27. Purnama

1021 Words
Pagi ini Isla olahraga di sekitar komplek rumahnya. Di tengah perjalanan, gadis itu melihat seekor anjing putih berjenis samoyed yang duduk di bawah sebuah pohon. "Rhys?" gumam Isla. Ia sempat ragu, namun pada akhirnya gadis itu mendekati anjing itu untuk memastikannnya sendiri. "Rhys?" panggilnya pelan namun anjing itu hanya menatapnya tanpa minat. Isla menatap kedua mata milik anjing itu dengan saksama dan ia menghela napas setelahnya. Rupanya itu bukanlah Rhys. "Bisa-bisanya aku masih terpikir kalau Rhys masih mengubah wujudnya jadi anjing, padahal sekarang pria itu bisa pergi ke mana-mana dengan wujud aslinya." Isla menggelengkan kepalanya pelan sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatannya. Hari libur memang selalu dimanfaatkan Isla dengan sebaik mungkin. Apalagi setelah ulangan di sekolahnya dua hari yang lalu, badannya terasa kaku dan ia memutuskan pergi berolahraga sebentar pagi ini agar tubuhnya mengeluarkan keringat. Isla pergi membeli minum dan ia mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku yang ada di sebuah taman di sana. "Kai, Tao, Denzel, Hugo, Aric, dan Herc. Aku bahkan tidak bisa meremehkan salah satu dari mereka. Ada yang memang tak bisa mengeluarkan serangan langsung seperti Denzel, Aric, Hugo, dan Herc tapi mereka bisa melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Kai bisa berteleportasi dan Tao bisa menghentikan waktu hanya dengan menjentikkan jarinya saja," batin Isla. Ia tak bisa begitu saja meremehkan Kai atau pun Tao, mengingat kemampuan mereka berdua juga terbilang hebat dan sulit dikalahkan begitu saja. Bahkan Rhys beberapa kali dibuat terluka parah dan itu artinya Isla harus lebih berhati-hati. Dia sebagai manusia, masih sangat lemah jika dibandingkan dengan Rhys dan juga teman-temannya. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya seseorang tiba-tiba. Suara ini. Isla baru saja hendak menoleh ke bangku yang ada di belakangnya namun suara itu kembali menginterupsinya. "Jangan tolehkan wajahmu ke sini. Fokus saja ke depan seakan-akan kita tak mengucapkan apa-apa," ujarnya. Kening Isla mengerut. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyanya tanpa berusaha menolehkan kepalanya ke belakang, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Tao. "Hanya sedang berjalan-jalan di sini," ujar Tao. "Sekaligus memberitahumu, agar setelah ini kau berhati-hati dengan setiap langkahmu," lanjutnya. Kedua alis milik Isla saling bertaut. "Hati-hati dengan langkahku? Kenapa kau bicara begitu?" tanyanya namun ia tak mendengar jawaban lagi dari Tao. Hal itu membuat Isla lantas memutar tubuhnya ke belakang dan ia tak melihat siapa-siapa di belakangnya. Gadis itu mencoba mencerna apa maksud dari kalimat Tao beberapa saat yang lalu. "Berhati-hati dengan langkahku? Apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu seolah-olah akan terjadi sesuatu yang buruk padaku?" gumam Isla. Gadis itu lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar berharap masih bisa menemukan Tao di sana namun rupanya pria itu benar-benar sudah pergi dari sana. "Apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu padaku?" Isla memutuskan untuk kembali ke rumah. Di tengah perjalanan, gadis itu sempat kehilangan fokusnya pada jalanan dan hampir saja tertabrak oleh mobil namun seseorang di dekatnya berhasil menarik kembali tubuhnya ke pinggir. "Terima kasih," ujar Isla pada wanita yang telah menolongnya barusan. Gadis itu kembali melanjutkan perjalanannya ke rumah. Ia terlalu serius memikirkan perkataan Tao hingga ia kehilangan fokusnya dan hampir saja celaka. "Aku pulang." Isla memasuki rumahnya dan melihat ibunya hendak pergi ke suatu tempat. "Ibu ... mau pergi?" tanyanya. "Ibu akan melihat perkebunan ayahmu di Angelholm. Ibu akan kembali menjelang makan malam nanti, jadi jangan khawatir." Maria mengusap puncak kepala putrinya dan bergegas mengambil kunci mobil yang ada di atas meja. "Hm. Berhati-hatilah," ujar Isla. Gadis itu lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Namun sebelum ia benar-benar mencapai pintu, ia menatap sebuah pintu lain yang jaraknya tak jauh dari posisi kamarnya. Dengan perlahan ia berjalan ke sana dan dengan perlahan mengetuk pintu itu. "Rhys? Kau di dalam?" tanya Isla. "Aku di sini. Masuklah kalau kau mau," ujar Rhys dari dalam kamar. Perlahan Isla membuka pintu itu dan melihat keadaan di dalam. Di sana, ia bisa melihat Rhys yang tengah melepaskan perban yang membalut luka yang ada di salah satu lengannya. "Sistem regenerasi kulitmu benar-benar lebih cepat dari manusia." Isla menatap Rhys kagum. Luka yang ada di lengan pria itu sudah mulai menghilang dan itu terlihat luar biasa. "Kau pasti tidak harus sering minum obat jika sedang terluka. Yang kau lakukan adalah menenangkan pikiranmu dan mengistirahatkan tubuhmu dari kegiatan yang berat. Dan setelah itu lukamu akan sembuh dalam hitungan jam saja. Kau tahu? Itu keren, aku pernah melihatnya di beberapa film," ujar Isla. Rhys hanya tersenyum menanggapinya. "Tapi berkat kau, proses penyembuhanku juga selalu berjalan dengan cepat. Jika tidak ada kau, aku mungkin akan semakin babak belur," ujarnya. "Ngomong-ngomong sepertinya aku tidak pernah melihatmu kembali ke hutan Trollehallar itu." Isla menundukkan kepalanya. "Hanya sedang tak ingin, mungkin lain kali aku akan ke sana lagi saat situasinya sudah normal lagi. Sekarang Trollehallar benar-benar berubah menjadi tempat yang mengerikan dan aku jadi agak ragu untuk pergi ke sana. Jadi aku mungkin akan mencari tempat lain yang bisa dijadikan tempat untuk memotret. Di Goteborg juga masih banyak tempat-tempat keren, jadi aku tak perlu jauh-jauh pergi ke Angelholm untuk ke Trollehallar," ujarnya. *** Maria berkata kalau ia akan kembali sebelum makan malam tapi wanita itu bahkan belum juga kembali saat langit benar-benar sudah berubah menjadi gelap, bahkan bulan mulai bersinar dengan terang dan bintang-bintang mulai bermunculan di atas sana. Akhirnya Isla sendiri yang memutuskan untuk menyiapkan makan malam. Ibunya mungkin terlambat karena terjebak macet, mengingat wanita itu pergi ke Angelholm yang mungkin jalanan di sekitar Trollehallar mengalami kemacetan karena banyak orang yang penasaran dengan tempat itu karena berita yang mereka lihat beberapa waktu lalu. Isla meletakkan peralatan makan di atas meja. Usai menyiapkan makan malam, gadis itu berjalan menaiki satu per satu anak tangga dan menuju lantai dua. Ia berjalan ke kamar Rhys lalu mengentuk pintu kamar pria itu dengan perlahan. "Rhys? Aku sudah menyiapkan makan malam," ujar Isla namun tak ada jawaban yang terdengar dari dalam. Akhirnya Isla kembali memanggil Rhys namun ia tak mendapatkan jawaban lagi. Akhirnya, Isla memutuskan untuk memeriksanya sendiri karena berpikir kalau Rhys mungkin sedang pergi ke luar. "Rhys—" kalimat Isla terputus saat ia melihat Rhys yang duduk di jendela membelakanginya. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya. Ia berjalan mendekat sebelum akhirnya Rhys menolehkan kepala ke arahnya. Kedua mata Isla membulat hingga ia terdiam di tempatnya. —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD