Isla berjalan menyusuri rak-rak besar dan mengambil beberapa buku paket yang dia perlukan. Gadis itu kembali ke meja tempatnya dan Teresa saat sudah menemukan buku yang ia cari.
"Teresa?" panggil Isla pelan. Gadis itu sedikit menoleh ke penjaga perpustakaan, takut-takut wanita tua berkacamata itu akan menegurnya secara tiba-tiba karena mendengar suaranya.
"Kenapa?" Teresa yang tengah menulis itu berujar tanpa menghentikan aktivitas menulisnya.
"Apa kau pernah melihat murid sekolah kita yang berambut marun?" tanya Isla.
Kening Teresa seketika mengerut, lalu gadis itu tampak menghentikan pergerakan tangannya dan beralih menatap Isla. "Apa maksudmu?" ujarnya.
"Ya, begitu. Murid yang rambutnya dicat berwarna marun. Apa kau pernah melihatnya?"
"Pasti murid itu sudah gila karena melakukan hal bodoh di sekolah kita. Isla, sudah kukatakan kalau di sekolah kita tidak ada murid seperti itu. Kurasa sebelumnya kau pernah menanyakan itu padaku."
Kedua mata Isla berkedip dua kali begitu mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Teresa. Benar juga, dirinya pernah menanyakan hal yang sama, kan?
"Ah, maafkan aku. Aku hanya ingin memastikan." Isla menggaruk lehernya yang tak gatal sama sekali. "Lalu apa kau tahu soal buku tua yang pernah aku ceritakan padamu?"
"Buku tua?" Teresa membeo.
"Hm. Buku yang berisi tentang si bintang sekarat Betelgeuse itu. Kemarilah, akan aku tunjukkan." Isla menarik tangan Teresa dan membawa gadis itu ke salah satu rak, tepatnya di tempat ia menemukan buku tua yang dikatakannya tadi.
"Kau yakin buku itu dari perpustakan kita?" Teresa menatap Isla yang kini tengah bersusah payah mencari keberadaan buku itu.
"Aku serius, Teresa. Buku aneh itu ada di sini."
"Isla, kurasa kau terlalu sering menonton film fantasi akhir-akhir ini," ujar Teresa.
"Teresa, aku bersungguh-sungguh. Waktu itu aku menemukan buku aneh itu di—"
"Astaga, hentikan itu, Isla. Kupikir kau akhir-akhir ini agak kacau. Apa karena terlalu sering pergi ke tempat bernama Trollehallar itu? Aku sudah sering berkata padamu agar tidak terlalu sering datang ke sana. Di sana itu aneh dan orang-orang yang ada di sana bahkan kini menghindari tempat itu."
"Tapi—"
"Sudah, ya. Aku ke kelas duluan. Bel sebentar lagi berbunyi. Kabari aku jika kau sudah menemukan buku itu." Teresa lalu melangkahkan kakinya dan pergi terlebih dahulu dari sana.
"Astaga, kurasa Teresa benar-benar menganggapku gila sekarang." Isla membuang napas pelan. Tepat ketika ia hendak melangkah, sesuatu terdengar di belakangnya. Gadis itu secara refleks berbalik dan memeriksanya namun ia tak melihat apa-apa. Dan saat gadis itu memutuskan untuk kembali, ia melihat seseorang di sana.
"Akhirnya kita bertemu." Seseorang berujar dengan salah satu sudut bibir yang naik ke atas.
Kedua mata Isla menyipit, berusaha mengenali sosok di depan sana. "Kau ... siapa?" ujarnya. Kedua kakinya perlahan bergerak mundur saat pemuda yang ada di depannya bergerak mendekat ke arahnya.
Karena perasaannya yang sudah tak nyaman, Isla segera berbalik dan memutuskan untuk segera pergi dari sana namun ia terkejut bukan main saat si pemuda itu sudah berada di sisi lain. Ia seperti berpindah tempat hanya dalam waktu singkat, hanya dalam satu kedipan mata. Isla menoleh ke belakang dan memeriksa tempat tadi dan pemuda itu memang tak ada di sana.
Lelaki itu menatap Isla dengan kedua mata tajamnya. Isla hampir saja berteriak saat lelaki itu kembali bergerak ke arahnya.
"Kau manusia yang benar-benar merepotkan. Sekarang katakan padaku di mana Rhys?!"
Kedua alis milik Isla saling bertaut. "Rhys? Si-siapa itu Rhys?"
Di detik berikutnya tubuh Isla ambruk ke atas lantai saat merasakan sakit yang begitu hebat di d**a sebelah kirinya. Bagian tubuhnya terasa panas seolah terbakar dan detak jantungnya berpacu lebih hebat.
Lelaki tadi berjalan mendekat dan langsung menarik kerah baju milik Isla hingga tubuh gadis itu terangkat. Isla yang mulai kehabisan napas pun merasa kedua kakinya sudah benar-benar tak menyentuh permukaan lantai. Gadis itu mencengkeram pergelangan tangan lelaki itu yang masih bertahan mencekiknya kuat. Bahkan kini cengkeramannya terasa semakin kuat.
"Sekarang katakan padaku di mana Rhys!!" Lelaki itu berujar dengan kedua bola mata yang berubah menjadi merah menyala, membuat Isla kian ketakutan. Ia berharap dirinya dapat pertolongan namun penjaga perpustakaan tak juga muncul.
"A-aku tidak mengerti apa maksudmu. Aku ti-tidak tahu siapa itu Rhys!" Kedua mata Isla kian berembun. Kepalanya sudah mulai pening karena pasokan oksigen di dalam tubuhnya kian menipis.
"Kau berbohong! Aku yakin Rhys juga menyembunyikan benda itu padamu!"
Isla menggelengkan kepala saat cengkeraman itu terasa semakin kuat.
"A-aku benar-benar tidak tahu siapa yang kau maksud itu! Aku tidak mengerti sama sekali!" Isla berujar dengan susah payah.
Lelaki itu tampak semakin murka mendengar jawaban Isla.
"Hentikan, Kai!" Seseorang berujar.
Siapapun yang berada di belakangnya, Isla berharap kalau dirinya ditolong sebelum benar-benar mati kehabisan napas di sana.
"Dia tak tahu apa-apa." Orang itu kembali berujar.
Lelaki yang bernama Kai itu menatap tajam. "Kenapa kau memberikannya pada manusia lemah seperti ini?!"
"Karena aku tidak akan pernah membiarkanmu melakukan hal jahat di sini! Ingat dengan tujuan awal kita! Kau terlalu serakah, Kai!"
Kai menggeram pelan, lalu ia dengan kuat melempar tubuh Isla ke udara. Kedua mata Isla membulat dan ia sudah pasrah jika tubuhnya menghantam lantai yang keras atau bahkan rak buku yang besar namun seseorang berhasil menangkap tubuhnya.
Dengan kesadaran yang menipis, lelaki yang bernama Kai itu sudah menghilang dari sana. Napas Isla tersengal dan pandangannya semakin buram dengan kepala yang terasa berdenyut.
"Kau baik-baik saja?" Seorang lelaki lain berujar padanya. Isla tak bisa menjawab dan memfokuskan dirinya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Kedua mata Isla menyipit mencoba menajamkan penglihatannya namun gadis itu tak berhasil karena yang terjadi justru sebaliknya.
Lelaki yang menolongnya itu samar-samar tampak cemas. Napas Isla perlahan berubah teratur namun denyutan di d**a sebelah kirinya terasa masih intens.
Salah satu tangan Isla perlahan terangkat dan mencoba menyentuh wajah milik lelaki itu, namun tak sempat karena gadis itu sudah terlebih dahulu kehilangan kesadarannya sepenuhnya. Semuanya berubah menjadi gelap.
"Apa Kai melakukan sesuatu padanya?" Seseorang muncul.
"Dia datang kemari dan menanyakan keberadaan benda itu pada gadis ini."
"Keterlaluan. Kurasa Kai benar-benar keterlaluan kali ini. Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Orang itu kembali berujar.
"Aku tidak akan membiarkan Kai mendekati gadis ini. Dia tidak akan bisa melukainya lagi."
Kedua mata orang itu berkedip dua kali dengan kening yang mengerut. "Rhys, tapi—"
"Aku tahu. Tapi aku beberapa kali berhutang budi pada gadis ini. Dia beberapa kali menyelamatkanku." Rhys menatap Isla yang sudah tak sadarkan diri.