3. Sihir

1179 Words
Deringan ponsel itu membuat mimpi sang pemilik mendadak berantakan. Di sana diceritakan ia sedang berada di sebuah pesta dansa besar dengan berbagai hidangan mewah. Semula semuanya berjalan dengan baik, di mana ia berdansa dengan seorang pria tampan dengan pandangan yang terus mengarah padanya. Manik mata berwarna merah itu justru tak membuatnya takut, justru sebaliknya. Ia malah jatuh ke dalam pesonanya. Suasana pun mendadak berubah begitu musik klasik yang mengiringi diganti menjadi musik rock yang memekakkan telinga. Sang pria tampan yang tadi berdansa dengannya itu menghilang entah ke mana. Isla membuka kedua matanya dan langsung menutup wajahnya dengan sebuah bantal. Siapa suruh juga ia memilih lagu rock sebagai nada alarm pagi harinya. Mau tak mau ia pun bangun dan mematikan alarm yang nyaris memecahkan gendang telinganya itu. Ponselnya tidak lama kemudian berdering, membuatnya mengangkat panggilan itu dengan suara husky khas bangun tidur.  "Kenapa?" tanyanya lalu menguap. "Kau baru bangun, ya?" Suara milik Teresa menyapa telinganya.  "Hm. Ada apa? Ini kan libur. Kau mau menyuruhku masuk pagi-pagi ke kelas?" Teresa terdengar membuang napas. "Aku mau mengajakmu pergi keluar. Ayolah, akhir pekan ini aku ada acara keluarga di Angelholm," ujarnya di seberang sana. Ia dan Isla rutin menghabiskan akhir pekan bersama. Menonton film, mengunjungi taman bermain, atau bahkan ke pantai.  "Ah, baiklah. Lagi pula aku juga hari ini tidak ada rencana."  "Oke. Hubungi aku jika kau sudah berangkat." "Hm." Panggilan pun ditutup. Isla kembali menguap, lalu meletakkan ponselnya di atas ranjang. gadis itu berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang masih agak sempoyongan.  Selang lima belas menit usai membersihkan diri, Isla memakai sebuah gaun selutut berwarna baby blue dengan sebuah jepitan rambut berwarna serupa. Kedua matanya lalu tanpa sengaja menatap sesuatu yang berada di atas meja belajarnya.  "Ini kan-"  Isla berkedip menatap sebuah sapu tangan yang ada di sana. Kain berwarna putih dengan gambar daisy di salah satu ujungnya, tidak lain adalah sapu tangan miliknya. Namun yang kini mengganggu pikirannya adalah, bagaimana benda itu berada di meja belajarnya padahal kemarin ia memakainya untuk membalut kaki anak anjing yang terluka sewaktu di Trollehallar.  Mendadak bulu kuduknya meremang. "Apa selama ini aku memiliki dua sapu tangan yang sama?" Ia tertawa renyah, berusaha menyingkirkan segala pikiran aneh yang menghinggapi kepalanya.  "Bagaimana benda ini bisa sampai ke sini?" Ia membatin dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya.  *** Teresa menatap satu per satu hasil jepretan Isla kemarin tanpa berkedip. "Kau pasti sudah gila," ujar Teresa begitu Isla menunjukkan foto kebakaran yang ada di Trollehallar.  Seulas senyuman justru terbentuk di bibir Isla begitu mendengar kalimat Teresa. "Sudah kubilang kan, di sana pemandangannya keren sekali." "Aku yakin ibumu akan marah kalau dia tahu kau nekat ke sana." Isla nyengir, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Maka dari itu kau jangan memeritahunya." Ia mengambil sepotong foccacia di piring dan memakannya dengan lahap. "Lalu bagaimana hari ini? Kau tidak ke sana lagi?" Teresa meminum late miliknya dan menyiangkan kedua tangan di depan d**a.  "Aku akan ke sana siang ini." Isla mengusap salah satu sudut bibirnya dengan selembar tisu. "Kau pasti akan berpendapat sama denganku jika ikut ke sana." "Aku tidak mau." Teresa ikut mengambil sepotong foccacia yang ada di bagian tengah meja.  "Ah, bukankah kau bilang pekan ini ada acara di Angelholm? Kenapa tidak mampir saja-" "Tidak."  Bibir Isla menekuk.  "Kau tahu, Isla? Ucapanmu memang benar kalau Trollehaller itu tempat yang bagus. Tapi semenjak ada kebakaran aneh itu, pandanganku soal hutan itu berbeda." Isla mengingat-ingat setiap tempat yang dia lewati di sana. "Kemarin aku menemukan lokasi kebakaran di sana. Aneh sekali jika polisi dan pemadam kebakaran berkata kalau kobaran api dipadamkan oleh air mengingat tanahnya basah. Padahal, di dekat tempat itu aku tidak menemukan sungai dan kemarin itu tidak ada hujan di Angelholm."  Teresa berdeham tenpa alasan dan kembali mengambil potongan foccacia yang lain. "Sudah kubilang kalau tempat itu aneh."  "Aku juga menemukan anak anjing di sana. Kasihan sekali, kurasa dia terpisah dengan keluarganya sewaktu kebakaran itu terjadi. Dia tersangkut di semak berduri dan aku mengobatinya di sana. Malang sekali." Teresa mengerutkan dahi. "Anak anjing? Di Trollehallar?" "Hm. Dia lucu sekali, bulunya berwarna putih dan kedua matanya berwarna merah." Isla tersenyum lebar mengingat anjing menggemaskan yang ditemuinya.  Mendadak Teresa tersedak. "Kau bilang matanya berwarna merah? Anjing jenis apa itu?" Isla terdiam sejenak. "Kurasa ... samoyed?"  "Kau gila. Tidak ada anjing bermata merah. Apa menurutmu matanya sedang sakit? Mungkin saja karena kebakaran itu."  "Kurasa tidak. Apa aku salah lihat, ya? Tapi ... matanya memang berwarna merah." Isla terdiam setelahnya.  "Isla, kurasa lebih baik kau tidak kembali ke sana." "Tapi ... ada sesuatu yang harus aku pastikan."  "Apa itu?" Teresa menatap sahabatnya dengan kening yang kembali mengerut. *** "Aku ragu kalau anjing itu masih ada di sana tapi mengingat ucapanmu tadi, kurasa binatang itu memang tinggal di sana." Isla menatap sebuah kantung plastik kecil berisi beberapa sosis.  "Jangan bawa-bawa namaku kalau terjadi sesuatu di sana." Teresa menghela napas. "Dan lagi bagaimana jika ternyata anak anjing itu adalah penyihir?" "Astaga, kau mulai lagi. Makanya aku mau ke sana untuk memastikan. Kalau kau tidak mau ikut, maka jangan banyak bicara." Teresa menggelengkan kepala, merasa tak mengerti dengan kelakuan sahabatnya itu.  Bruk! "Ah, maafkan aku!" Isla meminta maaf berkali-kali pada seorang pria yang barusan bertabrakan dengannya. Gadis itu lalu mengambil kantung kresek yang jatuh dan memasukkan kembali sosis-sosis itu.  "Kau tak apa?" Teresa bertanya. "Kau yakin mau ke sana? Mungkin saja Trollehallar adalah hutan paling berbahaya di Angelholm? Bagaimana jika itu adalah hutan sihir?" "Kau semakin terdengar seperti ibuku. Sudah, ya. Aku pergi." Isla melambaikan tangannya dan berlari memasuki bus yang baru saja datang.  *** Isla berjalan menyusuri hutan lewat jalan yang dilaluinya kemarin. Sebuah sapu tangan sudah ia genggam. Jelas-jelas kemarin dia menggunakannya untuk membalut luka anak anjing itu. Mustahil jika benda itu secara ajaib bisa sampai di meja belajarnya pagi ini. Apakah angin yang menerbangkannya? Konyol sekali.  "Bahkan darahnya pun sudah tidak ada." Isla mengamati setiap permukaan sapu tangan miliknya dan tidak menemukan noda darah sedikitpun di sana. Langkah kakinya lalu berhenti secara tiba-tiba. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar begitu merasa ada yang janggal.  "Apa aku salah jalan?" gumamnya. Ia menelusuri ke sekitarnya dan tempat itu sama persis seperti yang dilewatinya kemarin.  "Mustahil. Tempat ini kemarin kebakaran, kan?" Kakinya perlahan mundur selangkah. Butuh waktu setidaknya sebulan agar bekas kebakaran itu hilang dan diganti dengan tumbuhan yang baru. Namun kini, tepat di depan matanya sendiri, pohon-pohon dan tumbuhan lain sudah tumbuh dengan begitu lebat layaknya tak terjadi apa-apa di sana. Hanya dalam waktu semalam, mungkinkah? Tubuh Isla lalu berbalik begitu merasa seperti diawasi. Tak ada apapun dan siapapun di belakangnya. Kondisi hutan juga tampak baik-baik saja. Lalu saat ia memutar tubuhnya lagi, ia melihat anak anjing yang ditemuinya kemarin.  "Ah, kau di sini rupanya. Kupikir aku tidak akan menemukanmu lagi." Isla lalu mengeluarkan sebuah sosis dari kantung kreseknya. "Makanlah." Anak anjing itu tampak lahap memakannya, membuat Isla tersenyum. Tunggu! Isla menatap seluruh kaki anjing itu.  "Bukankah kemarin kakinya terluka?" batinnya. Ia lalu menatap sapu tangan miliknya. Mendadak kegiatan makan anjing itu berhenti dan menatapnya tanpa disadari.  "Kakimu sudah sembuh." Isla berujar setengah tak percaya. Apa kali ini dia menemukan anak anjing yang lain? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD