44. Wilayah Kekuasaan

3256 Words
Gerbang segera ditutup oleh penjaga tidak lama setelah Isla berlari melewatinya. Gadis itu segera berlari memasuki lobi sekolahnya namun tepat sebelum ia benar-benar masuk, entah kenapa tiba-tiba kedua kaki milik gadis itu tiba-tiba saja berhenti dengan sendirinya bahkan tanpa ia perintah. "Kenapa perasaanku tiba-tiba tak enak?" gumam Isla. Kedua kakinya perlahan bergerak mundur, namun suara penjaga sekolah yang berada tidak jauh di belakangnya itu membuatnya terkesiap pelan. "Apa yang kau lakukan di situ? Kenapa diam saja? Bel jam pertama sudah mau berbunyi jadi cepatlah masuk!" ujar sang penjaga sekolah. Hal itu membuat Isla segera memasuki lobi sekolahnya. Namun di sepanjang koridor perasaannya mendadak begitu tak tenang entah kenapa, padahal tadi ia masih merasa baik-baik saja saat sampai di sana. Kedua kakinya berlari melewati koridor dan menaiki satu per satu anak tangga menuju kelasnya hingga gadis itu benar-benar sampai di sana. Teresa yang sudah berada di sana sedari tadi itu pun terkejut saat melihat Isla yang baru saja sampai. "Kau kesiangan, ya? Kau pasti berlari dari bawah begitu kau sampai," ujarnya. "Tapi, Isla, kurasa pagi ini kau terlihat agak pucat dari biasanya. Apa kau baik-baik saja?" Ia bertanya dengan nada khawatir saat menyadari kalau wajah Isla lebih pucat dari pada biasanya. "Pu-pucat? Benarkah?" ujar Isla memastikan. Teresa mengangguk. Gadis itu mengambil beberapa lembar tisu yang dibawanya dan ia mengelap dahi Isla yang basah karena keringat. "Kau sakit, ya? Apa kepalamu sakit? Ataukah perutmu yang sakit?" ujar Teresa. Isla menggelangkan kepalanya. "Ti-tidak, Teresa. Kurasa aku baik-baik saja, sungguh. Saat masih di rumah aku tak merasakan apa-apa, semuanya seperti biasanya dan baik-baik saja, tak ada yang aneh sama sekali. Kurasa aku hanya merasa kelelahan karena berlarian, hehe." Isla tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. "Kau yakin soal itu?" tanya Teresa memastikan. Isla dengan segera menganggukkan kepalanya agar Teresa tak terus-terusan merasa khawatir padanya. "Iya Teresa, aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan. Nanti aku akan merasa baikan," ujar Isla. Ia meminta selembar tisu pada Teresa dan kembali mengusap dahinya yang terasa lembap lagi. Isla lalu menatap ke luar jendela dan langit perlahan terlihat mendung, kemungkinan akan turun hujan sebentar lagi. "Isla, kau tak apa? Kurasa kau semakin pucat." Teresa yang ternyata diam-diam masih memperhatikan Isla itu pun terlihat kembali khawatir. "Ah, haha, ya begitulah. Keringatku keluar agak banyak dari pada yang tadi." Isla terkikih pelan. "Kurasa kau bisa minta izin agar masuk ke ruang kesehatan, Isla. Mungkin kau memang perlu istirahat. Aku akan mengatakannya saat ada guru yang masuk ke kelas nanti. Ujian semester hampir dilakukan dan kau pasti belajar selama semalaman setiap hari dan kau tahu apa artinya? Itu artinya kau ini memang kelelahan, Isla. Jadi aku sarankan sebaiknya kau berdiam diri saja dan istirahat di ruang kesehatan selama jam pertama berlangsung nanti. Ayo, aku akan mengantarmu ke ruang kesehatan." Teresa beranjak dari tempatnya dan gadis itu pun segera mengantar Isla pergi ke ruang kesehatan. Di tengah perjalanan, mereka membicarakan beberapa hal dan sesekali tertawa dengan wajah Isla yang masih terlihat pucat dan juga dahi gadis itu yang kembali lembap. Namun tiba-tiba Isla justru menghentikan kedua langkah kakinya hingga ia dan juga Teresa berhenti di koridor yang memang sudah sepi karena bel jam pertama yang sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. "Ada apa, Isla? Apa kau merasakan sakit di bagian tubuhmu?" tanya Teresa. Isla menolehkan kepalanya ke belakang dan mengedarkan pandangannya ke setiap sisi koridor begitu merasakan ada yang mengikutinya dan juga Teresa secara diam-diam di belakang sana. "Isla? Ada apa?" Teresa menyentuh bahu Isla hingga sahabatnya itu terkesiap dan kembali menatap ke arahnya. "A-ah tidak ada apa-apa," jawab Isla seraya tersenyum tipis. "Baiklah." Teresa kembali melanjutkan langkahnya seraya menarik pelan salah satu lengan milik Isla namun sahabatnya itu kembali berhenti di langkahnya yang baru menginjak langkah ke dua. "Ada apa lagi, Isla? Kau memerlukan sesuatu?" tanya Teresa. "A-ah, tidak juga. Kurasa sebaiknya kau kembali ke kelas, Teresa. Aku bisa pergi ke ruang kesehatan sendirian," ujar Isla. Kedua alis milik Teresa saling bertaut dan dahi gadis itu pun perlahan mengerut. "Kenapa kau berkata seperti itu? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu sebelum kau benar-benar sampai di ruangan kesehatan? Aku khawatir kau tiba-tiba merasa pusing dan terjadi sesuatu yang buruk padamu di sini. Koridor saat ini sedang sepi karena semua orang berada di dalam kelas dan mengikuti materi jam pertama," ujar gadis itu. "Iya, tak apa, Teresa. Aku akan baik-baik saja. Kurasa guru akan sebentar lagi akan segera masuk ke dalam kelas kita dan materi pun sebentar lagi akan dimulai. Kau bisa kembali sekarang, sungguh. Aku bisa ke ruang kesehatan sendirian. Aku tidak mau membuatmu tertinggal materi, jadi sana kembalilah ke kelas, Teresa. Ingat, ujian semester sudah akan dimulai dalam waktu beberapa hari lagi. Jadi kau harus ikut kelas hari ini," ujar Isla berusaha meyakinkan Teresa. Pada akhirnya, Teresa pun memilih menurut saja karena gadis itu pun memang agak khawatir soal nilainya setiap kali ujian semester akan dilangsungkan. "Kau yakin?" tanya Teresa. Isla segera menganggukkan kepalanya. "Hm. Sudah, sana cepat kembali ke kelas," titahnya. Kemudian Teresa pun segera berjalan kembali ke kelasnya. Isla menatap tubuh Teresa yang semakin menjauh, dan ketika tubuh milik sahabatnya itu sudah menghilang dari pandangannya, Isla masih belum beranjak dan kembali melangkahkan kaki dari sana. Gadis itu menatap setiap sisi koridor yang sepi itu selama beberapa saat sebelum akhirnya kedua kakinya perlahan bergerak dan ia berjalan pergi dari sana. "Aneh, kurasa tadi aku merasa kalau ada yang mengikutiku dan juga Teresa dari belakang," batin Isla. Samar-samar, indra pendengarannya mengangkap suara derap langkah kaki yang terdengar menggema di koridor sepi itu. Isla mendengar suara derap langkah kaki itu namun gadis itu tak berniat menghentikan kedua kakinya sama sekali dan tetap berjalan. Derap langkah kaki itu masih terdengar mengikutinya dari belakang. Apa itu? Siapa itu? Apakah yang mengikutinya adalah hantu? Atau apa? Atau manusia juga? Isla mengepalkan kedua tangannya dan ia pun mempercepat langkahnya. Namun sama halnya seperti kemarin, lagi-lagi dia bergerak ke arah koridor yang lain. Bukannya pergi ke ruang kesehatan, kedua kaki milik Isla justru malah bergerak menaiki sebuah tangga lain yang mengarah ke atap. Tapi tunggu! "Pintunya—" kedua mata Isla membulat saat melihat keadaan pintu itu. Seseorang terlihat sudah menerobos masuk dan bahkan sampai menghancurkan pintunya. "Seseorang pasti sengaja menerobos masuk," batin Isla. Serpihan pintu yang berbahan besi itu pun seolah dengan mudah dihancurkan yang entah menggunakan benda apa hingga berubah menjadi terbelah beberapa bagian, dan bagian yang hancur itu tampak berserakan di bagian dalam, yang artinya orang itu memang berasal dari luar dan menerobos masuk ke dalam gedung sekolahnya. Karena jika ke arah luar, maka serpihan yang berserakan jumlahnya akan lebih banyak di bagian luar. Di saat itulah Isla menyadari kalau suara derap langkah yang tadi didengarnya itu sudah tidak ada lagi. Kemungkinan dirinya memang sedang tak diikuti oleh siapa pun dan mungkin saja yang tadi itu adalah murid dari kelas lain. Perlahan Isla melangkahkan kakinya melewati pintu yang sudah rusak itu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, dan tak menemukan adanya keanehan di sana. "Eh? Tunggu, rasanya badanku jadi terasa lebih baik dari sebelumnya." Isla menatap kedua tangannya dan juga ia memegang permukaan wajahnya, memastikan apakah ia masih tampak pucat atau sudah kembali seperti semula. "Itu artinya penghalang yang ada di dalam tubuhmu itu merespon penghalang yang sudah kubuat." Seseorang tiba-tiba berujar. Isla dengan segera memutar badannya ke belakang dan ia melihat Kai yang sudah ada di sana. "K-Kai!" Salah satu sudut bibir milik Kai naik. "Sudah hapal namaku, ya," ujarnya. Ia lalu melirik ke belakangnya dan seseorang muncul setelahnya. "Tolong jaga pintunya, ya," ujar Kai. Kedua kakinya perlahan bergerak mendekati Isla, hingga gadis itu pun perlahan memundurkan tubuhnya ke belakang secara refleks. Isla menatap Herc yang berada di belakang Kai. Sekarang ia tahu apa alasan dari pintu besi itu bisa dirusak dengan begitu mudah. Ternyata yang melakukan hal itu adalah Herc, dan Isla sudah bisa memastikannya. Pria itu adalah pria yang sama yang muncul di rumahnya dan membelah permukaan tanah yang ada di halamannya. Artinya kali ini, Isla tak boleh gegabah. Jika sampai ia bertindak gegabah, maka bisa-bisa gedung sekolahnya dihancurkan dengan begitu mudah dalam waktu yang bahkan sangat singkat. Isla menelan ludahnya. Harusnya ia tak pergi dari kelas dan tetap berada di sana untuk mengikuti materi jam pertama bersama dengan teman-temannya yang lain. Dan harusnya ia tak keluar ke rooftop. "Oke, sekarang mari kita mulai dengan pertanyaan yang secara baik-baik," ujar Kai. "Dari mana kau mendapatkan penghalang itu dan siapa yang memasangkannya padamu? Dan apa yang dia simpan ke dalam dirimu?" ujar Kai. Kedua alis milik Isla saling bertaut mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Kai. "A-apa maksudmu? Penghalang?" tanya Isla. "Kau memiliki sebuah penghalang yang hanya bisa dipasang oleh seseorang dengan tingkatan tinggi. Dan penghalangmu itu bereaksi terhadap penghalang yang sudah kubuat dan kupasang di sekitar sini," ujar Kai. Isla mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Kai. Dan pada akhirnya kini gadis itu sudah paham, kenapa tadi perasaannya mendadak tak enak begitu hendak memasuki sekolah, terutama bagian lobi. Kemungkinan besar penghalang yang Kai katakan itu dipasang dari mulai lobi sekolahnya, sampai dengan pintu atap yang memang sengaja dia rusak. Tidak. Kai memang sengaja melakukan itu untuk memancing Isla keluar dan memastikan dugaannya kalau Isla memang memiliki sebuah penghalang tingkat tinggi yang ada di dalam tubuhnya. "Biar aku ulang lagi pertanyaanku, Nona Isla. Siapa yang sudah memasang penghalang itu padamu?" ulang Kai. Punggung Isla sudah membentur pelan pagar pembatas atap dan gadis itu semakin tersudut di sana. Ia tak mungkin menerobos Kai dan juga ia akan mengalami kesulitan menghadapi Herc karena bagaimana pun, Herc adalah lawan yang cukup tangguh karena kekuatannya yang bisa menghancurkan apa saja dengan begitu mudah dan juga dalam waktu yang begitu singkat, membuat Isla benar-benar harus waspada jija pria bernama Herc itu secara tiba-tiba menyerangnya entah dari arah mana pun itu karena Isla memang tak tahu sepenuhnya seperti apa rencana yang sudah dimiliki oleh Kai dan juga Herc terhadapnya. "Aku benar-benar tidak mengerti ucapanmu dan aku tidak tahu penghalang apa yang sedang kau bicarakan!" ujar Isla. "Apa itu Rhys? Apa dia yang memasang penghalang itu padamu?" Kai kembali bertanya. "Rhys, kau bilang?" Isla membeo. "Bukan dia yang melakukannya dan lagi pula dia tak pernah sekali pun mengatakan hal-hal yang berhubungan tentang penghalang dan juga benda yang kau katakan itu. Dia tak mengatakan kalau di dalam tubuhku terdapat sesuatu seperti itu! Kau pasti sedang berusaha membohongiku!" tukas Isla. Namun reaksi Kai justru di luar dugaannya karena Kai justru tertawa. "Apa katamu? Maksudmu aku sedang berusaha menipumu begitu?" Kai tersenyum miring. "Kau benar-benar berpikir terlalu jauh. Aku ke sini karena memang untuk mencarimu dan aku saat ini sudah mengatakan yang sebenarnya. Ah, mendengar ucapanmu barusan sepertinya benar, kalau bukan Rhys yang melakukan itu padamu. Tapi aku benar-benar tak berpikir kalau dia sampai tak memberitahumu," ujar Kai. "Kenapa Rhys tak pernah mengatakan tentang penghalang itu padaku? Dan siapa yang melakukan ini? Siapa yang sudah memasang penghalang itu di dalam tubuhku dan apa yang dia simpan di dalamnya?" batin Isla. Kai tersenyum miring, pria itu kemudian membatin, "dan aku yakin kalau Rhys juga tak mengatakan apa-apa soal ritual persembahan. Tapi baguslah. Kurasa akan jadi merepotkan kalau gadis ini sampai tahu tentang itu." Isla sudah bersiap di posisinya. Ia pun sekarang tahu, alasan Kai yang tak pernah muncul di hadapannya kemungkinan besar karena pengaruh dari penghalang yang ada di dalam tubuhnya itu. Namun mengapa itu sama sekali tak bereaksi pada Rhys? Rhys setiap waktu berada di dekatnya namun pria itu juga setiap waktu terlihat baik-baik saja dan tak terpengaruh sedikit pun. Tapi Rhys juga tak mengatakan apa-apa. Apakah dia yang memasangnya? Tapi jika itu memang Rhys, kurasa Kai akan dengan mudah menghancurkannya karena beberapa waktu lalu mereka sempat kembali terlibat pertarungan walaupun Rhys kembali dengan luka goresan kecil di beberapa lengannya. Dan Isla kini berpikir, kalau Kai menyerang Rhys untuk memastikan penghalangnya. Tapi karena penghalang itu masih terasa utuh bahkan ketika dirinya menyerang Rhys, kemungkinan besar memang bukan Rhys yang memasang penghalang itu. Jadi sekarang Kai mengincar Isla, sengaja agar gadis itu membuka mulut dan mengatakan tentang sosok yang sudah memasang penghalang dan menyimpan sesuatu yang seperti begitu berharga di dalam tubuh gadis itu. "Aku sendiri bahkan tak tahu siapa yang memasang penghalang ini dan aku juga tak tahu kapan dia melakukannya padaku," batin Isla. Tapi, tunggu! Selain Rhys, bukankah masih ada satu orang yang bisa berteleportasi pada Isla? Kedua pupil mata milik Isla seketika melebar. Tao! Mungkinkah pria itu yang sudah ... memasang penghalang itu padanya? Tao beberapa kali datang menemuinya bahkan pria itu tampak tak terpengaruh juga dengan penghalang yang ada di dalam diri Isla. "Rhys tak akan bisa masuk ke sini dan dia tak akan bisa melewati penghalang milikku. Jadi kau sudah tak memiliki pilihan lain lagi. Maka dari itu ikutlah denganku. Aku bisa saja menghancurkan penghalang itu dan membebaskanmu hingga kau kembali ke dalam rumahmu dengan kondisi masih selamat," ujar Kai. Isla menggelengkan kepalanya dengan segera. "Kau pikir aku akan percaya ucapanmu begitu saja? Tentu saja tidak, Kai. Aku tidaklah bodoh. Entah itu aku yang menyerahkan diriku atau kau yang membawaku secara paksa, aku akan berakhir dengan hal yang sama. Aku tahu itu." Isla menatap Kai dan Herc secara bergantian. Ia mencoba menemukan celah namun ia tak bisa menemukannya. Jika dia terus-menerus berlama-lama berada di sana, maka ia akan mati cepat atau lambat di tangan Kai dan juga Herc. "Gadis pintar." Kai menyeringai tipis. Di saat yang bersamaan, ia merasakan ada sesuatu yang mendekat ke sana. "Kau juga merasakannya, Herc?" Kai melirik Herc masih berada di belakangnya. "Hm. Biar aku yang urus itu." Herc segera pergi dan dengan mudahnya ia melompati gedung sekolah itu tanpa adanya keraguan sama sekali. Entah siapa yang dimaksud oleh Kai dan Herc, namun kini Isla menemukan adanya celah di sana. Pintu yang ada di belakang itu sudah ada lagi yang menjaganya dan itu artinya kesempatan itu bisa dimanfaatkan oleh Isla untuk melarikan diri dari sana. Isla sudah bisa melihat adanya pergerakan kecil di kaki milik Kai dan gadis itu dengan cepat segera bertindak lebih dulu. Ia dengan cepat memutuskan sebuah gelang yang terbuat dari manik-masik yang terpasang di salah satu pergelangan tangannya dan ia sengaja melemparkan manik-manik itu tepat ke wajah Kai dan berniat untuk menghalangi pandangan lelaki itu. Dan ketika rencananya itu benar-benar berhasil, kesempatan itu segera digunakan Isla untuk melarikan diri dari sana. Ia melompati pintu yang rusak itu dan dengan tergesa menuruni satu per satu anak tangga dan berusaha membuat jarak dengan Kai. Ia harus meminta bantuan pada orang-orang. Tubuh Isla tersentak saat ia mendengar bunyi keras dari arah pintu. Gadis itu menduga kalau Kai benar-benar sudah menghancurkan pintu itu. Isla segera mempercepat laju kakinya dan ia harus cepat-cepat meminta bantuan namun hal aneh pun terjadi, karena gadis itu sama sekali tak menemukan adanya satu orang pun yang ada di sana. "Kau tidak bisa lari, Isla. Saat ini tempat ini menjadi wilayah kekuasaanku dan tak ada satu pun yang diperbolehkan masuk tanpa seizinku, tanpa terkecuali. Termasuk juga Rhys," ujar Kai. Ia dengan segera berteleportasi ke hadapan Isla dengan jarak beberapa meter. Isla yang masuk kembali ke dalam gedung itu pun secara tak langsung membiarkan penghalang yang ada pada dirinya juga ikut bereaksi, membuat tubuh gadis itu mau tidak mau harus menyesuaikan diri hingga tubuhnya terasa lebih cepat melemah. Kedua kaki Isla dengan sigap berhenti dan gadis itu kembali berlari ke belakang, mencoba mencari tempat yang aman untuk dirinya bersembunyi. Jika yang sedang Herc hadapi itu benar-benar Rhys, maka kini Isla sedang dalam masalah. Sebuah tali yang menyerupai akar tanaman itu keluar dari balik lengan baju Kai dan ia berhasil menjerat salah satu kaki milik Isla hingga tubuh gadis itu terjatuh dan menghantam permukaan lantai koridor dengan kasar. "Sial!" Isla menatap kakinya yang berhasil terlilit oleh tali itu. Tubuhnya perlahan ditarik ke arah Kai. Isla menatap ke setiap sudut koridor dan ia benar-benar tak menemukan satu orang pun di sana. Lantas ke mana perginya semua orang? Kai bersamanya sedari tadi dan hal itu tidak berarti kalau Kai melakukan sesuatu yang buruk pada semua orang yang ada di sekolah. "Kau tidak bisa diajak bicara secara baik-baik, jadi jangan salahkan aku jika aku memakai kekerasan untuk membawamu secara paksa," tegas Kai. Ia semakin menarik tubuh Isla mendekat ke arahnya. Isla menjerit saat kakinya terasa begitu perih seolah tali yang melilit salah satu kakinya itu memang saat ini tengah melukai permukaan kulitnya. Sret! Tib-tiba tali itu terputus. Isla tak ingin membuang waktunya untuk memikirkan siapa yang telah menolongnya dengan memutuskan tali itu. Kesempatan itu segera digunakan oleh Isla untuk kembali melarikan diri, walaupun dengan kondisi salah satu kakinya yang terluka dan membuat langkahnya menjadi agak terhambat karena gadis itu harus menahan sakitnya agar bisa berlari sejauh mungkin menghindari Kai. "Aku tak mungkin kembali lagi ke rooftoop," ujar Isla. Pada akhirnya gadis itu berbelok ke koridor yang lain dan memasuki perpustakaan. Kunci yang menggantung di pintu itu kemudian ia manfaatkan dan segera menguncinya dari dalam dan Isla dengan cepat bersembunyi di balik salah satu rak buku yang letaknya cukup jauh dari pintu. Suasana di sana yang begitu hening membuatnya bisa mendengar suara napasnya sendiri. Kai kemudian berhenti di depan pintu perpustakaan itu dan dengan satu tendangan dari salah satu kakinya, pintu perpustakaan itu hancur hingga menimbulkan suara yang keras yang cukup menyakiti indra pendengarannya. Isla dengan sekuat tenaga menahan diri agar tak berteriak karena ketakutan. Dahinya sudah terasa begitu lembap dan wajahnya semakin terlihat begitu pucat. Tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dari belakang, membuat tubuh Isla terkesiap. Ia hampir berontak namun orang itu memberikan isyarat agar ia tak membuat keributan di sana atau Kai akan menemukan keberadaan mereka. Walau Isla tak bisa melihat sosok di belakangnya, namun gadis itu memilih menurut. Kai mulai mengacak-acak lemari buku itu satu per satu hingga semuanya berubah menjadi berantakan. "Sialan, kau, Isla!!" Kai semakin geram dan tali-tali yang menyerupai akar itu pun kembali keluar dari kedua lengan bajunya dan tali-tali itu dengan cepat menghancurkan rak-rak besar yang ada di sana hingga terbelah menjadi beberapa bagian. Lalu di saat yang bersamaan, Isla memejamkan kedua matanya rapat saat rak buku yang berukuran besar di hadapannya itu ikut rubuh. Sementara di luar, Rhys yang merasa penghalang milik Kai sudah menghilang pun segera berlari ke dalam gedung sekolah milik Isla, meninggalkan Herc yang tergeletak di atas permukaan rumput dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. "Kau terlambat, Rhys," Herc tersenyum miring menatap Rhys yang sudah berlari ke dalam gedung itu. "Isla!" Rhys berlari mencari keberadaan Isla dan ia mencoba mengikuti bau gadis itu yang entah kenapa menjadi semakin samar dan hampir tak terendus sama sekali oleh indra penciumannya. Rhys berlari menuju atap dan ia melihat pintu atap yang sudah benar-benar hancur. Rhys segera mengecek keluar dan ia tak sengaja menemukan beberapa butir manik-manik yang ia tahu dengan betul siapa dari pemilik manik-manik bekas gelang itu. "Isla tadi di sini," ujar Rhys. Pria itu kemudian kembali ke dalam dan mencari Isla lewat bau yang masih bisa ia rasakan. Bau gadis itu menyebar ke beberapa tempat yang ada di sana, yang artinya Isla kemungkinan besar dikejar oleh seseorang dan hal itu sudah bisa dipastikan kalau sosok yang mengejarnya adalah Kai. Kini Rhys hanya bisa berharap kalau Isla masih dalam keadaan baik-baik saja. Tidak lama kemudian Rhys menemukan sebuah ruangan dengan kondisi pintu yang juga rusak parah. Pria itu pun segera masuk untuk melihat keadaan di dalam dan semuanya benar-benar kacau. Seseorang yang masih berada di dalam sana pun berbalik hingga tubuhnya dan Rhys saling berhadapan. "Kai!" Rhys mengepalkan kedua tangannya kuat. Ia menatap ke setiap sudut ruangan itu dan tak menemukan adanya Isla di sana. Yang artinya Kai tak berhasil menangkap gadis itu. "Gadis itu sudah pergi melarikan diri," ujar Kai. "Dengan bantuan seseorang." Kening Rhys pun mengerut. "Dia dibantu oleh seseorang?" —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD