4. Bumi dan Hidrogen

1076 Words
Isla tidak henti-hentinya berdecak kagum. Gadis itu selama seharian memutari seisi hutan, memotret objek-objek di sana. Dengan seekor anjing kecil yang menemaninya, Isla menikmati waktunya selama berada di Trollehallar. Siapa sangka hutan yang katanya menyimpan kejadian misterius itu justru di dalamnya menyimpan berbagai hal menakjubkan.  "Kau pasti senang sekali berada di sini.Udara di sini begitu segar, aku bahkan menyukainya," ujarnya. Sang anak anjing hanya menatapnya. Namun secara tiba-tiba langkahnya mendadak berhenti dan kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menggonggong, lalu menarik-narik dress yang dikenakan Isla saat gadis itu sedang berjongkok hendak mengambil gambar seekor serangga.  "Ada apa?" tanyanya. Si anak anjing menggonggong kian keras, lalu berlari dengan cepat dari sana. Isla dibuat kebingungan dan ia langsung menyusul anak anjing itu, khawatir sesuatu kembali terjadi padanya.  "Ke-kenapa kau berlari? Apa ada sesuatu?" Napas Isla mulai terputus. Ia beberapa kali menoleh ke belakang namun tak menjumpai apapun, sampai akhirnya- Kedua mata gadis itu mengerjap tanpa menghentikan laju kakinya. "Ini ... " Ia membuka telapak tangannya, lalu butiran-butiran halus berwarna putih jatuh ke permukaan kulitnya.  "Salju?" Mulut Isla setengah terbuka. Sementara itu jauh di belakang mereka, tepatnya di tempat semula mereka berada, dua sosok lain muncul.  "Dia itu ... manusia, kan?" Salah satunya berujar. Sebuah tanda menyerupai kristal es di salah satu punggung tangannya bersinar dan dalam hitungan detik sebatang es menyerupai stalaktit sudah berada di genggaman tangannya. Melihat itu, rekannya hanya tersenyum seraya melipat kedua tangannya di depan d**a.  Hanya dalam satu kedipan mata, batangan es itu melesat menuju ke arah Isla dan anak anjing tadi pergi.  "Kau jahil sekali." Rekannya menyeringai tipis.  Si pelaku hanya mengangkat kedua bahu. "Siapa sangka kalau ternyata Rhys akan mengubah wujudnya jadi seekor anjing? Sulit dipercaya karena dia bahkan bisa mengelabui Kai dan Hugo. Dia pasti memiliki tanda di kakinya," ujarnya. Ia mengangkat tangannya begitu buliran-buliran air berterbangan mengitari tubuhnya.  Slash! Isla berhenti saat sesuatu menggores permukaan lehernya. Ia lalu melihat sebatang es seukuran ibu jari orang dewasa menancap di pohon, sebelum akhirnya menghilang bersamaan dengan butiran salju yang tadi berjatuhan. Si anak anjing yang juga melihatnya pun langsung berbalik dan mendapati Isla yang sudah duduk di atas permukaan tanah. "Darah ... " Isla menatap telapak tangannya usai ia mengusap lehernya. Kedua matanya kehilangan fokus, pikirannya tak bisa dikendalikan.  Dari mana datangnya salju tadi bahkan ... batangan es?  Gadis itu menatap lurus ke arah anjing yang tampak menatap padanya. Isla segera berdiri begitu anak anjing itu mendekat.  "Aku pasti sudah gila," gumamnya seraya menatap telapak tangannya. "Di sini terlalu berbahaya untukmu. Sebaiknya kau ikut denganku," ujarnya. Ia hendak membawa anak anjing itu namun tiba-tiba saja hewan itu menggonggong dan berlari meninggalkan Isla di sana. "He-hei, tunggu!" Isla dengan cepat mengejarnya, namun di luar dugaan kalau anak anjing itu rupanya membawanya ke titik awal di Trollehallar. Anjing itu menuntunnya keluar dari sana.  "Kau ingin aku pergi? Lalu bagaimana denganmu? Hutan ini tak aman. Kau sebaiknya ikut-" kalimat Isla berhenti saat salah satu kaki anjing itu bersinar, hingga pandangannya menjadi gelap.  "Pulanglah, di sini terlalu berbahaya untukmu. Dan jangan kembali lagi. Maaf." *** "Ah, kepalaku pusing sekali." Isla mendudukkan tubuhnya begitu kepalanya berdenyut, seakan kalau dirinya minum alkohol semalaman.  "Kau sudah bangun?" tanya seseorang.  Isla menoleh ke sebelahnya dan terkejut bukan main saat melihat ibunya di sana. "Kenapa Ibu bisa berada di sini?" tanyanya.  Wanita yang tengah memegang remot TV itu menatap putrinya dengan salah satu alis terangkat. "Apa maksudku? Ini rumahku." Isla menatap ke sekitarnya dan kian terkejut saat mengetahui kalau dirinya berada di rumah. "Bagaimana bisa? Aku tadi di-" "Kepalamu pasti terbentur sesuatu. Kau kan tadi yang pulang sendiri. Astaga, bagaimana bisa kau lupa? Kau kan hanya ngantuk, bukan mabuk. Kau langsung tidur di sofa ini saat sampai. Kau benar-benar mengantuk, ya?" Kedua alis Isla saling bertaut. Pandangannya lalu menatap layar TV yang menayangkan sebuah berita. Kedua matanya membulat melihat adanya kepulan asap di sana.  "Lihat, Trollehallar itu tempat yang berbahaya sekarang. Di tengah hujan begini, kobaran api di sana tidak padam sama sekali. Tidak ada yang berani mendekat ke sana, jadi Ibu minta kau pergi saja ke tempat lain." Isla menoleh ke jendela dan langit tampak sudah gelap, disertai dengan gerimis dan beberapa kilatan petir. "Sana bersihkan tubuhmu, lalu makanlah." Isla meraih tasnya dan berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Sulit dipercaya, di mana jelas-jelas dirinya tadi berada di Trollehallar dan mendadak tak ingat apapun, lalu begitu sadar dirinya sudah berada di rumah secara ajaib. Isla menaruh tasnya di atas ranjang. Ia langsung pergi ke kamar mandi namun gadis itu segera memutar tubuhnya ke belakang sesaat setelah melihat siluet seseorang di balkon kamarnya lewat pantulan cermin.  "Tidak ada siapa-siapa," gumamnya. "Tidak mungkin pencuri. Mungkin itu hanya orang iseng di tengah gerimis begini."  Gadis itu mendekati pintu kamar mandi, lalu berhenti saat tangannya sudah mencapai handle. Seketika tubuhnya membeku.  "Tapi ... kamarku berada di lantai dua, kan?"  *** "Sulit dipercaya. Kau mengubah wujudmu dan mengelabuiku, lalu bekerja sama dengan manusia. Kau lupa tujuan kita ke sini? Betelgeuse membutuhkan banyak hidrogen agar bisa kembali hidup, dan di bumi inilah hidrogen melimpah."  Terdengar ledakan cukup kuat setelahnya. Sosok yang tersungkur di atas permukaan tanah itu menatap beberapa orang di depannya. "Kita mungkin bisa menghidupkan kembali Betelgeuse, tapi tidak dengan cara merampas seperti ini. Kalau ternyata setelah semua ini Betelgeuse akan tetap musnah, maka terima saja." Ia mengerang begitu kakinya ditendang. Sosok dengan lambang segitiga itu lalu berjongkok. "Dengar, Rhys. Kita tidak punya waktu untuk bermain-main. Sebelum cahaya di Betelgeuse benar-benar padam, kita hancurkan planet ini. Aku tidak tahu seberapa persen hidrogen di planet ini akan berpengaruh pada Betelgeuse karena keadaannya sudah bersenyawa dengan unsur lain di sini." Matanya yang berwarna merah tampak mengkilap begitu kobaran api di sekitarnya membesar. "Ingat, kerja sama itu penting." Ia menepuk bahu Rhys lalu beranjak dari tempatnya.  "Aku akan pergi ke bagian utara bersama Denzel. Hugo dan Aric akan pergi ke bagian selatan. Dan kau, tetap di sini dengan pengawasan Tao dan Herc. Jika kau sudah berubah pikiran, kau bisa memilih untuk ikut denganku, atau Hugo." Sosok bernama Kai itu sudah menghilang dalam sekejap bersama dengan si pengendali air.  Rhys mendudukan tubuhnya. Hujan dan kilatan petir di sana sudah berhenti.  "Denzel sudah mengetahui tentang gadis itu, asal kau tahu. Aku mungkin tidak tertarik berurusan dengannya, tapi Kai mungkin tertarik. Dia tadi menyuruh Denzel melacak keberadaannya dan yah, dia hanya manusia lemah. Tidak ada yang spesial." Salah satu sudut bibir Herc naik. Sebuah simbol di salah satu pergelangan tangannya tampak bersinar, dan terdengar suara gemuruh dari kejauhan tidak lama setelahnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD