43. Ritual Persembahan (2)

3089 Words
Waktu sudah berlalu hingga lima tahun tak terasa, namun sesekali Isla masih merasa sedih setiap kali mengingat salah satu momen paling menyedihkan yang pernah ia alami selama hidupnya. Gadis itu menatap sebuah foto yang terpajang di atas meja belajarnya. Foto sebuah keluarga kecil yang tampak begitu bahagia dengan masing-masing yang menyunggingkan seulas senyuman lebar hingga deretan gigi mereka terlihat. Salah satu tangan Isla lalu mengusap permukaan foto itu dengan lembut. Gadis itu menatap foto itu dalam, hingga masing-masing dari matanya mulai terasa lembap dan pandangannya semakin buram. Ia menatap sesosok pria yang berada di dalam foto itu. Pria itu berdiri di sebelah seorang wanita yang menggendong seorang bayi dan mereka berdua tampak begitu bahagia. Tiba-tiba suara ketukan pintu menyadarkan Isla dan gadis itu dengan segera mengusap kedua pipinya yang basah dengan menggunakan punggung tangan. Isla segera beranjak dari posisinya dan gadis itu berjalan menuju pintu kamarnya untuk mengecek siapa yang ada di sana. "Rhys?" Kedua alis Isla bertaut melihat pria itu. Pasalnya Rhys tak ada di rumah saat Isla pulang sekolah tadi. "Kau habis menangis, ya?" tanya Rhys Kedua mata milik Isla berkedip dua kali lalu gadis itu segera membuang pandangannya ke arah lain, "Ti-tidak, kok. Oh, iya. Ada apa? Kupikir kau sedang pergi," ujarnya. "Aku membawa ini!" Tiba-tiba Rhys mengangkat sebuah kantung plastik berukuran sedang tepat ke hadapan wajah Isla hingga gadis itu terkejut. "Apa itu?" tanya gadis itu. "Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibumu dan dia membelikan aku ini. Ayo makan bersama!" Rhys terlihat begitu antusias dan pria itu pun segera menarik tangan Isla dan membawa gadis itu masuk kembali ke dalam kamar. Rhys mendudukkan Isla di atas karpet dan ia ikut duduk di sana. Lalu perlahan membuka kantung kresek berisi sejumlah ayam goreng di dalamnya. "Ini ... hanya ayam, kan?" Isla berkedip dua kali, berbanding terbalik dengan Rhys yang terlihat begitu bersemangat dengan kedua mata yang berbinar-binar menatap setiap potong ayam goreng itu. "Ini baunya enak sekali. Aku sudah mencobanya tadi dan ini sangat enak!!" ujar Rhys bersemangat. Melihat itu, Isla justru malah dibuat tertawa karena Rhys terlihat seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali dibelikan ayam goreng atau mungkin lebih tepatnya, pria itu terlihat seperti anak kecil yang baru pertama kali memakan ayam goreng. Tanpa pikir panjang lagi Rhys mengambil salah satu potong ayam dan ia menggigitnya, hingga benar-benar memakannya dengan lahap. Isla hanya terkikih melihatnya dan gadis itu pun ikut mengambil salah satu potong ayam itu. Sejenak ia melupakan kesedihannya karena merindukan sang ayah. Rhys benar-benar bisa mengalihkan perasaan sedihnya untuk saat ini. "Coba kau tambahkan saus ke ayamnya, rasanya akan lebih enak." Isla meraih tangan Rhys yang memegang ayam dan ia mengajari pria itu bagaimana ayamnya dicelupkan pada saus yang sudah disediakan oleh sang penjual. "Cobalah, aku yakin kalau kau akan menyukainya," ujar Isla. Rhys menatap sejenak ayamnya yang sudah dilumuri saus dan ia mulai menggigitnya, lalu mengunyahnya secara perlahan dan kedua matanya pun membulat. Ia menatap Isla tak percaya, membuat gadis yang duduk di hadapannya itu tersenyum lebar, puas menatap ekspresi yang Rhys tunjukkan di wajahnya. "Bagaimana, rasanya lebih enak, kan?" ujar Isla seraya mengusap salah satu sudut bibir milik Rhys yang kotor karena noda saus. Kepala Rhys lalu mengangguk dengan cepat. Pria itu benar-benar terlihat begitu antusias dengan rasa ayam goreng yang baru pertama kali ia makan selama hidupnya. Makanan manusia benar-benar memiliki rasa yang begitu luar biasa, dan Rhys tak henti-hentinya berpikir seperti itu. Hal itu membuatnya semakin bersemangat mencoba makanan para manusia satu per satu. "Oh, iya. Bukankah tadi kau bilang kalau kau bertemu dengan ibuku? Lalu ke mana dia? Kenapa kau hanya pulang sendiri?" tanya Isla. Ia mengambil potongan ayam lainnya dan segera memakannya. Ayam goreng yang dibawa oleh Rhys berasal dari toko yang biasa menjadi langganan dirinya dan juga Maria. Namun melihat reaksi cara makan Rhys, Isla benar-benar dibuat tertawa. "Ibumu tadi pergi. Dia bilang kalau dia mau pergi menemui temannya dulu. Entahlah, kurasa mereka memiliki sebuah janji dan sepakat bertemu di suatu tempat." Rhys berujar tanpa menghentikan kegiatan makannya sedikit pun, pria itu benar-benar terlihat seperti orang kelaparan yang sudah tak makan sekitar satu minggu. Isla pun hanya mengangguk saja, karena ia tahu betul bagaimana ibunya. Wanita itu sesekali pergi menemui teman-temannya di luar sana namun Isla sama sekali tak pernah mempermasalahkan hal itu karena selama itu tak mengganggu kehidupan ibunya, maka semuanya pun tak masalah dan Isla juga tak pernah melarang-larang ibunya untuk pergi ke mana pun. Bahkan untuk menikah lagi pun, Isla memberikan izin dan setuju jika ibunya berniat memiliki teman hidup yang baru, karena Isla mengerti, seiring berjalannya waktu maka Isla akan semakin dewasa dan hal itu berarti Isla juga kemungkinan tak bisa selalu menemani ibunya apalagi ketika dirinya sudah memiliki keluarha kecilnya sendiri. Maka dari itu, Maria berhak menemukan pendamping hidupnya yang baru karena bagaimana pun Isla tak ingin ibunya itu merasa kesepian dan bahkan ia masih yakin sekali kalau Maria masih merasakan rindu terhadap mendiang suaminya terdahulu. "Kenapa kau malah melamun? Kau tidak lapar?" tanya Rhys hingga membuat lamunan isla seketika menjadi buyar. Gadis itu mengerjap beberapa kali kemudian tersenyum tipis. "A-ah, aku tidak terlalu lapar kok. Kau bisa menghabiskannya jika kau mau," ujar Isla. Gadis itu pun kemudian beranjak dari tempatnya, "kalau begitu aku akan mengambilkan minum." Ia kembali berujar hingga kemudian berjalan keluar dari kamarnya. Diam-diam di belakang, Rhys memperhatikan tubuh Isla yang berjalan menjauh sebelum akhirnya tubuh gadis itu menghilang di balik pintu kamar dan juga pandangannya. Gerakan rahang milik Rhys seketika memelan, sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Tangannya yang semula memegang sepotong ayam goreng itu pun kembali diturunkan, kemudian pria itu membuang napasnya pelan. "Dia terlihat berbeda," gumam Rhys. "Mungkin mulutnya memang berkata kalau ia tak apa-apa, tapi matanya tak pernah bisa berbohong dan aku, bahkan bisa membaca isi kepalanya dengan mudah. Isla terlihat merindukan seseorang. Aku tak pernah tahu kalau gadis yang kupikir hidupnya selalu menyenangkan itu ternyata selama ini menyimpan kesedihan yang begitu dalam semenjak ditinggalkan oleh mendiang ayahnya." Rhys kemudian menolehkan kepalanya ke arah meja belajar Isla, tepatnya ke arah sebuah foto yang terpajang di atas sana. Itu adalah foto Isla, Maria, dan juga seorang pria yang tak lain adalah suami dari Maria, sekaligus ayah kandung dari Isla. "Dan jika sampai Isla berhasil tertangkap oleh Kai dan gadis itu benar-benar dijadikan sebagai orang yang akan dikorbankan di ritual persembahan nanti, maka ibunya akan hidup sendirian dan itu akan terasa semakin menyakitkan secara berkali-kali lipat," batin Rhys. "Aku tak bisa membiarkan itu terjadi begitu saja. Selama ini Isla dan ibunya selalu memperlakukanku dengan begitu baik dan aku benar-benar sudah berhutang budi kepada mereka berdua." Bersamaan dengan itu, pintu kamar kembali dibuka dan Isla pun kembali dengan kedua tangan yang membawa dua gelas jus. Sebenarnya ia ingin minum minuman soda tapi ia merasa kalau itu sedikit tak cocok untuk Rhys, jadi pada akhirnya gadis itu pun memilih minuman yang lebih sehat. *** "Betelgeuse tak akan hancur begitu saja selama adanya energi di dalamnya. Kita sudah melakukan cukup banyak hal, di antaranya ialah mengirimkan helium dan hidrogen ke sana walaupun hal itu sangat menguras energi kita semua karena kandungan helium dan hidrogen yang ada di bumi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang lain." Denzel menjatuhkan tubuhnya ke atas permukaan rumput dan pria itu menatap langit yang tampak berwarna begitu biru dan juga cerah. Dahinya berkeringat dan ia mencoba mengatur napasnya yang terputus-putus. Si sebelahnya, Aric yang semula berdiri itu kini ikut menjatuhkan tubuhnya ke atas permukaan rumput yang berwarna hijau itu. Namun bedanya ia hanya duduk bersila di sana, tidak sampai membaringkan tubuhnya persis seperti apa yang Denzel lakukan. "Aku mulai lelah melakukan ini semua, Denzel. Aku benar-benar ingin kegilaan sialan ini segera berakhir secepat mungkin dan kita semua bisa kembali ke Betelgeuse," ujar Aric seraya menatap kedua telapak tangannya yang memerah dan juga mengeluarkan asap tipis. Denzel melirik kedua telapak tangan milik Aric dan pria itu cukup terkejut, "Kau pasti benar-benar menggunakan tenagamu kali ini. Aku sampai takjub kalau tanganmu akan sampai seperti itu. Bagaimana rasanya? Apakah itu terasa dingin?" ujarnya tanpa melepaskan tatapannya dari tangan milik Aric. Dengan sebal Aric menatap sinis Denzel, kemudian pria itu pun berkata, "rasanya seperti kau menggenggam es kering, Denzel sialan. Ini terasa begitu menyakitkan sampai rasanya tanganku hampir mati rasa. Aku bisa saja berteriak sepanjang hari di sebelah telingamu hingga kedua gendang telingamu itu pecah berserakan!" ujarnya kemudian mendengkus sebal. Denzel hanya tertawa menanggapi reaksi Aric. Ia sama sekali tak merasa takut sedikit pun atau bahkan kesal, karena ia sendiri tahu dengan betul bagaimana sifat yang dimiliki oleh pria pengguna es itu. "Aku harap raja tiba-tiba memerintahkan kita untuk segera kembali ke sana. Aku benar-benar tak akan merasa keberatan sama sekali jika hal itu terjadi nanti." Aric akhirnya menyerah dan ia pun menjatuhkan punggungnya ke permukaan rumput hingga kedua matanya bisa ikut melihat warna langit yang biru bersih, kemudian dihiasi oleh awan-awan yang bergerak karena sapuan angin di atas sana. "Kau pasti bermimpi. Raja tak akan melakukan itu karena dia memang mengutus kita untuk mencari sesuatu untuk memulihkan kondisi Betelgeuse sebelum semuanya semakin gawat" ujar Denzel. "Yang aku khawatirkan adalah, jika sampai Raja tahu kita berencana menghancurkan sebuah peradaban di sebuah planet lain, dia pasti akan sangat marah," lanjutnya. "Kai benar-benar sudah tak bisa dihentikan." Aric berujar seraya memejamkan kedua matanya rapat, menikmati hembusan angin yang bergerak melewati dirinya dan juga Denzel. Mereka berdua saat ini seolah tengah menikmati sebuah kebebasan. Angin yang berembus terasa begitu segar hingga ke dalam kepala, membuat pikiran mereka terasa lebih tenang dan masing-masing energi milik mereka perlahan seolah dipulihkan kembali. *** "Dia ... bersekolah di sini, kan?" Kai mengedarkan pandangannya ke bawah, tak ada satu pun orang-orang yang ada di sana karena jam sekolah memang sudah selesai beberapa jam yang lalu. "Aku masih mencium baunya di sekitar sini kurasa dia memang di sini beberapa waktu lalu," sahut Herc yang berada di sebelahnya. Salah satu sudut bibir milik Kai perlahan naik. Ia yang merupakan seorang paling ahli dalam hal teleportasi itu pun untuk pertama kali dalam hidupnya kini dibuat kewalahan karena harus mencari keberadaan seseorang. Seseorang seolah telah membelokkan ruang di sekitar gadis bernama Isla itu dan sebuah penghalang yang ada pada diri Isla itu pun seolah menolah siapa pun yang berani mendekat ke sana, terutama bagi mereka yang memang benar-benar memiliki niat yang jahat, tak peduli sekecil apapun niat itu. Selama itu jahat, tetaplah masuk ke dalam kategori jahat dan si penghalang pun akan tetap menolak keberadaannya. "Kita masih belum menemukan siapa yang memasang penghalang itu, Kai. Jika seandainya kita berhasil menemukan orang itu, kita bisa langsung menyerangnya dan penghalang itu akan bisa dengan mudah dihancurkan," Herc ikut menatap pemandangan di bawah sana dengan salah satu tangan yang menggenggam pagar pembatas atap. "Dia pintar menyembunyikan identitasnya." Kai menarik napas dalam, kemudian kedua sudut bibirnya membuat sebuah lengkungan dan benar-benar membentuk seulas seringaian tipis di sana. "Tunggu, kurasa aku juga mencium bau Rhys di sini." Herc kembali berujar. Pria itu memutar tubuhnya hingga punggungnya bersandar di pagar pembatas dan menatap pintu rooftop yang menutup. "Apa mungkin dia ke sini?" ujarnya lagi seraya mengalihkan kedua matanya ke arah Kai. Kai berdecak pelan tanpa menghilangkan seringaian miliknya. "Aku juga menyadarinya saat kita sampai di sini tadi. Menurutmu apa? Dia sudah begitu dekat dengan manusia, dan sudah pasti Rhys akan selalu berusaha menemani gadis bersama Isla itu. Dia pasti sekarang sadar kalau kita berdua mengincar gadis itu mati-matian," ujarnya. "Tapi awalnya aku benar-benar mengira kalau yang memasang penghalang itu adalah Rhys, tapi ternyata bukan. Dia bahkan tidak tahu sama sekali siapa yang memasang penghalang itu pada Isla dan dia juga kemarin mencarimu, kan? Itu artinya orang yang memasang penghalang itu memang bukan dia." Kedua kaki milik Herc bergerak mendekati pintu rooftop yang memang sengaja dikunci dari dalam. "Saat kita menemukan gadis itu dan berhasil membawanya, kita akan memaksanya agar membuka mulut, mengenai sosok yang sudah memasang sebuah penghalang padanya dan menyembunyikan sesuatu yang sepertinya sangat berharga itu pada dirinya." "Tapi bagaimana jika ternyata gadis itu bahkan tak menyadarinya sama sekali?" Herc kembali berujar. Kai tertawa pelan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Tentu saja, Herc. Manusia lemah sepertinya tak akan bisa menyadari hal itu. Tapi meskipun begitu, aku yakin kalau dia sempat bertemu dengan seseorang tanpa sepengetahuan kita," ujarnya. "Tunggu, maksudmu— orang yang memasang penghalang pada Isla itu ... salah satu di antara kita semua?" Herc seketika memutar kembali badannya hingga menghadap kembali ke arah Kai dan ia menatap pria itu dengan kedua alis yang saling bertaut, mencoba mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Kai. Salah satu sudut bibir Kai perlahan kembali naik, "Entahlah, mungkin seperti itu. Dan aku benar-benar takjub karena siapa pun orang itu, dia pasti orang yang benar-benar hebat karena dia pintar sekali menyembunyikan diri, bahkan tak ada satu pun dari kita yang bisa menemukannya," Kai memutar tubuhnya hingga ia dan Herc benar-benar saling berhadapan dalam jarak yang cukup renggang. "Dasar perusak," cibir Kai saat ia melihat tangan Herc yang sudah berhasil menembus pintu besi di depan sana. Herc hanya menunjukkan cengiran tak berdosanya. "Aku kelepasan," ujarnya dengan begitu enteng seolah tak melakukan kesalahan apa-apa. *** Suasana di rumah milik Isla tak begitu sepi dengan tawa Rhys yang memenuhi setiap sudut rumah. Pria itu menonton sebuah acara di televisi, sementara Isla masih berada di dapur dan membantu Maria membereskan peralatan makan usai mereka selesai makan malam. Awalnya Rhys berniat membantu kedua wanita itu juga, tapi mereka berdua melarangnya dan malah menyuruh pria itu untuk duduk saja di depan televisi dan menonton film. Namun tak disangka, kalau Rhys juga akan ikut tertawa saat melihat acara-acara televisi yang cukup lucu dan membuat tawanya bisa lepas pada akhirnya. Isla dan Maria yang sempat terkejut itu pun seketika mendadak diam seraya menatap satu sama lain, hingga akhirnya keduanya tertawa pelan. Jarang sekali mereka berdua mendengar Rhys tertawa lepas seperti barusan itu. Namun baik Maria maupun Isla, kedua wanita itu tak merasa keberatan sama sekali bahkan saat Rhys masih saja tertawa setelahnya. Baik Isla maupun Maria, keduanya malah senang karena rumah mereka perlahan terasa semakin hangat. "Rasanya jarang sekali aku mendengar Rhys tertawa lepas seperti barusan itu," ujar Maria seraya terkikih pelan. Wanita itu meletakkan sepasang sarung tangan usai selesai mencuci piring. Kedua sudut bibir Isla membentuk sebuah lengkungan dan gadis itu pun tersenyum tipis. "Aku juga jarang mendengarnya sesenang itu." Ia terkikih pelan. "Tapi biarkan saja dia, Bu, jarang sekali dia terlihat senang seperti itu. Sekarang dia sedang memiliki waktu luang untuk menikmati hari-harinya selama berada di Bumi. Selama Kai dan juga yang lainnya belum terlihat adanya tanda-tanda kedatangan mereka, aku selalu menganggap kalau di saat-saat yang tenang seperti ini adalah waktu istirahat yang cukup pas bagi Rhys, terutama untuk memulihkan tenaganya. Fisiknya juga baru saja pulih beberapa waktu yang lalu. Maria tersenyum tipis. Selama ini jarang sekali ia mendengar putri semata wayangnya itu menaruh perhatian yang cukup besar untuk orang lain yang belum begitu dikenalnya, terutama perhatiannya pada lawan jenis. Bahkan Alex yang sudah cukup mengenal Isla itu pun hampir saja tak pernah menerima perhatian balik dari gadis itu. Terkadang kisah cinta anak muda memang agak membingungkan. "Oh, iya, ngomong-ngomong tadi siang aku membelikannya ayam goreng di tempat kita biasa beli. Apa Rhys menyukainya?" tanya Maria seraya mengupas salah satu apel yang ada di atas meja. Mendengar ucapan ibunya, Isla kembali tertawa pelan karena mengingat kejadian yang tadi siang. "Hm. Rhys benar-benar menyukai ayam goreng itu. Dan ibu tau apa? Dia sendirilah yang menghabiskan ayam itu, semuanya. Aku bahkan hanya makan dua potong." Gadis itu terkikih seraya berjalan mendekati wastafel dan mencuci tangannya di sana. "Benarkah? Ya ampun, pasti dia terlihat lucu sekali. Aku jadi penasaran." Maria ikut tertawa. Ia memasukkan sepotong apel yang sudah dikupas itu ke dalam mulutnya. "Kurasa di tempat asalnya itu tak ada makanan semacam ayam goreng. Dan dia benar-benar terkejut saat menemukan banyak makanan manusia yang ternyata cocok dengan lidahnya." Isla mengelap tangannya dengan lap kering. Ia lalu berjalan keluar dari dapur dan pergi menghampiri Rhys yang terlihat masih berada di atas karpet bulu dengan kedua mata yang fokus ke arah layar televisi yang ada di depan sana. "Kau benar-benar terlihat begitu santai sekarang, ya, Rhys. Tapi aku senang karena setidaknya kau bisa menikmati waktu istirahatmu," ujar Isla seraya ikut mendudukkan tubuhnya tepat di sebelah Rhys dan ia pun duduk bersila di sana. "Entahlah, tapi meskipun begitu dan aku memang terlihat santai pun kurasa hal ini tak akan berlangsung lama karena firasatku mengatakan kalau Kai sudah semakin dekat ke sini, jadi bukan hanya aku yang harus berhati-hati pada kehadirannya tapi kau juga, Isla. Karena bagaimana pun kini tujuan Kai dan juga yang lainnya bukan lagi aku, tapi kau," ujar Rhys. "Dan maaf juga karena aku belum bisa memberitahumu soal penghalang dan sesuatu yang disembunyikan di dalam dirimu itu, Isla. Aku benar-benar minta maaf karena aku masih belum siap untuk mengatakannya," batin Rhys. *** Keesokan harinya, pagi-pagi seusai sarapan, Isla sempat membantu Maria membereskan peralatan makan. Dan setelah selesai, ia segera memakai tas miliknya dan berpamitan pada sang ibu. Begitu sampai di ruang tengah rumahnya, ia tak menemukan keberadaan Rhys di sana. "Ibu, apa Rhys pergi?" tanya Isla seraya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut yang ada di rumahnya. "Entahlah, Ibu tak memperhatikannya. Kau sendiri tahu kan, kalau Ibu sedari tadi berada di dapur bahkan ketika sarapan selesai pun ibu belum keluar dari sini," ujar Maria setengah berteriak. Ia menyabuni satu per satu alat makan yang kotor dengan sabun. Salah satu alis milik Isla pun naik, dengan kedua mata yang masih menelusuri setiap sudut rumahnya. Usai sarapan tadi, Rhys langsung pergi dari meja makan. Awalnya Isla menyangka kalau pria itu akan kembali ke sofa dan melanjutkan kegiatannya menonton acara-acara yang ada di televisi namun ternyata pria itu memang tak ada di sana. Akhirnya Isla pun memutuskan langsung berangkat ke sekolah karena ia tak ingin masuk kesiangan karena mencari keberadaan Rhys yang entah di mana. "Ibu, aku berangkat!" pamit Isla dengan setengah berteriak. Gadis itu bergegas berangkat ke sekolah dengan setengah berlari menuju ke sebuah halte yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Ia takut ketinggalan bus menuju ke sekolahnya, karena jika sampai ia terlambat, maka mau tidak mau ia harus menunggu bus yang berikutnya dan Isla tak mau itu terjadi karena ia harus bertahan di halte selama kurang lebih lima belas bahkan sampai tiga puluh menit. Jika hal itu benar-benar sampai terjadi maka habislah dia karena ia sudah jelas akan datang terlambat ke sekolah dan gerbang sekolahnya pun justru sudah ditutup sempurna dan rapat oleh penjaga sekolahnya. Dan beruntung, karena begitu Isla sampai di halte, sebuah bus datang dan Isla pun akhirnya bisa langsung naik ke dalam bus bersama dengan beberapa orang lain yang juga berada di sana. —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD