^.^
Jya terkejut karena ada seseorang yang sedang duduk sambil menonton TV di ruang keluarga yang Jya lewati.
“Owh Ayah?” sapa Jya melihat Abyan fokus pada tontonannya.
Abyan menoleh dan mendapatkan keberadaan sang Putri Bungsu yang baru saja sampai di rumah.
“Miss me, darl?” sapanya pula pada Jya. Jya melangkah mendekat dan mendudukan dirinya di sofa yang sama dengan Abyan tepatnya di samping Abyan.
“No, Ayah seharusnya tahu alasan aku pulang hari ini,” seru Jya. Jya bersandar di sandaran Sofa sambil menatap layar TV yang sedang menyala.
Abyan pun melakukan hal yang sama.
“Kamu bahkan tidak menyambut Ayah pulang hari ini,” ujar Abyan dengan nada sedih.
“Maaf,” kata Jya menanggapi sang Ayah.
“Lebih banyaklah menginap di sini lagi. Rumahmu bukan di kantor butik itu. Ayah yakin kau tidak makan teratur di sana,” pinta Abyan.
Jya tampak diam untuk beberapa saat. Terdengar helaan napas dari sebelah Abyan itu helaan napas Jya.
“Aku hanya tidak ingin ada pertengkaran di sini, Yah,” balas Jya, sebenarnya dia tidak tahu harus bereaksi menolak atau bereaksi mengiyakan perintah sang Ayah.
“Tidak ada yang meminta kamu untuk bertengkar,” ucap sang Ayah.
“Tapi jika aku berada di sini, aku akan melakukannya,” sanggah Jya cepat. Bahu Jya luruh seiring helaan napasnya. Dia menyadari dia terlalu banyak menghela napas jika sudah berurusan dengan keluarganya ini. “Ayah tidak tahu seberapa sabarnya aku selama ini dengan tindakannya itu, aku bisa capek juga, Yah. Aku pun tidak ingin terus dihina dan dicemooh. Ayah tahu? Ibu pun sama saja, jadi apa gunanya aku di sini, yang malah hanya membuat badanku sakit-sakit semua,” ujar Jya.
Abyan menoleh pada sang Putri. “Ayah berusaha untuk mengerti situasi setelah Ayah kembali, tapi tolong jangan bawa ego kamu terlalu tinggi, Nak,” pujuk Abyan pada Putri Bungsunya yang sudah berumur 25 tahun itu.
“Aku tidak membawa ego, aku hanya sedang melindungi diriku sendiri, Yah.” Jya berujar sambil menyandarkan kepalanya pada bahu sang Ayah. “Yah?” panggil Jya.
“Hmm?” sahut Abyan dengen deheman.
“Ayah sepuluh bulan lagi akan pensiun, bukan?” Jya bertanya pada Abyan sambil menyandarkan kepalanya dibahu lebar yang sudah setengah baya milik Abyan.
“Kalau jadi umur Ayahmu ini bertambah, maka benar sepuluh bulan lagi Ayah akan pensiun,” balas Abyan.
“Memangnya umur bisa berhenti gitu?” tanya Jya tanpa melihat sang Ayah karena pandangan mereka terfokus pada televisi yang menyala.
“Bisa, ada satu caranya,” jawab Abyan.
Kemudian Jya yang memang sedang malas berpikir mendongakkan kepalanya untuk melihat raut wajah sang Ayah.
“Apa, Yah?” tanyanya.
“Meninggal,” jawab Abyan singkat.
“Kalau itu ya pasti berhenti langsunglah. Pensiun juga dipercepat, bedanya bukan pensiun dini,” ujar Jya santai.
“Iya umur orang siapa yang tahukan,” kata Abyan lagi. “Tapi Ayah pengen sebelum Ayah meninggal, Ayah bisa walikan kamu untuk akad nikah,” tambahnya.
“Udah ah, Ayah ngomongin mati gitu,” sela Jya bangkit dari posisi bersandarnya.
“Mau pergi istirahat lagi, jangan lupa besok bangun pagi bantu Ibu sarapan bareng kita, sudah berapa bulan meja makan rasanya dingin sekali,” pinta Abyan pada si Bungsu.
Jya menganggukkan kepala. “Iya kalau kondisi kondusif, Yah,” balas Jya sambil tersenyum kecil pada sang Ayah. “Aku ke kamar dulu, entah apa rupanya kamarku,” celetuk Jya. Padahal dia masih ada sekali-sekali pulang walau tidak bermalam di kamarnya.
“Hmm, selamat malam kamu,” kata Abyan melihat anaknya pergi dari sisinya.
“Eum, selamat malam juga Ayah!” balas Jya dengan suara agak keras.
Abyan melihat punggung sempit anaknya menjauh tenggelam di balik pintu penghubung menuju tangga lantai dua.
Malam itu berlalu begitu saja, hanya percakapan sang Ayah dan Anak yang baru pulang malam itu. Terbilang cukup jarang mereka dapat mengobrol, sebab sang Ayah yang kadang memang harus berlayar berbulan-bulan di lautan, dan baru-baru ini dalam beberapa bulan putri bungsunya itu sangat jarang sekali pulang ke rumah, lebih memilih untuk menginap di kantornya yang sudah dia rombak memiliki ruangan lain dengan kasur dan suasana kamar yang sederhana.
Dia kasihan dengan putrinya itu, seperti disusahkan dalam segala urusannya untuk hidup dengan mandiri. Putri sulungnya selalu menjadi alasan sang Putri Bungsunya menjauhi keluarganya sendiri. Sikap egois putri sulungnya turun dari sikap egois sang Ibu yang ternyata bahkan lebih parah dari sang Ibu sendiri.
“Sampai kapan kamu akan kucing-kucingan seperti itu,” gumamnya. Dia sudah merasa tua dengan dua putri yang sudah dewasa dan memiliki seorang cucu cantik yang menjadi mainan penghiburnya dikala sepi.
Pernikahan putri sulungnya memang kandas karena suatu hal, dan dia berharap akan ada pernikahan lainnya yang akan terjadi nantinya.
Pagi menjelang.
Di kamar Jya sendiri sudah dari subuh dia bangun dan bersiap. Tapi setelahnya dia malah duduk di ranjang sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang dengan berselonjor kaki.
Dia kelelahan, batin dan fisiknya lelah. Dia ingin mendapatkan pelukan dari orang tersayangnya. Tapi egonya untuk melakukan itu semua terlalu tinggi. Bukan tanpa alasan egonya meninggi.
Dia memikirkan kedepannya jika dia menurunkan hukumannya.
Ibu ingin pelukan Ibunya, tapi jika dia melakukan itu. Maka, dia harus bersiap dengan segala konsekuensi sang Kakak akan kembali merusak jadwal rutinitasnya dengan desakan dari sang Ibu. Dia yang tidak bisa menolak permintaan sang Ibu, tidak mungkin dia akan melakukan penolakan jika Ibunya itu sudah meminta dia untuk menuruti Aleta, sang Kakak. Maka dari itu, Jya lebih memiliki untuk diam, pergi menjauh, menyibukkan diri untuk tidak sampai dia menolak permintaan Sarah, ibunya. Apalagi sampai menyakiti perasaan sang Ibu.
Beberapa menit berdiam diri tenggelam dalam renungan. Akhirnya Jya bangkit dan keluar dari kamarnya.
Di dapur, tidak ada seorangpun yang berada di sana, itu artinya semua penghuni rumah itu masih di kamar masing-masing hanya Jya yang baru saja menapaki kakinya di lantai dapur.
Membuka lemari pendingin melihat isi lemari itu yang sudah lama tidak pernah dia sentuh.
Dulunya, area dapur adalah favourite Jya selain kamarnya. Dia sering di dapur, memasak dan makan sendirian. Menurutnya dapur cukup dingin ditambah ada meja pentri yang nyaman untuk dijadikan tempat tongkrongan oleh Jya. Tempat tongkrongan Jya memang berbeda dari orang kebanyakan, jika orang suka nongkrong di café atau di luar, maka Jya di dapur rumah orang tuanya.
Dia memasak pagi itu. Saat ditengah-tengah kegiatan memasaknya suara sang Ibu menyapa pendengarannya.
“Oh pulang kamu semalam!” ucap Sarah sambil melangkah menapaki lantai keramik dapur.
Tanpa menolah Jya menjawab, “Ibu yang minta pulang, jadi ya pulang aku.”
“Biasanya Ibu minta pulang kamu gak mau pulang gitu aja tuh,” balas Sarah.
“Entahlah, lagi dapat angin segar buat pulang jadi ya… pulang,” sahut Jya santai sambil menggulung telur dadar sayur atau dengan kata lain omelette yang dia buat.
“Aunty! Je…!” teriak suara anak perempuan dari arah belakang Jya. Dia tahu suara nyaring yang cempereng itu miliki siapa.
Jya berbalik. “Hai, selamat pagi Cucu Nenek…,” balas sapa Jya pada Sera, keponakannya.
Sera yang tadinya tersenyum lebar langsung cemberut dan menatap sinis Jya. “Aunty! Sera ini anak Aunty! Bukan cucu nenek!” protesnya.
“Oh ya?” sahut Jya pura-pura terkejut, tapi kemudian dia berbalik untuk melanjutkan gulungannya pada omelette sayur bayam miliknya.
“Aunty…!” rengek suara anak perempuan itu tidak bisa diam karena dia diacuhkan oleh Jya. Tidak berapa langkah anak itu sudah ada di dekat kaki Jya memeluk paha Jya karena hanya itu yang dapat dia peluk jika Jya sedang berdiri menjulang seperti itu. “Aunty! Ish Aunty jawab…!” rengeknya lagi.
“Eum?” balas Jya hanya dengan berdehem. Kalau siang anak ini bukan main aktif bermian dan menganggu sehingga kadang kesulitan untuk menjaganya walau dia sudah cukup berakal. Disangka malam dia akan kelelahan, maka tidak. Bahkan saat tidur pun dia kadang masih aktif, aktif untuk menendang, bergumam, dan menggeram bahkan tidak jarang dia merengek. Jya tahu itu karena beberapa bulan dia pernah mengurus keponakannya itu siang malam.
“Sera sini sama Nenek aja,” panggil Sarah untuk mengalihkan perhatian Sera, cucunya padanya.
“Em em em,” tolaknya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih menempel di paha samping Jya. “Tidak! Sera sama Aunty!” tolaknya dengan keras pada Sarah.
“Aunty mau memasak dulu, rindu tidak dengan masakan Aunty?” Sarah mencoba untuk membujuk Sera. Sera menjawab dengan anggukan kepala tapi dia membenamkan wajahnya di skirt yang Jya kenakan. “Jadi kalau gitu jangan ganggu Aunty Je masak dulu, ayo sini sama Nenek,” bujukkannya lagi.
Tapi tampaknya Sera tidak terpengaruh sama sekali melihat dia semakin membenamkan wajahnya dan mengeratkan pelukannya pada kaki Jya.
Jya hanya dapat menghela napas pelan. “Biarkan saja, Bu. Masih bisa aku masak sambil digelendoti Sera begini,” sela Jya menengahi.