudah berlari ke arahnya, minta digendong. Adel dan Adeeva juga muncul, langsung menyalaminya. "Iih! Tante cantik deeeeh!" puji Adel yang membuat siapapun tertawa mendengarnya. Gadis itu memang lucu. Airin menggelengkan kepalanya. "Aku buatin minum sama ambil cemilan bentar ya, Bel." "Iya, Kak. Kak Akib mana?" tanyanya. Pasalnya, lelaki yang menjadi suami dari perempuan ini sama sekali tak terlihat. "Lagi ke masjid, Bel," jawabnya dari dapur. Arabella mengangguk-angguk. Kadang iri karena para lelaki di sekitar sini rajin ke masjid komplek. Suaminya? Bah! Kalau ke masjid, katanya sudah capek. Terlalu banyak pekerjaan dan kesibukan. Padahal Arabella melihat, suami Airin juga pengusaha. Pekerjaannya pasti banyak. Tapi tidak menjadikan alasan untuk malas ke masjid. Yaaah setiap orang memang berbeda, pikirnya. Tergantung apa dan siapa yang menjadi prioritas. Bella hanya bisa menghela nafas. Arasha, Adel dan Adeeva kembali bermain dengan monopoli. Adel bercerita kalau monopoli ini hasil merengek pada Ardan. Arabella hanya tersenyum melihat anaknya bermain. Ia tahu kalau Arasha pasti kesepian di rumah karena tak ada teman. Tak ada saudara pula. Arabella sudah berniat untuk meluangkan waktu tahun ini untuk keluarganya lebih banyak. Tapi ternyata masih sulit. Ia juga berharap agar bisa hamil lagi tapi selama tiga tahun terakhir ini belum membuahkan hasil apapun. Selain karena kesibukan suaminya juga. "Rumah Asha dekat sini, Kak?" tanyanya. Pasalnya ia sering melihat perempuan itu melewati depan rumahnya. "Asha di Jaksel, Bel. Dekat rumah orangtuanya. Kalau ke sini palingan ngejenguk kita-kita." Bella mengangguk-angguk. Airin datang membawa minuman dan beberapa biskuit. Adel langsung berseru kalau kue-kue itu adalah buatannya. Arabella terkekeh. Gadis kecil yang satu itu memang selalu ceria. "Sepi ya," komentar Bella. Pasalnya, ia melihat banyak anak Airin di foto-foto yang terpajang. Tapi yang kelihatan malam ini hanya Adeeva dan Adel. Airin tersenyum kecil. Ia mengambil duduk di seberang Bella. "Yang pertama lebih sering menginap di kampus." Bella tertawa. "Biasa lah, Bel. Aktivis kampus. Kalau yang kedua itu kuliah di Jogja." Aaaah. Bella mengangguk-angguk. Pantas saja. "Yang ketiga, keempat sama kelima lagi di rumah Opa. Dapat jadwal jagain. Mereka sendiri yang buat," cerita Airin yang membuat Bella tertawa. Lucu tapi salut juga. "Bagus kalau begitu, Kak." "Iya memang. Tapi akal-akalan malas belajar juga itu." Bella terkekeh. Biasa lah yang namanya anak-anak memang begitu. "Ah ya, suami kamu sibuk banget?" "Ya begitu lah, Kak. Tapi kayaknya gak lebih sibuk dari pengusaha." Airin tertawa. "Kesibukan itu relatif," tuturnya. Mereka mengobrol banyak hal. Kadang tentang dunia pekerjaan suami lalu berlanjut tentang sekolah Adel dan Adeeva. Kemudian mengobrol lagi tentang film-film yang dibintangi Bella dan selalu booming selama beberapa tahun terakhir. Hingga mengantarkannya ke banyak penghargaan dan juga nama yang kian melambung. Padahal dulu, ia hanya lah gadis biasa dari Bandung yang mengadu nasib ke Jakarta. Mana tahu kalau akan sukses begini. Meskipun ia memang berasal dari keluarga yang mapan tapi tak membuatnya membawa nama itu populer menjadi artis. Keluarganya justru terkenal saat ia menikah sembilan tahun lalu dan semua orang jadi tahu kalau ia adalah anak seorang menteri. Selama ini, Arabella memang agak tertutup. Meski karirnya terus membuat namanya semakin terkenal. Tapi ranah keluarga tetap lah menjadi privasi untuknya. Usai mengobrol cukup lama, Arabella membawa Arasha pulang. Gadis kecilnya sudah cukup mengantuk. Lelah karena bermain seharian. Arabella menggendong Arasha ke dalam mobil. Kemudian pamit pada Airin yang melambaikan tangan. Kedua gadis kecilnya juga sudah mengantuk. Tiba di rumah, ia mengerutkan kening. Hampir jam sepuluh malam begini, suaminya bahkan belum pulang. Terkadang ia heran, apa sih pekerjaan DPR itu? Oke, memang ia hanya tahu sebatas mewakili suara rakyat. Tapi apakah akan selalu pulang larut seperti ini? Kalau begitu, bagaimana nasib para perempuan-perempuan yang duduk di DPR? Kalau yang sudah menikah, apakah suaminya tidak keberatan? Tapi kalau pertanyaan ini di lempar padanya, Bella jadi merasa bersalah. Bukan kah yang ia lakukan juga tak berbeda jauh? Maksudnya, dengan kesibukannya Arasha dan suaminya jadi jarang terurus? Bella menghela nafas. Ia mengangkat Arasha dari mobil dan membawanya ke kamar. Ia juga sudah sangat lelah tapi tidak akan bisa tidur kalau suaminya belum pulang selarut ini. "Arasha tidur sayang," tuturnya pelan kemudian mengecup kening anaknya. Ia bergerak keluar usai menata selimut dan mematikan lampu kamar. Ia menutup pintu kamar kemudian mengganti bajunya. Ia perlu menunggu suaminya bukan? Meski entah jam berapa suaminya akan tiba. @@@ "Setiap orang itu butuh waktu berpikir, Pa. Gak semua orang bisa cepat mengambil keputusan. Apalagi persoalan menikah kan tidak gampang. Shira juga gak mau maksa-maksa anak orang untuk nikahin Shira. Kalau ke depannya gak baik gimana?" "Ke depannya gak baik itu artinya terlalu bersu'uzzan pada takdir Allah. Kalian berdua itu seharusnya sudah tahu kalau tidak ada istilah pacaran sebelum menikah dalam Islam. Dosa. Kamu yang pacaran, Papa yang bertanggung jawab. Gak kasihan kamu sama Papa?" Shira menghela nafas. Serba salah. Usai sarapan pagi bersama Papanya, ia langsung kabur. Hari ini jadwalnya tidak banyak. Tapi masih bisa bersantai hingga siang nanti. Ia menyandarkan tubuhnya saat duduk di dalam mobil. "Rasa-rasanya gue berantem terus ya sama Bokap?" tuturnya pada manajernya, sepupunya sendiri. "Ya kan Om dari dulu emang bawel kalau urusannya pacaran. Lo aja yang bebal," tutur sepupunya yang sama sekali tak membela. Inshira tertawa. Ia akui kalau ia memang bebal. Alasannya? Namanya juga anak muda yang sedang jatuh cinta. Melawan nafsu sendiri itu memang sulit. Apalagi gejolak batin yang ada di dalamnya. "Apa yang Om omongin ke elo itu memang sebuah kebaikan sih. Buktinya Kakak lo. Pacaran sama si Banyu, nikahnya sama Kak Assad." Inshira tertawa. Mereka semua anak perempuan di rumah. Jadi Papanya memang sangat protektif. Kini yang belum menikah dan satu-satunya ada di rumah ya cuma Inshira. "Kak Tari juga. Pada akhirnya, malah dijodohkan sama Om." Inshira tertawa lagi. "Eh, Om berniat ngejodohin lagi gak sih? Kalau ada, buat gue aja. Pilihan Om tuh kece-kece. Kak Assad yang hafiz Quran. Suaminya Kak Tari juga dosen lulusan Al-Azhar Mesir. Keren kan? Lo nanti yakin bakalan tetap sama Rieki?" "Jangan semborono ngomongnya!" Sepupunya tertawa. "Gue hanya menyimpulkan sesuatu yang berasal dari fakta-fakta yang ada di lapangan. Rieki emang ganteng. Jauh lebih ganteng dari kakak-kakak ipar lo. Tapi untuk urusan agama kayaknya juga jauh. Apa yang lo harapin kalau hanya dari muka ganteng doang?" "Siapapun bisa berubah kali, Dya. Kita kan gak pernah tahu. Bisa aja pas dia nikah sama gue, tiba-tiba jadi imam masjid gitu." Anindya terbahak. Itu menurutnya sesuatu yang sangat tidak mungkin. Yah melihat apa yang terjadi sekarang. Rieki itu kan aktor. Dalam film-film atau sinetron, memeluk cewek sampai menggendong cewek itu sudah lumrah. Alasannya sih profesional pekerjaan. Tapi kan mau apapun alasannya, bukan kah yang namanya dosa ya tetap dosa ya? Dan uang yang dihasilkan pun entah halal atau haram jadi susah membedakannya. Bagi Anindya, ini jelas suatu yang sangat krusial. Kalau Inshira kan hanya selebgram biasa. Paling ya foto produk-produk kecantikan atau hijab. Inshira juga tidak diberikan izin oleh Papanya untuk ikut main film atau sinetron yang mengharuskannya berpelukan atau berpegangan tangan sekalipun. Bahkan sampai saat ini, Inshira paling mentok ya main film Islami begitu. Itu juga bukan yang sampai terkenal. Hanya film biasa yang terkenal di kalangan mereka yang menyukai genre itu. Tapi tujuan Inshira memang bukan uang sejak awal. Mereka berbelanja sebentar. Niatnya sih ingin membeli sesuatu lalu makan siang. Tapi mereka malah sempat-sempatnya menonton bioskop. "Lo tahu kan waktu SMA, gue satu-satunya anak yang gak pernah ke bioskop bareng temen?" Anindya terbahak tapi kemudian menutup mulutnya kuat-kuat. Mereka terlalu berisik. Tujuan mereka menonton di bioskop pun hanya ingin menghibur diri sebetulnya. Bukan untuk benar-benar menonton. Setelah menikmati hiburan singkat itu, keduanya bergerak ke sebuah restoran dan lanjut makan. Dijam-jam seperti ini dan bukan lah hari libur, tak banyak yang mengenal Inshira sebagai selebgram. Hampir semua pengunjung mungkin akan menyangka ia sebagai gadis biasa seperti pengunjung lain. Meski ada sebagian kecil yang berseru dan memanggil nama Inshira kemudian mengajaknya foto bersama. Ada senang dan ada sedihnya dengan keadaan ini. Bukannya tak bersyukur tapi berjalan-jalan keliar seperti ini sudah tidak bisa menjadi hal yang menyenangkan. Karena siapapun yang mengenalmu akan memanggilku dan mengajak foto bersama. Tidak setiap waktu pula, mood Inshira akan baik dan mau meladeni semua hal itu. Sama seperti manusia lainnya, Inshira juga manusia yang memiliki perasaan dan terkadang ingin menjaga privasinya. Terlebih saat berjalan-jalan bersama Rieki atau keluarganya. "Si Iki ada kerjaan sekarang?" tanya Anindya disela-sela makan. Inshira mengangguk-angguk. Seingatnya begitu. Tapi entah lah. Ia sudah bukan Inshira yang dulu yang sangat hapal jadwal pekerjaan Rieki per harinya. Bukannya tak perduli lagi, tapi Shira juga punya kesibukan sendiri. Toh untuk urusan cinta ini, mereka semakin dewasa. Sudah tidak zamannya lagi untuk menjadi terlalu bucin satu sama lain. Tapi bukan berarti cinta itu pudar karena lamanya waktu bersama. Sebaliknya, cinta itu menguatkan karena semakin lama bersama, bisa jadi mereka menemukan titik jenuh lalu bosan satu sama lain. "Lo gak bosan sama Iki, Shi?" "Yang bosan itu biasanya cowok, Dya." Anindya terkikik-kikik. Ya kan siapa tahu Inshira bosan begitu. Meski cowoknya ganteng kan gak ada jaminan. Namanya juga perasaan yang setiap waktu bisa saja berubah. "Tapi lo bener-bener yakin sama dia? Maksud gue, nikah itu gak kayak pacaran. Beda jauh. Lo mungkin akan beralibi kalau udah mengenal Rieki sangat lama. Tapi urusan nikah itu jelas beda." Shira menghela nafas. "Bagi gue, Iki itu baik dan itu udah cukup buat jadi imam gue." "Baik kepribadiannya?" Shira mengangguk. "Dia juga rajin solat." "Yaaa tapi suka mepet-mepet. Kalo kita jalan jauh, padahal bisa berhenti, dia suka jamak-in. Menurut gue ada yang salah dari hal-hal sekecil itu." "Hei-hei! Lo kan jarang sama dia!" Yaa Anindya mengangguk-angguk. Memang benar. Tapi kan tak perlu butuh waktu lama untuk mengenal seseorang dari kebiasaan solatnya. Karena hal itu biasanya menunjukan bagaimana aksi solatnya dihari biasa. Kalau Anindya sih memang tidak mau terlalu muluk juga dalam mencari pasangan. Tapi bagian solat itu penting. Karena menurutnya, solat itu kan tiang agama. Kalau tiang agamanya saja gak kuat, bagaimana pondasi rumah tangganya nanti? Mungkin terdengar sepele bagi sebagian besar orang. Tapi sebagai manusia biasa, hanya itu yang bisa menjadi patokan menurut Anindya. Patokan terbaik. Tiba di lokasi pemotretannya, Shira mengerutkan kening. Rieki sudah berada di sana. "Perasaan gue gak bilang deh kalau ada kerjaan di sini. Lo ngasih tahu gak, Dya?" Anindya juga menggeleng. Tapi tidak ada yang ganjil menurutnya. "Apa dia punya kejutan buat gue ya?" tutur Shira. Tiba-tiba saja berpikir hal semacam itu. Anindya tertawa. Bisa iya dan bisa tidak. Tapi jangan terlalu berharap pada manusia karena takutnya kecewa. "Nooon!" Seperti biasa, panggilan manis itu akan mengalun indah. Inshira menyambutnya dengan senang hati. Apalagi sampai dibawakan balon yang cantik-cantik. Tanpa tahu perubahan muka pada semua orang di lokasi pemotretan. @@@ Bella hampir tertidur saat mendengar suara mobil masuk ke garasi rumahnya. Ia segera beranjak dari sofa kemudian berjalan membuka pintu kamar. Keningnya mengerut melihat jam di dinding yang menunjukan hampir pukul satu pagi. Ke mana saja suaminya? Kenapa pulang selarut ini? Ya setidaknya memang pulang. Biasanya kalau Arabella syuting di luar kota dan membawa Arasha, suaminya jarang pulang ke rumah. Arabella tak pernah tahu. Yang tahu hanya orang-orang yang membantu di rumahnya. "Lama sekali. Banyak kerjaan di kantor, honey?" tanyanya lembut. Tentu saja dengan senyuman. Suaminya yang baru saja membuka pintu rumah, tentu saja heran. Arabella jarang menungguinya pulang. Biasanya sudah lelah sendiri dengan pekerjaan dan memilih tidur. Lah ini? Ia hanya berdeham. Ia biarkan Arabella mengambil alih tas dan jasnya. "Mau aku bikinin teh?" "Gak usah. Aku mau mandi terus tidur," jawabnya yang membuat Arabella menghela nafas. Sebetulnya ada banyak hal yang ingin sekali ia bicarakan dengan lelaki ini. Tapi karena ia juga paham kalau suaminya lelah, ia enggan menganggu. Jadi ia biarkan saja lelaki itu masuk ke kamar mandi. Sementara ia sibuk menaruh barang-barangnya. Ponsel suaminya berdenting saat Arabella pergi mengunci pintu kamar. Keningnya mengerut. Tak paham dengan jenis ponsel yang digunakan suaminya. Sepertinya rakitan. Tapi tampilannya tampak seperti ponsel terkenal. Ia menyentuh layarnya, tak ada apapun. Maksudnya, dentingan tadi tak memunculkan apapun. Jadi ia tak berpikir apa-apa. Malah berjalan untuk mematikan lampu dan hanya menyalakan lampu tidur. Ia mencoba memejamkan mata. Tak lama, suaminya keluar dari kamar mandi. Lelaki itu mengenakan kaos dan celana di atas lutut. Kemudian duduk di samping Arabella yang baru memejamkan mata. Ia melihat ponselnya dan tanpa mengetik sesuatu. Arabella tidak bisa melihat karena ia memejamkan matanya. Tapi ia bisa merasakan kalau ada yang ganjil. Cukup lama suaminya bertingkah seperti itu hingga akhirnya tidur. Ini jelas terasa aneh karena jemari itu bagai sedang mengetik. Kalau pun mengetik, mengetik apa dan untuk apa? Ia jadi penasaran. Meski hanya diam dan tak curiga apapun. Yang ia tahu kalau suaminya sangat lah sibuk. Menjelang jam empat pagi, Arabella bangun. Ia tercenung melihat suaminya sudah tak ada di sebelahnya. Begitu menoleh, tahu-tahu lelaki itu sudah tapi dan baru saja keluar dari ruang ganti pakaian. "Aku ada rapat di kantor pagi ini," tuturnya padahal Arabella tak bertanya. "Mau aku bantu, honey?" tawarnya. Meski ia belum cuci muka begini, biasanya wajahnya tetap cantik. Hahaha. Suaminya dulu sering memujinya tapi beberapa tahun terakhir sudah tak mendengarnya lagi. Apa karena mereka sudah lama menikah? Tapi sembilan tahun itu belum cukup lama. "Gak perlu, aku bisa sendiri. Kamu istirahat aja," tuturnya. Dasinya terpasang dengan cepat lalu segera keluar membawa barang-barangnya meninggalkan Arabella yang tercenung. Kadang ia merasa bersalah dengan keadaan ini. Maksudnya, suaminya mungkin sudah terbiasa melakukan apapun sendiri tanpa bantuannya lagi. Padahal disaat seperti ini, ia justru ingin sekali melakukannya. Namun dari pada membawa perasaan buruk itu menjadi terlalu jauh, ia memilih untuk beranjak dan masuk ke kamar mandi. Usai Subuh, ia pergi membangunkan Arasha. Mengajari Arasha untuk tidak melewatkan subuh. Kemudian menyiapkan sarapan pagi sembari membantu Arasha bersiap-siap ke sekolahnya. "Ayah mana, Bunda?" Arabella terpaku. Akhirnya gadis kecil itu menyadari juga kalau ada yang kurang dari kekosongan meja makan mereka pagi ini. "Ayah kerja sayang." Bibir kecilnya mencebik. Hal yang membuat Arabella gemas melihatnya. Ia terkekeh. "Kan Ayah kerja. Nanti kalau Ayah libur, kan bisa main sama Arasha," ia mencoba menghiburnya meski tak pernah bisa menjanjikan kapan bisa mengajak Arasha liburan bersama Papanya yang sibuk. Arasha menyambutnya dengan banyak permintaan. Ingin diajak ke Bandung atau ke Surabaya katanya. Terus mau main air, lihat binatang dan lainnya. Arabella hanya tertawa menanggapinya. Namanya juga anak-anak pasti banyak mintanya. Usai sarapan, keduanya berjalan menuju pagar depan. Tapi saat membuka pagar, muncul mobil yang dikendarai suaminya Fasha melintas. Tadinya sih mau melintas saja tapi malah memundurkan kendaraannya. Arabella menyapa dengan senyuman. "Gak berangkat ke kantor, Pan?" tanyanya. Fasha sibuk menyapa Arasha yang tampak gemas dengan baju sekolahnya. "Nanti siangan aja." "Lah bukannya rapat?" "Gak ada rapat apapun, Bel. Fajri mana?" Bella malah terpaku mendengarnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD