12. Tulus

1035 Words
"Jadi, malam ini kau tidur di kamarku atau bagaimana? Jika ibuku tiba-tiba saja tahu dengan wujudmu yang asli, kau pasti akan langsung ditendang dari sini apalagi kau itu seorang laki-laki." Isla menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali. "A-aku tidur di sini kalau begitu. Aku tidak akan bermacam-macam, sungguh." Rhys mencoba meyakinkan gadis yang berada di depannya. Isla menatap Rhys dari atas hingga bawah. "Baiklah. Kau bisa tidur di ranjang, sementara aku akan tidur di sofa." "Ha? Tidak perlu. Aku tidak mungkin membiarkan itu. Ini kan kamarmu, jadi kau sebaiknya tidur di kasurmu. Biar aku saja yang tidur di sofa," ujar Rhys. "Kau yakin?" Rhys langsung menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Tidak apa-apa jika aku tidur di sofa." Isla terdiam sejenak dan gadis itu berjalan membuka lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan sebuah selimut dari dalam dan memberikannya pada Rhys. "Kau mungkin akan merasa kedinginan. Jadi pakai saja selimut ini," ujar gadis itu. Suasana menjadi canggung tidak lama setelahnya. Isla memberikan salah satu bantalnya untuk dipakai Rhys dan kemudian gadis itu segera naik ke atas kasur dan menyelimuti tubuhnya. Rhys pun melakukan hal yang sama dan dirinya naik ke atas sofa lalu menyelimuti tubuhnya. Setelah beberapa menit berlalu, kedua mata Isla sama sekali tak bisa dipejamkan. Gadis itu beberapa kali menatap ke arah Rhys yang sudah terlihat tertidur lelap. "Dia pasti kelelahan," lirih Isla. "Kau tidak tidur?" tiba-tiba Rhys membuka kedua matanya hingga kedua iris berwarna biru safir itu bertumbukkan dengan kedua mata milik Isla. Gadis itu mengerjap pelan, lalu pura-pura tertidur dengan memejamkan kedua matanya. Melihat itu Rhys tersenyum tipis. "Kau sudah ketahuan dan masih bisa berpura-pura?" ujarnya. Karena sudah tertangkap basah, akhirnya mau tidak mau Isla membuka kedua matanya. "Aku tidak bisa tidur." "Kau hanya merasa cemas. Tidur saja, aku tidak akan bermacam-macam padamu." Kedua pipi Isla seketika menggembung. "Bagaimana bisa aku mempercayai seorang laki-laki?" Rhys membuang napas pelan. "Kau terlalu memikirkan yang tidak-tidak, Nona. Tidak ada untungnya jika aku melakukan sesuatu padamu. Jadi tidurlah, bukankah besok kau harus pergi ke sekolah?" Kedua mata milik Isla berkedip dua kali. Ia membuang napas pelan lalu berujar. "Kalau begitu aku akan tidur. Jika kau sampai berani melakukan sesuatu padaku, aku pasti tidak akan membiarkanmu hidup!" ancamnya. Rhys hampir saja tertawa. Kalimat yang terdengar begitu konyol. Dilihatnya Isla membalikkan badannya hingga memunggunginya, gadis itu berusaha untuk tidur. Karena tak ingin mengganggu tidurnya, akhirnya Rhys ikut memejamkan kedua matanya dan tertidur. Bau khas milik gadis itu seolah menempel di tempat ia tidur sekarang, termasuk di bantal yang tengah ia pakai, membuat kedua matanya secara tak sadar menjadi lelah hingga akhirnya menutup dengan sendirinya. *** "Selamat pagi, Sayang." Maria yang tengah menyiapkan roti panggang itu menatap putrinya yang baru datang. Isla mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi dan mengambil roti yang sudah diisi oleh selai stroberi. "Mana anjing itu? Kau tidak memberinya makan sebelum pergi ke sekolah?" tanya Maria. Isla membuang napas pelan. "Dia masih tidur." Jika saja ibunya tahu sosok seperti apa yang ada di kamarnya, wanita itu akan langsung mengambil tongkat baseball dan melemparkannya tepat ke wajah lelaki bernama Rhys itu. "Kau tampak berbeda. Apa tidurmu tidak nyenyak?" Maria mendudukkan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan Isla. "Begitulah," ujar Isla apa adanya. "Kejadian kemarin membuat badanku agak terasa pegal-pegal, jadi aku tak bisa tidur nyenyak." "Lihat saja. Jika kau masih berani menginjakkan kakimu di Trollehallar." Maria menatap putrinya tajam. "Ibu, aku masih harus mengembalikan anjing itu ke sana, kan? Bukankah Ibu sendiri yang menyuruhku? Apa Ibu lupa?" Kedua mata Maria berkedip dua kali. "Tentu saja Ibu ingat. Tapi kau hanya perlu mengembalikan anjing itu ke hutan yang ada di sana. Lalu setelah itu kau kembali. Tidak ada sesi memotret atau apapun semacamnya. Mengerti?" tegasnya. Isla sempat memelankan tempo kunyahannya dan gadis itu hanya mengangguk pelan. Sejujurnya ia pun sudah malas dengan tempat itu setelah tahu apa saja yang ada di dalam sana. Namun karena anak anjing yang ia temui masih terluka dan tak bisa berjalan dengan normal, akhirnya ia mau tidak mau harus menampung Rhys selama beberapa hari sampai lelaki itu sembuh. Sebelum berangkat, Isla mengambil beberapa roti isi dan juga beberapa buah sosis, lalu ia bawa ke kamarnya. Rhys terlihat sudah bangun dan lelaki itu langsung menoleh ketika Isla masuk. "Ini makanan untukmu. Aku akan pergi ke sekolah jadi kau mungkin akan berada di rumah bersama ibuku. Jangan lupa untuk mengubah wujudmu menjadi anak anjing lagi," Isla memperingatkan. Rhys mengangguk pelan. "Ngomong-ngomong apa kakimu, sudah tak apa?" tanya Isla seraya menatap salah satu kaki milik Rhys yang masih dibalut oleh perban. "Kurasa pergelangan kakinya terkilir," jawab Rhys. "Baiklah kalau begitu aku berangkat. Aku tidak tahu apa makananmu jadi aku hanya memberikan beberapa yang ada di rumahku. Jika kau memerlukan sesuatu atau merasa bosan, turun saja ke bawah dengan wujud anjingmu. Jangan takut, ibuku tidak akan menendangmu dari sini," ujar Isla dan gadis itu pergi dari kamarnya. Rhys berjalan menuju jendela dan dari sana ia melihat Isla yang berjalan melewati pagar rumahnya, bergerak menuju sebuah halte yang terletak tidak begitu jauh dari rumahnya. Kedua sudut bibir Rhys perlahan naik ke atas. Lelaki itu lalu berbalik, menatap piring yang berada di atas sofa. Ia lalu mengambil sosis dan memakannya. Ia ingat dengan betul, di mana saat ia pertama kali bertemu dengan Isla di Trollehallar saat kakinya juga sedang terluka. Gadis itu mengobatinya dan juga memberikan sisa makan siangnya. Lalu di pertemuan selanjutnya Isla memberinya sosis dan siapa sangka kalau Rhys menyukainya. Namun ia tak pernah menyangka kalau Isla akan begitu peduli padanya, meskipun dengan wujud seekor anak anjing biasa. Gadis itu tulus menolongnya, itu yang Rhys lihat. Isla adalah manusia pertama yang ia temui di Bumi, sekaligus menjadi sosok penolongnya dalam waktu yang tidak hanya sekali. Dan setelah semua yang Isla lakukan padanya, Rhys merasa kalau ia berhutang budi ada gadis itu. Rhys menatap ke sekelilingnya dan melihat beberapa bingkai foto yang terpajang di dinding. Terdapat foto keluarga Isla, di mana gadis itu tengah bersama dengan ibu dan ayahnya. Kening Rhys mengerut, ke mana ayah gadis itu? Kenapa ia sama sekali tidak terlihat? Rhys lalu menemukan foto lain, di mana Isla tengah berfoto berdua dengan sahabatnya yang bernama Teresa. Keduanya terlihat tersenyum lebar. Tanpa sadar, Rhys ikut tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD