Setelah lulus sekolah Aksa belum ada pilihan untuk meneruskan hidupnya, terutama soal pendidikan. Menyadari jika selama ini kehidupannya telah banyak di bantu pamannya. Ia pun enggan untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Aksa justru ingin bekerja meski ia tidak memiliki skill khusus.
Hampir tiap hari ia buat surat lamaran dan mengantarnya dari satu pintu kantor ke pintu kantor lainnya. Meski selalu ditolak karena minimnya pengalaman yang di miliki seorang Aksa yang memang belum pernah bekerja. Namun ia tak pernah putus asa untuk terus berusaha dalam menjalani kerasnya kehidupan saat itu.
Beruntung sang paman banyak memiliki hubungan dengan teman dari berbagai kalangan karena ia memiliki perkumpulan itu tadi. Karena jasa sang paman yang di anggap banyak membantu orang lain, maka otomatis para pasien dan relasi jadi berhutang budi pada paman. Padepokan yang di pimpinnya hampir tiap hari selalu penuh akan pengunjung. Baik yang ingin berobat, menuntut ilmu, menginginkan dukungan moril atau sekedar menjalin silaturahmi dengan paman.
Tanpa harus susah payah aku di tawari seseorang yang jadi murid paman. Sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan ternama yang sudah go public lagi membuka lowongan. Kebetulan murid paman ini adalah staf di sana, paling tidak ia bisa bantu rekomendasikan diriku untuk di terima. Sebenarnya rada pesimis juga melamar pekerjaan di perusahaan yang sudah mendunia. Apalagi modal pendidikanku yang hanya dari SMA. Meski sudah di yakinkan murid paman tadi jika yang di cari bukan lulusan kuliah tapi minimal SMA juga bisa.
Dengan penuh keyakinan aku coba mengikuti saran beliau. Tidak perlu waktu lama, setelah menjalani proses wawancara yang di lanjut dengan psiko test, aku bisa lolos semuanya. Tinggal mengikuti proses medical check up sebagai syarat terakhir untuk bisa bergabung pada perusahaan finance tersebut. Setelah itu aku di panggil salah satu staf untuk lakukan wawancara terakhir dari semua tes yang sudah aku ikuti.
Dengan perasaan tak menentu aku coba ikhtiar dan doa, mengharap hasil yang terbaik dari serangkaian tes di perusahaan yang telah aku jalani. Tanpa ku duga hasil dari semuanya aku di nyatakan di terima bekerja pada perusahaan tersebut. Padahal hasil psycho nya tidaklah bagus bagus amat, paling tidak bisa berada di zona aman untuk soal kejiwaan.
Posisi yang ku isi saat itu adalah sebagai tenaga penagih kredit konsumen yang sudah menggunakan kredit dari perusahaan. Atau bahasa lainnya adalah kolektor, pengumpul dana angsuran dari konsumen atau bisa juga disebut pengolah account receivable yang bermasalah. Untuk wilayah kerja sementara aku di tempatkan di luar kota saat ini, yaitu Tarakan, Kalimantan Utara. Rasa bahagiaku bertambah lagi karena tau kota yang di tuju adalah kota kelahiranku dulunya.
Alhasil hari itu aku resmi mendapat surat tugas untuk di tempatkan di kantor cabang di kota Tarakan. Semua persiapan sudah ku terima dari kantor. Mulai dari tiket pesawat perintis yang langsung tujuan dan seluruh kelengkapan lainnya. Segala hal dasar sempat di ajarkan beberapa hari sambil menanti jadwal keberangkatanku saat itu. Mulai dari menulis kwitansi p********n hingga ujian di lapangan saat harus bertemu dengan konsumen mengenai kredit motornya.
Menjalani kehidupan kerja di lapangan, bertemu dengan beberapa macam karakter yang berbeda beda. Semua pengalaman ini jadi bahan masukan buat bekal diriku nantinya di tempat kerjaan yang baru.
Semua perlengkapan sudah ku siapkan dalam beberapa tas. Baju, celana, sempak, handuk, sarung, sajadah dan semua keperluan pribadi juga telah packing rapi. Banyak pakaian yang ku bawa mengingat job ku yang bakalan lama nantinya, sesuai kontrak kemungkinan 2 atau 3 tahun lamanya. Meski nantinya di kota kelahiran sendiri dan masih banyak saudara almarhumah ibu dan almarhum bapak, aku tak bisa mengharapkan mereka. Apalagi aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diri sendiri.
Hari yang di nanti kan akhirnya tiba masanya. Aku harus meninggalkan kota kehidupanku, berjuang mencari kehidupan yang lebih baik lagi. Sang paman juga telah banyak beri bekal serta wejangan wejangan ala orang tua yang selalu membekali nasehat atau petuah buat hidup di kampung orang.
Terbang dengan menggunakan sebuah pesawat perintis yang kecil membuat diriku khawatir. Karena ini adalah pertama kalinya aku menggunakan pesawat kecil dalam bepergian. Biasanya jika mengikuti acara paman keluar kota yang harus gunakan jalur udara adalah pesawat yang jumlah kapasitas penumpangnya bisa memuat orang banyak. Mungkin karena kota tujuanku adalah kota kecil jadi jarang pesawat komersial yang kesana.
Rasanya seperti naik bus ekonomi yang jalannya begitu bar bar. Sepanjang perjalanan hati ini di buat sport jantung yang luar biasa. Kebentur awan saja sudah terasa banget goncangannya. My trip my adventure terasa jadi nyata dalam perjalananku kali ini. Naik turun pesawat atas bawah lalu berulang terus atas bawah makin memacu adrenalinku. Rasanya jika sudah ada parasut di belakang tubuh ini, bisa ku pastikan aku akan membuka pintu dan langsung lompat keluar.
Landing di kota yang pernah menjadi tempat kelahiranku. Banyak kenangan kedua orang tuaku di sini. Tapi sudah lah semua sudah berlalu tidak mungkin ku tarik kembali masa itu. Setibanya di bandara aku langsung mencari tempat untuk tinggal sementara. Sebelum memulai pekerjaan beberapa hari lagi dengan bertemu teman teman yang baru juga.
“Alhamdulillah akhirnya tiba juga, huffff … rasanya jantungku, gila tu pesawat, moga ga nemu lagi berikutnya dah.”
“Eh ngapain kamu ikut sampai kesini??” aku lupa cerita ya sebelumnya kalau aku punya teman dari alam sebelah yang selalu setia ikutin aku sejak kecil. Dia dari golongan jin, meski tubuhnya kecil usianya sudah ratusan tahun lho, udah bukan imut lagi. Pertemuan kami katanya sudah memang jadi takdir dalam hidupku. Ia memang di tugaskan untuk menjadi pengawalku hingga saat ajal menjemputku.
“Lho kok tuan muda tau saya disini.”
“Bau lu tong keciuman sampai kesini.” Sambil ku pencet kedua lubang hidungku. “Ada berapa yang kamu bawa kesini, Tong!” aku biasa memanggil dengan nama o***g, biar makin akrab. Karena kalau pakai nama aslinya panjang amat dan susah nyebutnya. Maklum dia jin made in impor.
“Ratusan tuan, apa kurangkah tuan muda?”
“Edan!! Kamu mau perang atau cuma kawal aku? Suruh menghilang dulu sono, entar di lihat orang bisa berabe kita Tong.”
“Siap tuan muda!” dalam sekejap semua pasukan yang ia bawa segera berhamburan menghilang seperti asap. Aku yang melihat tingkah laku mereka hanya senyum senyum sendiri. o***g memang jin yang funky dan sangat bisa di andalkan. Dia dari golongan jin muslim, hampir setiap hari tiada putus selalu mengingatkanku saat nyaris lalai akan kewajibanku sebagai orang muslim. Jadi ia berfungsi sebagai alarm kehidupan bagiku. Begitu juga ketika tau kalau aku sedang dalam bahaya.
Setelah mendapatkan sebuah kos yang tidak terlalu jauh dengan tempatku kerja, ku rapikan kembali barang barang bawaanku. Lalu sorenya aku coba jalan jalan ke tempat kerjaanku agar tidak tersesat saat pergi kerja besoknya.
“Di kamar tuan ada penghuni juga, apa perlu saya usir tuan?” mulai dah jiwa alarmnya si jin bereaksi.
“Iye dah tau, biar sajalah, asal ga isengin saya. Kira tadi pacar lu Tong.”
“Aduh tuan muda kan tau selera ane.”
“Sombong amat lu jin, kan dia bisa berubah cakep juga Tong.”
“Maaf tuan muda, ga level.”
Akupun berlalu ke jalan karena di depan kos sudah ada tukang ojek yang menunggu untuk menemaniku ke tujuan. Berjalan melalui daerah yang terasa taka sing membuat memori ini mengulang kembali. Abah dan ibu dulu yang begitu getol berusaha membesarkanku. Semuanya pasti berubah, jalan, nama tempat dan bangunan bangunan yang sudah mengalami perubahan mengikuti perkembangan jaman.
Keesokan harinya aku sudah hadir duluan dari semua karyawan yang ada di kantor baruku. Untung ada pak wakar yang juga lebih dulu hadir karena memang beliau dari semalam tugasnya menjaga kantor tersebut. Menarik juga ketika mendengar ocehan beliau yang sudah berumur. Pengalaman pengalaman dia ketika menjalani profesi selama menjadi wakar atau penjaga malam sebuah bangunan. Beliau sudah cukup lama mengabdi dengan perusahaan tempatku bekerja.
Nama bapak itu adalah Pak Har. Asal dari kota terpencil yang terletak di pulau Jawa. Mengadu nasib di kota ini sudah puluhan tahun dan menetap di kota ini. Ia tak ingin lagi balik ke kampung karena kehidupannya sudah berpindah ke kota ini semua. Baginya dimanapun hidup adalah tempat yang bisa membuat dia jadi orang yang bermanfaat. Sayang meski telah berusia lanjut beliau masih sering bolong bolong dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Kegemarannya soal dunia klenik melebihi ketakutannya dari pada hukum Allah. Ia lebih meyakini hal hal yang berbau mistis ketimbang hal yang ada di Quran. Pantas saja di badannya banyak mendompleng kemana pun beliau bepergian. Semuanya tak ada yang bagus, malah justru menyesatkan Pak Har dan keyakinannya.
“Hati hati kalau berada di gedung ini ya den, jaga ucapan dan sikap. Apalagi ini Kalimantan den, segala sesuatu yang tidak kita percaya bisa saja terjadi tiba tiba.” Kata beliau mencoba mengingatkanku. Aku yang mendengarnya hanya senyum senyum dalam hati. Pantas saja mereka ada lha yang bawa kemari itu lho jenengan sendiri pak, dalam hatiku berkata.
“Apa perlu ku bereskan tuan. Perintah aja tuan, langsung saya selesaikan!” si jin o***g sudah tak sabar menanti perintahku.
“Jangan jin, aku masih baru disini dan ‘mereka’ juga sudah takut duluan tu lihat kamu dan pasukanmu.”
Tak berapa lama satu persatu karyawan kantor pada berdatangan. Hingga semuanya hampir lengkap, akupun menyusul mereka. Berkenalan dulu dengan pimpinanku yang bernama Pak Sudar. Ternyata tidak hanya aku sendiri yang karyawan baru disitu, ada satu lagi yang baru seminggu bergabung juga dengan perusahaan ini.