36. Ke Mana Isla?

1045 Words
Bel pintu dibunyikan selama beberapa kali, berharap si pemilik rumah akan merespon dan keluar. Namun hingga beberapa menit setelahnya, pintu itu tak menunjukkan adanya pergerakan sama sekali dan dari dalam tak terdengar suara langkah kaki mendekat menuju pintu. Teresa membuang napasnya pelan lalu menatap Alex yang berada di sebelahnya, "Kurasa tak ada orang di sini," ujarnya. "Apa mungkin Isla dan ibunya mendadak ada keperluan? Tapi Isla bisa saja menghubungimu, kan. Ini semakin aneh," ujar Alex. "Isla selalu menghubungiku jika ada sesuatu dan dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jadi aku merasa kalau ada yang tidak beres di sini." Teresa menatap pintu di depannya. Kemudian gadis itu tak sengaja melihat sebuah retakan di permukaan tanah yang terletak tidak jauh dari posisinya dan Alex. "Ada apa?" Alex segera berjalan mengikuti langkah Teresa saat gadis itu berjalan ke suatu tempat. "Lihatlah, tanah ini terbelah seperti sehabis dilanda gempa bumi. Tapi kemarin itu tak ada sesuatu yang terjadi, kan?" Teresa menyentuh permukaan tanah itu. "Mungkin itu sudah ada di sana sejak lama." Alex berujar. Teresa menggelengkan kepalanya pelan. "Kurasa tidak, Alex. Aku beberapa kali ke rumah Isla dan ini terlihat agak aneh. Jika karena kering, itu tak mungkin karena belum lama ini hujan turun dan hal itu tak mungkin membuat permukaan tanah menjadi kering dan bahkan retak secara tiba-tiba," ujarnya seraya menatap permukaan tanah itu dengan saksama. "Ini benar-benar aneh." "Lalu menurutmu apa yang sebenarnya terjadi di sini? Isla juga sulit dihubungi dan di rumahnya tak ada siapapun. Ibunya juga sepertinya tak ada di rumah." Alex menatap ke sekitar. Teresa kembali mengeluarkan ponselnya dan ia mencoba menghubungi Isla namun tak ada satu pun respon dari sahabatnya itu. "Kurasa Isla dan ibunya benar-benar sedang pergi," ujarnya. "Jadi? Apa kita sebaiknya kembali lagi besok?" tanya Alex. Teresa menatap ke sekitarnya selama beberapa saat. "Hm, kurasa. Tak ada pilihan lain lagi. Mungkin Isla dan Tante Maria memang sedang pergi ke luar karena ada kepentingan. Semoga saja." Ia membuang napasnya pelan. "Kalau begitu ayo pulang, semoga saja besok Isla bisa masuk ke sekolah seperti biasa. Aku tidak suka mengkhawatirkan dia karena itu benar-benar membuatku tak tenang." Akhirnya Teresa dan Alex memutuskan pergi dan mereka pulang ke rumah masing-masing tanpa hasil sedikit pun. Rumah Isla terlihat begitu sepi, padahal biasanya Maria selalu ada di rumah saat sore hari. *** "Satu, dua, tiga, empat- ah, ada berapa wilayah lagi yang harus aku bekukan?" Aric memainkan jemari-jemari tangannya hingga berbunyi. Pria itu terlihat tengah duduk di atas pohon seraya menatap ke sekitarnya yang benar-benar telah diselimuti oleh salju-salju berwarna putih miliknya. "Kau tidak lelah? Kau sudah terlalu banyak menggunakan tenagamu hari ini, jadi aku sarankan sebaiknya kau istirahat dulu," ujar Denzel yang ada di bawah. "Dan kuharap kau segera menghentikan ini semua karena aku benar-benar benci suhu dingin begini." Ia mulai mengeluh. Aric menatap pria di bawahnya dan pria itu menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Lucu sekali. Padahal kekuatanmu itu adalah air. Bukankah air juga dingin?" ujarnya. "Tapi ini terlalu dingin!" protes Denzel kemudian. Kedua bahu Aric hanya diangkat, pria itu bertingkah seolah-olah yang ia lakukan semua ini adalah tidak apa-apanya dan bahkan masih kurang. Kedua matanya lalu menyipit saat melihat sesuatu yang berjalan menghampiri mereka dari kejauhan. "Bukankah itu Tao?" ujar Aric. "Hm? Benarkah?" Denzel mengikuti arah pandang Aric dan ia melihat Tao yang berjalan mendekati mereka berdua. "Dari mana saja kau? Apa kau disuruh Kai melakukan tugas lain?" tanya Aric tanpa mengubah posisinya, pria itu masih betah bertengger di atas pohon. "Tidak juga," balas Tao singkat. Ia kemudian ikut mendudukkan tubuhnya di sebelah Denzel. "Ah, iya. Lalu bagaimana dengan gadis itu? Apa kau berhasil menemukannya?" Kini giliran Denzel yang bertanya. "Tidak." "Ah, sial. Gadis itu benar-benar merepotkan. Apa dia punya banyak cadangan nyawa? Atau diam-diam dia itu punya kekuatan bisa menghilang?" Aric berujar. "Apa kau bisa diam? Kau kan mengirim lagi anak-anak badai es milikmu untuk mencari gadis itu." "Seseorang membelokkannya," ujar Aric seraya menatap kedua telapak tangannya. "Dia pasti berniat melindungi gadis itu lagi." "Membelokkannya?" Kedua alis milik Denzel saling bertaut. Aric mengangguk. "Hm. Dia sengaja membelokkan seranganku hingga tidak mengenai tubuh gadis itu." "Siapa orang itu? Apa dia Rhys?" tanya Denzel. "Entahlah, aku juga tak begitu yakin. Tapi karena aku terlalu menggunakan kekuatanku hari ini tubuhku jadi terasa agak lelah. Kurasa kau benar, Denzel." Aric mengusap salah satu sudut bibirnya yang terdapat sebuah luka kecil yang sudah mulai mengering. "Sialan kau, Rhys. Awas saja, aku pasti akan menghajarmu lebih nanti." "Apa yang sedang Kai lakukan saat ini?" tanya Tao. "Kurasa dia pergi bersama dengan Herc dan Hugo ke bagian utara. Kurasa Kai itu memang agak tidak waras karena dia benar-benar berniat bermain-main dengan planet yang satu ini. Jika sampai raja benar-benar tahu apa yang dilakukan olehnya, dia pasti akan habis," ujar Aric. "Memangnya kau pikir kau tidak terlibat? Kita semua terlibat dalam hal ini. Jadi jangan sampai raja tahu soal ini atau kita yang akan hancur sebelum Bumi yang dihancurkan." Denzel lalu berdiri dari posisinya. "Aku akan pergi mengecek di sekitar sini," ujarnya sebelum akhirnya pria itu pergi dari sana. Kini tinggal Aric dan juga Tao yang ada di sana. Aric beberapa kali melirik Tao yang ada di bawah. Pria itu memang tidak begitu banyak bicara seperti biasanya, dan sifatnya yang bertolak belakang dengannya itu terasa cukup mengganggu karena Aric sendiri memang tipe yang banyak bicara alias cerewet. "Aku mendengar kabar kalau manusia di Bumi serang melakukan sebuah penelitian terhadap Betelgeuse. Apa menurutmu mereka semua sedang merencanakan sesuatu? Apa mereka sedang berencana melakukan p*********n?" tanya Aric. "Mereka hanya melakukan pengamatan, tidak lebih. Dan tak ada sedikit pun rencana jahat yang mereka miliki. Toh jika mereka menghancurkan Betelgeuse yang bahkan ukurannya jauh lebih besar daripada matahari, itu artinya mereka hanya ingin menggali kuburannya sendiri. Tak ada untungnya untuk Bumi jika manusia berencana menghancurkan Betelgeuse, apalagi dengan jarak yang begitu jauh. Bumi hanya akaj menjadi makanan bagi Betelgeuse," jelas Tao. "Tapi aku tidak habis pikir kalau peradaban di Bumi ternyata jauh lebih berkembang dari dugaanku. Mereka bahkan mengirimkan sesuatu ke luar angkasa yang entah untuk apa. Mungkin untuk komunikasi di sini." Aric membuang napasnya pelan. Pria itu lalu kembali menatap ke bawahnya dan terkejut saat menyadari kalau Tao sudah tak ada di sana. Ia bertanya-tanya ke mana Tao pergi, sebelum akhirnya ia mendengkus. "Dia bahkan lebih menyebalkan dari Kai," ujar Aric. -TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD