Awal Kisah

2522 Words
"Bundaaaa!" Ia tersenyum tipis. Ditengah kesibukan syutingnya, ia masih menyempatkan diri untuk menyapa anak perempuan satu-satunya. "Ya sayang!" serunya lantas ia memberi kode pada para kru untuk istirahat sebentar. Ia perlu meladeni telepon dari anak perempuannya. "What are you doing now?" Suara gadis kecil terdengar ditelinganya dengan seruan manja khas anak-anak delapan tahun. "Bunda bilang kalau Ayah mau jemput Arasha!" Ia terkekeh. Ia baru saja duduk di sebuah kursi panjang, di halaman belakang sebuah rumah. Rumah yang dijadikan tempat syutingnya. Jadwalnya sungguh padat bukan hanya dalam satu-dua minggu. Tapi bertahun-tahun. Sebagai salah satu artis papan atas yang populer dengan aktingnya yang sangat memukau rasanya wajar. Meski terkadang ada hal-hal yang harus ia korbankan. "Loh? Memangnya Ayah gak jemput?" tanyanya dengan mengerutkan kening. Padahal semalam ia sudah menelepon suaminya. Katanya bisa menjemput anak mereka. "Arasha nunggu sampai setengah jam di gerbang sekolah! Tapi Ayah gak datang! Terus akhirnya nebeng temen Arasha! Dianterin sampai ke rumah!" "Ooh yaaa?" ia balas berseru seakan ceria. Padahal ia bingung kenapa suaminya tak menjemput anak perempuan mereka. Anak satu-satunya. Lantas suaminya ke mana? Apa ada pekerjaan yang begitu banyak? "Terus tadi nebeng siapa?" "Kakak Adel sama Adeev!" Aaaah. Ia mengangguk-angguk. Tentu saja ia mengenal kedua bocah itu. Karena mereka masih tinggal satu komplek yang sama. Beberapa kali, ibunya kedua gadis kecil itu juga sering tak sengaja bertemu dengannya. Ia juga mengenal salah satu keponakan ibunya kedua gadis kecil itu. Kenal lumayan dekat karena satu lingkaran pertemanan sebagai seseorang yang sama-sama memiliki suami yang berkiprah sebagai wakil rakyat. "Terus sekarang Arasha ngapain?" tanyanya. Ia tahu kalau anaknya pasti kesepian. Ia menghela nafas. Sebetulnya, ia sudah tak fokus dengan obrolan ini. Berusaha tetap ceria juga walau ada yang terasa ganjil. Karena benaknya terus bertanya-tanya, suaminya ke mana? Harusnya tak begitu sibuk hari ini. Ia menghela nafas, sudah tak berkonsentrasi lagi. "Teh Bel, abis ini ada wawancara sedikit sama redaksi majalah perempuan." "Mereka ke sini atau kita ke sana?" "Mereka udah nyediain tempat." Arabella mengangguk. Usai menelepon Arasha tadi, ia kembali menyambung pekerjaannya. Begitu selesai, malah harus berangkat lagi. Tadi gadis kecilnya sudah menangis, minta ditemani main di rumah. Tapi Arabella tak bisa mengabulkannya. Walau ia berjanji akan segera pulang begitu pekerjaan selesai. Di mobil, ia mencoba menghubungi suaminya. Namun sulit sekali karena teleponnya sering diabaikan. Ia tahu kalau hubungan mereka memburuk beberapa hari ini. Pertengkaran yang tak pernah usai karena kesibukan masing-masing. Padahal dulu, suaminya tak mempermasalahkan pekerjaannya. Toh berkat pekerjaannya juga, suaminya bisa berada di posisi sekarang. Dulu, mereka pacaran lama. Sejak SMA. Arabella lah yang menemaninya dari sama-sama susah dulu. Saat Arabella akhirnya menjadi artis, suaminya juga yang mendukung mati-matian. Disaat suaminya sibuk kuliah politik, Arabella sibuk pemotretan dan syuting film. Saat lelaki itu lumayan sukses dengan posisinya, mereka menikah cukup muda. Sama-sama diusia 22 tahun saat itu. Kini hampir genap sepuluh tahun pernikahan mereka tapi semenjak suaminya sukses menjadi politikus dan namanya semakin merajarela hingga ke beberapa negara tetangga, rumah tangga mereka justru sering dipenuhi pertengkaran. Padahal kalau mengingat perjuangan ke belakang, sungguh tidak mudah. Menakhlukan hati Papa Arabella juga tak mudah. Lelaki itu juga politisi senior yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan di Indonesia. Nama suaminya semakin banyak dikenal di kalangan atas juga berkat Papanya. Ya memang bisa dibilang, lelaki itu memang besar karena nama Arabella dan keluarganya. Kamu ke mana, honey? Arasha bilang kalau kamu tidak menjemputnya. Padahal sudah berjanji. Namun pesannya tak dibalas. Ia tak mengerti. Meski bergeming dalam kenyataan namun sesungguhnya, Arabella sangat gelisah. Ia tak pernah mau menyulut pertengkaran. Namun sikap suaminya yang seperti ini lah yang sering membuatnya kesal. "Teh Bel, udah sampe!" tegur salah satu asistennya. Arabella tersadar. Ia segera turun dari mobil kemudian mengembangkan senyuman. Asal tahu saja, tidak mudah menjadi artis. Karena dikala hatimu mendung sekalipun, kamu masih harus dituntut untuk profesional menghadapi siapapun. Meski hatimu ingin menangis sekalipun, kamu masih harus tersenyum menghadapi dunia. Meski mungkin mereka sama sekali tak butuh senyumanmu. @@@ "Istrimu itu belum hamil juga, Gavin?" Kata-kata itu melayang di kepalanya. Maksudnya, terlintas begitu saja. Meski tak ada yang menemaninya di rumah ini. Tapi tetap saja, pertanyaan yang kerap terlontar itu seringkali masuk ke kepalanya. Pertanyaan dari ibu mertuanya. Sedari dulu, ia memang ditentang untuk masuk ke keluarga ini. Tapi yang namanya Davira? Terlampau berani hanya karena demi cinta. Meski kini ia yang menyesal sendiri. Ingin tersenyum pun terasa sulit. Ia hanya bisa menghela nafas. Padahal mereka belum lama menikah. Baru satu tahun. Bagaimana kalau lima tahun? Sepuluh tahun? Ia tidak mandul. Ia sudah memeriksakannya. Ia justru curiga dari keturunan suaminya. Karena suaminya memang anak tunggal dari cerita pada tetangga rumah mertuanya, mertuanya memang sangat susah mendapatkan Gavin. Tapi mertuanga sama sekali tak mau disalahkan dan malah menyebut Davira yang mandul. Sementara itu, di rumah orangtuanya, Gavin malah kalut. Tentu terkejut dengan kata-kata ibunya. Katanya... "Kalau kamu gak mau bawa si Davira ke rumah sakit, sama ibu aja yang bawa. Kalau memang dia itu gak mandul, kenapa harus takut periksa?" Gavin mengelus jidatnya. Pusing kepala. Pasalnya, semua orang juga tahu kalau ada kemungkinan susah hamil itu adalah karenanya. Tapi ibunya yang keras kepala dan berego tinggi ini tetap mengotot tak mau disalahkan. "Kamu tahu bagaimana kerasnya ibumu itu, Vin. Turuti saja. Toh gak akan apa-apa. Biar dia gak marah-marah terus," tutur ayahnya. Ia yang pusing kepala. Gavin pamit pulang dengan perasaan kalut. Ia lelah hidup seperti ini sebetulnya. Tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau harus dijalani. Sementara itu, ibu Gavin masih mengomel tidak jelas. Sampai suaminya menutup kedua telinganya dengan penutup telinga agar tidak sakit. "Dari dulu juga Mama gak pernah setuju Gavin sama perempuan itu. Udah mandul, keluarganya juga miskin. Untung aja anaknya masih bisa kuliah seenggaknya, gak malu-malu amat keluarga kita menerimanya menjadi menantu di rumah ini. Coba kalau si Gavin sama Praya! Lihat si Praya sekarang jadi artis sukses! Nama Gavin bisa naik jadi pengacara hebat gak kayak sekarang cuma mentok jadi PNS! Gajinya kecil! Gak seberapa!" Omelan yang membosankan sebenarnya. Untung saja Papa Gavin sudah menutup kedua telinganya. Kalau tidak, telinganya mungkin akan sakit. Sementara itu, Gavin hanya bisa menghela nafas. Ia sebetulnya tidak mau memikirkan anak meski sangat menginginkannya. Suami mana yang tak ingin anak? Tapi kalau memang bukan rezekinya, mau bagaimana lagi? Davira tersenyum kecil begitu mendengar suara mobil masuk ke garasi rumahnya. Ia menghapus airmatanya. Tak mau sedih berkepanjangan hanya karena belum memiliki anak. Perjuangannya dengan Gavin untuk menikah selama beberapa tahun terakhir tidak lah mudah. Apalagi dengan ketiadaan restu ibu Gavin. Bahkan sampai sekarang pun, ia masih tak dianggap jika ada acara di keluarga besar Gavin. Tak satu pun yang menyukai kehadirannya. Karena mereka memang tak pernah menginginkan Gavin akan bersanding dengannya. Si perempuan biasa yang berasal dari keluarga miskin. Tapi berhasil menjadi konsultan dan memiliki perusahaan konsultan keuangan sendiri. Ia juga punya beberapa pekerjaan lain seperti pembicara dan juga dosen di kampus swasta. Semua pekerjaan itu ia geluti karena masih harus menghidupi kedua orangtua dan adik-adiknya. Ia tak mungkin menumpahkan beban ekonomi keluarganya pada Gavin. Apalagi cowok itu juga menjadi tumpuan harapan di keluarganya. Meski keluarganya cukup berada. Ayahnya punya banyak perkebunan sawit di Kalimantan sana. Gavin turun dari mobil. Sebetulnya ia selalu merasa bersalah tiap pulang ke rumah dan melihat yang Davira sudah cantik untuk menyambut kepulangannya. Sebagai seorang istri, Davira tak memiliki celah. Perempuan itu sangat berbakti padanya. Meski sangat sibuk di luar sana. Rasanya, Gavin juga tak pernah mendengar Davira mengeluh. "Aku sudah masak, Mas. Baju ganti Mas juga udah aku taruh di atas tempat tidur. Mas mau mandi dulu kan?" Gavin mengangguk. Meski tampa senyuman pun, Davira masih memperlakukannya dengan baik. Namun langkah lelaki itu terhenti saat hendak menaiki tangga. "Eung, ada hal yang mau aku bicarain sama kamu," tuturnya ragu. "Apa, Mas?" Senyuman Davira itu yang selalu membuatnya tak tega. Tapi ia juga lelah menghadapi ibunya yang keras kepala. "Mama mau kamu periksa," tuturnya pelan. Ia tak tahu kalau kata-kata itu sesungguhnya menyakitkan hati Davira. "Aku kan udah pernah periksa beberapa kali. Bahkan dari sebelum kita menikah, Mas. Gak ada masalah." "Aku tahu," lelaki itu memejamkan matanya sesaat. "Tapi Mama ya kamu tahu lah, Vir. Kita turuti saja apa maunya. Gak masalah kan?" Davira hanya bisa mengangguk pelan. Ia memang tak kuasa menolak meski hatinya menjerit. Ibu mertuanya terlalu ikut campur urusan rumah tangga, kecuali urusan keuangan. Perempuan itu tak mengatur dan memang tak mengambil sepeserpun karena ayah mertuanya juga sangat mampu. Justru Gavin masih menerima uang dari ibunya karena lelaki itu anak tunggal. Davira termenung melihat punggung yang menghilang dibalik pintu kamar itu. Ada perubahan besar pada diri Gavin yang ia tangkap setelah mereka menikah. Apa? Lelaki itu tak pernah lagi membelanya seperti saat mereka sebelum menikah dulu. Gavin juga cenderung pasrah akan apapun yang diminta ibunya padanya dan terkadang merasa tak perlu bertanya pada Davira apakah ia keberatan atau tidak. Keputusan sepihak yang kerap diambil sendiri. Oke, Davira tahu jika surga laki-laki itu meski sudah berkeluarga, tetap ada pada ibunya. Berbeda dengan perempuan bukan? Tapi Davira juga tak berharap kalau Gavin akan selalu dipihaknya. Tentu saja tidak. Ia justru hanya tidak mau kalau ibu mertuanya terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka. Hanya itu saja. Apakah suaminya berani memberitahu hal itu pada ibu kandungnya? Davira sangsi. Sangat-sangat sangsi. @@@ "Shira! Ada cowok lo!" teriak salah seorang staf. Inshira menoleh. Ia mengerutkan kening. Seingatnya, ia tidak memberitahu Rieki sama sekali dengan pekerjaannya hari ini. Tapi ya sudah lah. Alih-alih memikirkan keganjilan itu, ia malah tersenyum riang. Ia menyelesaikan pemotretannya dengan cepat. Sebagai selebgram yang sedang naik daun, pekerjaannya sangat padat selama beberapa bulan terakhir ini. "Hei, Noon!" panggil Rieki. Cowok itu tampak duduk santai lalu melambaikan tangan saat melihat Inshira muncul. "Kamu udah lama?" tanyanya. "Baru aja datang." "Aaah," ia mengangguk-angguk. Lalu sibuk merapikan barang-barangnya untuk dimasukan ke dalam tasnya. "Kok tahu aku di sini sih? Perasaan aku gak cerita deh," ungkapnya. Rieki malah tersenyum. "Lupa ya? Kamu bilang minggu kemarin." "Oh ya?" Inshira menggaruk tengkuknya. Lupa sendiri. Rieki membantunya membereskan barang-barang. Mungkin ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Jadi lupa. "Aku kebetulan ada pekerjaan tadi di dekat sini jadi sekalian mampir. Mau makan bareng, Noon? Sebelum aku syuting lagi." Shira tersenyum kecil. Tentu saja ia mengangguk. Mumpung sama-sama punya waktu. Punya pacar artis dengan jadwal syuting yang lumayan padat kan susah bertemu. Jadi manfaatkan selagi ada waktu. "Mobil kamu ditinggal aja ya? Nanti aku anterin lagi ke sini," tuturnya. Shira mengangguk. Gadis itu manut-manut saja mengikutinya. Keduanya makan bersama. Shira tak menemukan sesuatu yang ganjil sebetulnya. Rieki masih perhatian seperti biasa meski mereka sudah lama sekali pacaran. Yaah sejak zaman kuliah. Bahkan Shira mengenal semua keluarga Rieki. Dia memang anak broken home. Ibunya seorang anggota DPR dan ayahnya adalah pegelut kesenian tradisional. Alih-alih hidup di bawah banyak kamera, ayahnya hidup jauh dari pusat perkotaan. Sementara ibu Rieki memang sangat nyaman dengan Jakarta. Bagi perempuan itu, karirnya adalah segalanya. "Ah ya, Papa nanya soal kemarin itu," ungkapnya pelan. Ia melihat respon Rieki. "Aku sih gak mau maksa. Karena aku tahu kalau ka--" "Nanti aku bicarakan sama Mama," tuturnya pelan dengan senyuman terpaksa. Ia tahu kalau Rieki mungkin takut menikah karena pengalaman buruk di keluarganya. Ayah dan ibunya yang bercerai adalah mimpi buruk baginya. Sementara sebaliknya, Inshira malah dibesarkan di dalam keluarga yang sangat hangat. Ia dulu berkuliah di Depok. Setiap hari, pergi dan pulang kuliah dengan naik commuterline. Tiap tiba di rumah dan Papanya sudah pulang, lelaki itu akan memeluknya dan menghujaninya dengan ciuman. Padahal ia hanya ke Depok dan bukan tempat yang jauh dari rumah mereka. Kalau ada anak-anak lain yang datang ke rumah Inshira dan melihat interaksi Inshira dengan Papanya, pasti sangat iri. Mungkin sebagian besar juga akan merasa aneh. Namun begitu lah kehidupan keluarga Inshira. Terlalu hangat dan harmonis. "Kamu yakin?" tanya Shira takut-takut. Ia bersedia menunggu sampai Rieki siap. Persoalan umur bukan masalah. Meski sekarang ia hampir mendekati 27 tahun. Mereka berpacaran telah cukup lama. Mungkin sekitar delapan tahun? Tidak mudah pula meluluhkan Papa Inshira saat itu. Karena lelaki itu memang tidak mengizinkan anaknya untuk berpacaran. Rieki menghela nafas. "Aku gak mungkin terus menunda, Noon. Kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu?" Shira tersenyum kecil. Tentu luluh dengan kata-kata manis itu. "Masih belum ada kepastian juga?" tanya sang Papa saat Shira bahkan baru saja tiba di rumah. Sapaan yang biasanya manis memang akhir-akhir ini berubah karena Papanya terus menagih keseriusan hubungan Shira dan Rieki. Bagi Papanya, untuk apa mereka berlama-lama pacaran? Selain menambah dosa, tentunya membuang waktu juga. Apalagi keduanya dinilai sudah mapan dan dewasa. Jadi apalagi yang ditunggu? Walau di sisi lain, Papanya juga punya maksud lain. "Gak segampang itu, Pa. Iki kan perlu memikirkan semuanya dengan matang. Apalagi dia pernah trauma persoalan Papa dan Mamanya. Pasti gak mudah." Ibunya yang mendengar itu pun turut membela. Sementara Papanya hanya menghela nafas. "Papa hanya ingin tahu sudah sampai mana keseriusannya sebagai seorang lelaki. Jangan hanya memacari tapi tak berani menikahi. Bagi Papa, sisi gentle-nya seorang lelaki itu ya dinilai dari keseriusannya untuk menikahi bukan memacari. Ini kalian pacaran udah kayak kredit mobil lamanya." Papanya masih terus mendumel. Inshira hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Ia juga tak mungkin memaksakan kehendak pada Rieki. Khawatir lelaki itu tak nyaman. Iya kan? @@@ "Ibu mertua gue pengen gue tes kesuburan lagi. Katanya dia belum percaya dengan hasil-hasil yang gue lakuin. Katanya itu bisa aja gue yang manipulasi," keluhnya. "Gue udah gak paham lagi, Em." Ia curhat pada psikiater yang lama-lama menjadi sahabatnya. Pertama kali ia datang ke sini sekitar lima tahun lalu. Saat depresi karena urusan keluarga di rumah. Maklum lah, keluarganya selain miskin juga tak memberikan kenyamanan. Namun pertemuan dengan Gavin, membuatnya bernai mengambil resiko kalau ia punya kemungkinan untuk membuat sebuah keluarga yang jauh lebih membahagiakan dibandingkan keluarganya sendiri. "Mengalah adalah satu-satunya jalan. Karena saat ini, mertua lo emang keras kepala dan berego. Nanti kalau hasilnya sudah keluar dan aman, ada dua kemungkinan." "Kemungkinan apa?" "Kemungkinan dia untuk menyangkal hasil itu atau menerima hasil itu namun...dengan tidak sepenuhnya percaya. Yaah bisa dibilang ini sama saja sebetulnya. Tapi kelanjutannya, tergantung suami lo. Apalah dia berada di pihak lo atau ibu mertua lo." "Ini jelas sulit, Em." Emi tersenyum kecil. Ia sudah banyak bertemu dengan pasien dan mereka membawa segudang permasalahan yang berbeda dalam hidup. Bahkan banyak yang berakhir dengan perceraian karena tidak tahan dengan ibu mertua. "Suami gue lemah sama ibu mertua. Apapun pasti dia turuti. Gue jadi bingung bagaimana harus menyikapinya." Emi mengangguk-angguk. Memang benar. "Suami memang akan dilema jika urusannya berada di antara urusan istri dan ibu kandungnya. Meskipun dia punya kewajiban untuk mengayomi dan melindungi elo, dia tetap harus mengutamakan ibunya. Mau gak mau memang elo yang harus mengalah, Vir. Apalagi dengan posisi suami lo yang lemah sama ibu kandungnya sendiri. Tapi di sisi lain, gue rasa harus ada orang yang bisa memberitahu ibu mertua lo untuk gak terlalu ikut campur urusan rumah tangga lo dan suami lo. Karena itu jelas tidak diperbolehkan karena itu urusan rumah tangga lo." Davira menghela nafas. Memang benar. "Kalau urusan nafkah gimana?" Emi mencoba mengoreknya. Bukannya ingin ikut campur, ia hanya ingin melihatnya dari berbagai sisi masalah yang mungkin saja timbul. Davira menggeleng. "Mertua masih sanggup menghidupi dirinya sendiri, Em. Jadi gak pernah berselisih soal itu. Hanya persoalan cucu yang jadi masalah antara gue dan beliau." @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD