17. Peninggalan Leluhur

1038 Words
Sebelum bel pertama berbunyi, dengan diam-diam Isla menyelinap masuk ke dalam perpustakaan yang sepi. Begitu sampai di sekolah, ia berusaha mati-matian agar tak berpapasan dengan Teresa. Karena jika sampai sahabatnya itu tahu, semuanya pasti akan menjadi lebih rumit dari rencananya. Tujuan Isla ke perpustakan hanyalah satu, yakni memastikan buku yang pernah ia temukan benar-benar ada di sana, walaupun agak aneh karena buku itu memang lebih cocok ada di tempat arkeolog atau sebuah museum. "Apa seseorang sudah meminjamnya, ya?" Isla mencari buku itu ke setiap rak yang dilewatinya, berharap ia akan segera menemukan buku itu namun rupanya hasilnya nihil. Dan anehnya lagi, kenapa bisa terdapat pria dengan rambut yang sengaja dicat warna merah? Salah satu aturan di sekolahnya menyebutkan kalau di sana dilarang mengecat rambut. Dan mustahil juga kalau pria itu adalah salah satu guru di sekolahnya. "Buku itu tidak ada di sini, padahal aku yakin kalau sebelumnya buku itu benar-benar ada di rak yang ini," gumam Isla. Gadis itu menatap ke setiap penjuru perpustakaan. Tak ada yang aneh di sana, semuanya terlihat normal. Perpustakaan sekolahnya juga tidak dikenal angker, jadi di sana memang tak pernah ada kejadian-kejadian yang aneh seperti yang Isla alami sebelumnya. Tapi kenapa harus buku itu? Dan kenapa harus dirinya? Dan yang paling penting, kenapa semuanya terjadi secara bersamaan dengan apa yang sedang terjadi di Betelgeuse? "Tidak mungkin hanya sekadar kebetulan, kan. Aku rasa pria yang kemarin ada di sini itu adalah salah satu penghuni Betelgeuse, atau lebih tepatnya dia itu berada satu tim dengan Kai." Isla membuang napasnya kasar. "Ah, sial. Padahal mereka semua tampan tapi jahat. Ini benar-benar seperti di film-film laga. Astaga, kepalaku jadi sakit." Isla mengacak rambutnya. Ia pun menyerah dan akhirnya memutuskan untuk ke kelas karena bel jam pertama yang sudah berbunyi. Namun tepat ketika dirinya hampir mencapai pintu, pintu perpustakaan itu mendadak menutup secara tiba-tiba. Tubuh Isla terkesiap dan gadis itu refleks berbalik namun ia tak menemukan siapapun di belakangnya. Karena tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan, akhirnya gadis itu memilih untuk mencoba keluar namun pintu sama sekali tak bisa bergerak. "Sial! Kenapa pintunya malah menutup sendiri!" gadis itu sesekali menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki mendekat yang menggema ke seluruh sudut ruangan yang sepi. Hanya ada dirinya di dalam sana, dan itu menambah adrenalinnya. Kemudian suara langkah kaki itu berhenti tepat di belakangnya, membuat Isla menelan ludahnya dengan susah payah dan mengeratkan pegangan tangannya di pegangan pintu. Gadis itu juga sudah bersiap dengan memasang kuda-kuda, berjaga-jaga jika sosok di belakangnya melakukan serangan secara mendadak. Satu ... Dua ... Tiga ... Hening. Kedua mata Isla berkedip dua kali. Ia masih enggan menoleh ke belakang, takut-takut jika yang ia lihat adalah monster super menyeramkan yang persis seperti yang ada di televisi. Sampai akhirnya Isla menyadari kalau pintu itu perlahan bisa dibuka, dan tanpa babibu, gadis itu langsung membuka lebar pintu yang ada di depannya dan berlari sekuat yang ia bisa. Begitu hendak menuruni tangga, Isla sempat menoleh dan menatap kembali ke perpustakaan. Samar-samar ia melihat seorang pria berdiri di balik pintu kaca itu seraya menatap ke arahnya. Ah, pria itu! Pria berambut merah yang beberapa hari lalu ia temui di sana. Namun Isla tak memiliki waktu lagi, yang akhirnya gadis itu tetap memilih berlari ke kelasnya sebelum gurunya benar-benar sampai terlebih dulu di kelas. Dan ia sedang beruntung pagi ini, karena gurunya belum sampai di sana. Teresa yang sudah lebih dulu berada di kelas pun terkejut melihat Isla yang masuk dengan terburu-buru hingga napasnya terputus-putus. "Hei, kau tak apa? Kenapa kau berlari seperti itu?" tanya Teresa. Dengan mencoba mengatur napasnya yang terengah, perlahan Isla menjawab, "ti-tidak ada, aku hanya sedikit terlambat barusan, hehe," ujarnya dengan cengiran khasnya. "Kau yakin? Kurasa tadi aku melihatmu." Kedua mata Isla seketika melebar. Habislah dia. "Hah? Benarkah? Haha, itu tidak mungkin, Teresa. Kurasa kau sudah salah orang. Mungkin saja itu orang lain, karena pagi ini aku benar-benar agak telat." "Ah, begitu, ya. Baiklah." Usai Teresa mengatakan itu, seorang guru berjalan memasuki kelas. Seketika Isla menghela napasnya lega, karena pagi ini ia tak harus menjalani hukuman yang melelahkan. Cukup dengan berlari dari perpustakaan menuju kelasnya, itu sudah seperti sebuah hukuman baginya. *** Isla tengah melihat-lihat semua hasil jepretannya selama di Trollehallar dan gadis itu benar-benar dibuat takjub dengan pemandangan di sana yang benar-benar indah. "Aku tahu kalau akhir-akhir ini terjadi sesuatu yang aneh di Trollehallar tapi kuakui kalau pemandangan di sana memang sangat luar biasa," gumam gadis itu. "Jika aku tak bisa mengambil buku itu, aku harus mengambil gambarnya dan menunjukkannya pada Rhys. Entah buku apa itu tapi kurasa benda itu sudah berumur ribuan tahun. Mungkin itu semacam peninggalan leluhur mereka, tapi anehnya kenapa ditunjukkan padaku? Jika pria waktu itu ada di pihak Kai, kenapa dia harus menunjukkan itu padaku? Aku bahkan sama sekali tak bisa membaca tulisannya." Isla membuang napasnya pelan. "Sedang apa kau?" Teresa tidak lama datang setelahnya dan melihat Isla yang duduk sendirian di taman belakang sekolahnya. "Ah, hanya melihat hasil fotoku beberapa waktu lalu." Isla tersenyum tipis seraya memberikan kameranya agar Teresa bisa ikut melihatnya. "Wah, ini keren. Apa ini semua di Trollehallar?" tanya Teresa tanpa mengalihkan pandangannya dari kamera milik Isla. "Hm. Keren, kan? Sudah kubilang kalau di sana itu pemandangannya sangat luar biasa. Aku yakin 100% kalau kau juga akan berpendapat sama denganku," ujar Isla. "Ya, jujur awalnya aku memang ingin ikut denganmu ke sana, tapi setelah melihat berita kalau ada kejadian aneh di sana terutama kebakaran minggu lalu, semua niatku langsung menghilang tanpa ada sisa sedikit pun. Aku takut jika terjadi sesuatu yang buruk saat kita berada di sana, makanya aku bersikeras melarangmu tapi kau masih saja keras kepala." Teresa memberikan kembali kamera milik Isla dan melipat kedua tangannya di depan d**a. "Lihat, kau juga sudah mendapat beberapa luka kan, selama pergi ke sana? Tapi kenapa kau tidak kapok-kapok juga? Kau mau menunggu sampai sekujur tubuhmu dihiasi luka, ya? Kalau aku jadi kau, aku pasti tak akan sudi menginjakkan kakiku di Trollehallar lagi, tak peduli jika aku akan dibayar jutaan dollar sekalipun aku tak akan mau." Mendengar penuturan Teresa, Isla seketika tertawa. Ia bisa saja melupakan semua tentang Trollehallar, namun karena ia sudah mengenal Rhys dan juga Kai, maka dirinya tak akan bisa dengan mudah mengabaikan tempat bernama Trollehallar itu, dan juga ... Betelgeuse. —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD