Sorenya ibu sudah siap dengan dandanannya untuk pergi ke rumah Mbah Anom. Sementara diriku mencoba mengulur ulur waktu dengan mandi berlama lama agar Ibu bisa membatalkan niatnya. Tapi namanya seorang Ibu yang begitu sangat menyayangi putrinya, pasti akan melakukan yang terbaik. Ibu tetap sabar menanti selesainya diriku, aku pun hanya bisa pasrah ketika semuanya selesai.
Sepanjang perjalanan menuju rumah dukun, hatiku terus merasa was was. Ini pengalaman pertama kaliku menghadapi dukun. Jika saja bukan karena keinginan seorang Ibu mungkin ini takkan terjadi. Ekspresi Ibu terlihat serius sedari rumah, malah ku pikir sejak siang tadi Ibu sudah tegang duluan. Mungkin ia merasa khawatir dengan keadaanku. Apalagi menurutnya ada gangguan mistis yang menyelimuti diriku.
Kurang lebih setengah jam dalam perjalanan kami baru tiba di rumah Mbah Anom. Rumahnya sederhana, tidak ada kesan seram sedikitpun seperti di film film yang selama ini ku tonton. Hampir sama di lingkungan sekitarnya tidak ada factor yang mendukung keseraman seorang dukun yang selama ini ada di mindset ku.
Kebetulan rumah beliau di tengah pemukiman yang padat penduduknya. Setibanya di lokasi tersebut kami di sambut oleh seorang wanita paruh baya yang kurang lebih usianya sama dengan ibuku. Di dalam rumah terlihat sudah ada beberapa tamu yang sedang mengobrol dengan seorang pria yang tampak lebih tua dari ibuku. Mungkin ini yang di kenal dengan Mbah Anom.
Kamipun di suruh menanti hingga tamu yang ada selesai. Beruntung buat kami karena tamu tersebut sudah sedari tadi konsultasi dengan bapak tua itu. Setelah tamu berpamitan, aku dan ibu langsung menemui bapak tua tadi. Ibu lalu memperkenalkan diriku dengan tuan rumah.
Si Mbah hanya tersenyum melihat diriku yang masih terlihat linglung. Reaksi di tubuhku mulai bergidik semuanya.
“Piye kabarmu nduk? Sudah sehat to? Atau masih ada gangguan?” logat jawanya si Mbah begitu kental. Aku hanya terdiam sejenak, tidak mengerti apa yang di maksud si Mbah. Ibu langsung merespon ketika melihat aku hanya terpaku dengan pertanyaan si Mbah. “Sudah saya jalankan Mbah yang di suruh kemarin.”
“Ngene nduk, Ibu mu kemarin kesini, ngadu soal kelakuanmu yang beda dari biasanya. Setelah Mbah cek memang ada gangguan dari sebelah.” Aku yang mendengar tetap hanya melongo.
Setelah panjang lebar si Mbah jelaskan mengenai gangguan non medis yang di maksud, aku pun coba di obati oleh si Mbah. Di dampingi Ibu aku mulai mendapatkan tindakan pengobatan oleh si Mbah. Mulut beliau komat kamit membaca sesuatu yang tak begitu jelas terdengar dan mantra itu juga sangat asing buatku. Dengan air di mangkuk yang telah di siapkan, ia terus membacakannya.
Perasaanku semakin tidak karuan rasanya. Ingin rasanya kabur saja saat itu, tapi badanku seperti terpaku di tempat itu. Tak banyak yang bisa ku lakukan selain pasrah dengan kemauan Ibu. Setelah membacakan mantra pada air tersebut, aku di minta untuk meminumnya. Sekali lagi terpaksa aku manut untuk melakukannya. Tidak semua ku minum, karena sisanya di suruh untuk di basuh ke wajahku.
Jijik dan bau tidak lagi ku hiraukan dari air itu. Aku hanya berharap bisa melalui ini semua secepat mungkin. Hawa dalam badanku mulai terasa panas. Dari dalam perut terasa seperti di aduk aduk dan membuat mual. Tenggorokanku terasa panas sekali.
Ibu terlihat begitu serius menyaksikan reaksi dari pengobatan itu. Sementara si Mbah Anom terus membaca mantra mantranya sambil focus melihatku. Badanku semua terasa lelah, kepala seperti di tusuk tusuk dengan jarum. Hingga akhirnya akupun muntah sesuatu yang tak ada bentuknya, seperti angina lalu. Terus aku muntah muntah seperti ada yang keluar dari mulutku.
Perlahan lahan di perut mulai berkurang rasa mual, lalu menjalar ke tenggorokan tidak sepanas waktu awal tadi. Kepalaku juga mulai berkurang rasa sakit karena tusukan tadi. Pandangan mataku lebih jernih di banding awal masuk rumah tadi.
Setelah hilang semua rasa itu, tanpa sebab tiba tiba aku menangis sesenggukan. Ibu lalu memberikan pelukan kasih sayang buatku. Mbah Anom terlihat bernafas lega seperti rasa syukur akan sesuatu usaha keras yang berhasil ia lakukan.
“Wes rapopo nduk, semua sudah berlalu.”
Aku tetap menangis di pelukan Ibu. Seperti ada sesuatu yang ku sesali karena meninggalkanku. Telinga ku tetap mendengar petuah bijak si Mbah. Ia terus menasehati diriku agar menunaikan perinta-Nya, jangan pernah di tinggalkan lagi. Ku akui selama ini memang jarang melakukan kewajiban ku sebagai umat Rasullullah SAW.
Masa remaja ku habiskan dengan senang senang tanpa mengingat waktu. Padahal Ibu dan Ayah selalu mengingatkanku untuk tak boleh lalai menjalankan kewajiban sebagai seorang muslimah. Aku merasa bersalah dengan kedua orang tuaku. Beruntung aku memiliki orang tua yang sabar dan mengerti situasi dan kondisi anaknya.
Setelah semuanya tenang, Mbah Anom memberikan pagar gaib di sekeliling tubuhku. Aku tak mengerti apa yang di lakukan si Mbah dan pagar yang di maksud juga tidak bisa ku lihat. Dari pengobatan itu kami mengobrol sebentar. Akupun sudah mau di ajak interaksi dengan Mbah Anom.
Banyak hal yang ku tanyakan dengan beliau. Salah satunya adalah mengenai mimpi yang selalu menghantuiku hingga ke sekolah. Sosok tampan yang ada dalam mimpi itu bukan wujud aslinya. “Jika ia menampakkan wajah aslinya sudah pasti koe mabur nduk.” Wah bener juga ya dalam batinku.
“Lalu kenapa sosok itu bisa hadir Mbah, salah saya apa to Mbah?”
“Sebelumnya kamu ada masalah ga, misal dengan teman sekolah, teman main di rumah? Atau dengan pacarnya nih” ledek si Mbah. Ah si Mbah belum tau ternyata, meski aku cantik tapi ga ada yang berani deketi, apalagi sampai pacaran. Ibu yang mendengar kata pacar langsung mempelototi aku. Mungkin di kira aku telah memiliki pacar.
“Riris ga punya pacar Mbah, kan ga di bolehin Ayah dan Ibu,” sambil ku lirik dan senyumi orang yang ku sayangi di sebelahku.
“Yakin nih ga ada masalah dengan teman atau siapapun?” kembali si Mbah dengan tanya yang dibalut dengan candanya.
“Hmmm … sebentar Mbah, rasa rasanya ada Mbah.” Aku coba mengulang memori beberapa minggu yang lalu. Ah iya bener kata si Mbah, aku baru mengingatnya. Si Ringgo, cowok tambun dan jelek yang ku tolak jadi pacarku.
“Bener Mbah, ada satu orang cowok yang telah ku permalukan minggu lalu. Habis Riris kesel sih di kejar kejar melulu Mbah.”
“Hmmm … bener kan tebakan Mbah. Ga boleh begitu nduk, meski kita ga seneng, tetep harus jaga lidah yo.”
Inilah awal mula dari semua kejadian aneh yang ku alami. Mulai dari mimpi hingga selalu terbayang baying sosok dalam mimpi tersebut. Beruntung Ibu bisa mengenal Mbah Anom dan segera menanyakan keadaan anaknya pada beliau. Jika dibiarkan sekian lama, bisa jadi sosok itu menyatu dengan darah Riris.
Kalau sudah menyatu akan sulit untuk di sembuhkan. Apalagi jika golongan jin menyukai manusia, prosesnya penyembuhannya juga akan rumit. Tapi itu semua hanya Allah SWT yang punya kuasa, jika memang berkehendak maka tak ada satupun yang mampu menghalanginya.
Haripun semakin sore, matahari sudah mulai berkurang cahayanya karena waktu terus bergulir. Tanpa terasa sudah sekian jam kami berada di rumah Mbah Anom. Sebelum matahari benar benar tenggelam, aku dan ibu segera pamit dengan Mbah Anom.
Tak lupa Ibu memberikan sebungkus amplop sebagai tali asih atas perantara beliau membantu mengobati. Beliau sempat menolak karena memang sudah kewajibannya menolong sesama. Namun ibu tetap memaksa agar mau menerimanya dan kami langsung berpamitan pulang pada beliau dan keluarga.
Dalam perjalanan pulang perasaanku mulai berubah, tidak seperti hari hari yang lalu. Semua tenang dan menyenangkan, tidak ada rasa sedih atau terbayang sosok itu lagi. Namun ketika berhenti di traffic light ada sesuatu yang membuat hatiku kembali berdegup kencang.
Tampak dari kejauhan seseorang yang rasanya tak asing di mataku. Ya sosok itu pernah hadir dalam keseharianku. Tidak salah lagi orang itu benar nyata, sementara sosok yang ku maksud itu adalah sosok tampan yang baru di usir si Mbah Anom. Cowok itu sempat melempar senyum dengan tatapan yang menawan. Lalu siapa cowok tampan yang nyata ku lihat ini?