05

1139 Words
Sejak pagi saat mereka kabur, mereka terus berusaha agar tak siapapun mengetahui hal itu. Menurut Shatoru tidak mungkin laki-laki hanya melakukan pekerjaannya sendirian, karena kemungkinan besar sudah sejak lama pekerjaanya akan di ketahui militer kekaisaran. Saat itu hari juga sudah mulai gelap, mereka berkeliling mencari tempat untuk beristirahat, apalagi sejak tadi Hayato sudah nampak begitu lelah hingga tertidur di gendongan Shatoru. Tubuh kecil Hayato terombang-ambing di atas sana, dengan begitu lesu. Tak berapa lama akhirnya Shatoru menemukan sebuah gubuk kecil, seperti rumah lusuh yang sudah lama di tinggalkan pemiliknya. Tempat itu juga terpencil dan sedikit menjauh, mungkin mereka bisa mengindap sesaat di tempat ini, agar bisa melanjutkan perjalanan esok. Tak mungkin ada yang menyadari jika seseorang berada di dalamnya. Jarak desa Yondama masih begitu jauh, setelah tempat ini, mereka harus melewati kota Shibicu, kota yang di kenal tempatnya perampok dan surga bagi para Ronin (gelar yang di berikan pada masyarakat pada samurai/bunshi yang kehilangan tuannya). Para Ronin yang tak memiliki tuan lagi bekerja serabutan, ada yang menjadi pekerja kasar, hingga pencuri dan pembunuh bayaran. Setelah menaruh tubuh kecil Hayato di sembarang tempat yang terlihat nyaman, Shatoru berusaha mencari tempat untuk sekedar menyegarkan diri. Ia ingin mencuci wajahnya ataupun mandi, meskipun tidak seharusnya ia mandi. Sebelum sampai di gubuk itu, ia melihat sebuah sungai dengan aliran air jernih bening. Dengan sedikit berjalan di belakang gubuk, Shatoru menemukan sungai yang ia maksud. Saking menyegrakannya, Shatoru melepaskan jubah dan topeng yang menutupi seluruh tubuhnya. Setelahnya ia menggusapkan air dari telapak tangan kewajahnya yang mulus. Wajahnya bersih tanpa sedikitpun cacat, ia hanya berbohong pada para penjual b***k itu agar tak cepat-cepat di jual, ia ingin lebih lama berada di rumah penjual b***k itu sebenarnya, namun sejak melihat Hayato semuanya berubah. Malam itu, tepatnya tiga minggu yang lalu, Shatoru berada di sebuah perkumpulkan yang mengatasnamakan diri mereka reformasi baru, sebuah kelompok terlarang yang ingin memberantas kejahatan dengan tangan mereka sendiri. Menurut mereka Kekaisaran tak lagi seperti yang mereka harapkan, apalagi ketika Kaisar Daimyo telah di tempati bukan orang timur lagi sejak perang kudeta beberapa tahun lalu. Shatoru dan perkumpulannya mennentang hal itu dan berusaha membuat Kekaisaran menjadi milik orang timur lagi, namun karena mereka hanya perkumpulan kecil mereka mulai dari bawah, dan mulailah rencana ini. Hampir dua minggu Shatoru sudah mengamati pergerakan para bandit dan penjual b***k, ia dan perkumpulannya melihat bagaimana mereka bekerja dan akhirnya memutuskan untuk menyelidiki para penjual b***k. Dari semua penjual b***k, laki-laki itu paling mencolok, laki-laki itu bermain apik, dengan cara yang pandai, bahkan ia mampu mendapat dukukangan para militer kekasiaran yang haus akan kekuasaan dan yang uang. Ketika anggota perkumpulannya setuju untuk mengirim Shatoru, akhirnya Shatoru pergi. Namun, setelah sampai di tempat penjual b***k itu, semuanya berubah. Hayato kecil mampu menarik dirinya, mengingatkannya pada seseorang yang 17 tahun lalu pernah menjadi bagian hidupnya. Namun, sejak banyak masalah terjadi, orang itu pergi. Mata Hayato yang terang coklat membuat Shatoru semakin susah melupakan, akhirnya ia berniat membawa pergi Hayato agar hidup Hayato tak semakin menderita. Setelah beberapa menit menyegarkan dirinya, Shatoru kembali memakai jubah dan topengnya, karena bulan semakin naik dan beranjak kebarat, yang menandakan hari akan semakin mendini. Jika ia kelelahan dan kurang tidur, itu akan menyusahkan Hayato. Shatoru berjalan menuju gubuk dan mendapati Hayato yang masih pulas dengan tidurnya, sesaat Shatoru memandangi wajah kecil dan teduh Hayato, lalu mulai tidur di samping Hayato dan menunutup maya. Ia berharap perjalanannya esok kembali ke desa Yondama, di sekitaran hutan Tebu akan berjalan baik. *** Dua tahun lalu. Hayato mengurut pipinya sendiri sambil memajukan bibirnya, dalam hatinya begitu dongkol yang kecewa. Kenapa selalu Ishiki yang di beri pujian oleh semua orang termasuk ayah dan ibunya? Kapan ia mendapatakan hal itu juga? Isiki yang pandai dalam sekolahnya, Ishiki yang pandai berburu dan pandai bernaik anak panah? Ishiki yang pandai ini dan itu? Seperti hari itu, Ishiki baru saja mempelajarai ilmu beladiri baru, dan langsung menjadi murid favorit di dojo, orangtuanya ingin sekali mendakan pesta kecil-kecilan. Dan ia cemburu, dengan kesal, Hayato berlari menuju hutan di atas bukit. Saat berada di sana Hayato kecil kadang hanya bermain, mencari buah tak jarang bermian kejar-kejaran dengan monyet dan hewan kecil lainnya yang tak berbahaya. Setelah lelah, ia akan berhampar di rumputan sambil memandang desa kecilnya dari atas bukit itu. Kadang beberapa kali Hayato berpikir, mungkin akan lebih baik jika Ishiki tak ada, hanya ada dirinya, mungkin saja orangtuanya kaan lebih menyayanginya, menyayangi semua hal yang tak bisa ia lakukan, andai saja. Syaangnya Ishiki lahir lebih dulu. Dan usia mereka terpaut cukup jauh, enam tahun. Hayato yang sudah lelah bermain, membaringkan tubuhnya di rumput yang tenang saat siang hari tak begitu teriak, sambil mengunyah buah apel merah yang ia petik dari hutan, itupun berebut dengan monyet liar yang nakal. Sesaat kemudian ia mengantuk dan mulai memejamkan matanya. Di temani angin semilir, tidurnya mungkin akan sedikit nyenyak. Tak berapa ia tertidur, ia mulai bangun, langit di atas sudah mulai gelap. Ia mengusap-usap wajah dan matanya, lalu kemudian ia melihat kedepan di mana seharusnya desanya. Namun ada yang aneh, dari rah desanya muncul kumpulan asap dan nyala api yang sangat besar. Seketika saja Hayato kaget dan mulai panik, ia lalu berlari sekencang mungkin. Itu mungkin kebakaran hebat, pikirannya mulai penuh dengan orangtuanya dan Ishiki sang kakaknya. Ia ingin secepat mungkin sampai disana, membantu memadamkan api. Dengan napas terengah-engah dan mata yang mulai berkaca-kaca, ia mulai menangis ketakutan. Sesampainya di desa, api sudah mengepung hebat hampir seluruh rumah hancur terbakar tak ada yang tersisa, ia mulai berlari kesisi jalan, mencari rumahnya. Rumahnya pun sama, hancur lembur dengan kobaran api, lalu di mana orangtuanya? Di mana Ishiki? Dan di mana orang-orang? Apa mereka mengungsi? Tapi, kemana? Dari arah berlawanan suara hendatakan kuda kaki kuda menjauhi desanya, ia dengan sangat jelas, saat ia berusaha mengejar, kumpulan kuda itu sudah tak ada. Kemana mereka semua? Hayato menangis sambil berteriak bergantoan memanggil keluargnya, tapi tak ada yang mendengar. Lalu seseorang memukul pipinya dengan kencang, ia meringis kesakitan ..., itu hanya sebuah mimpi. Shatoru membangunkan Hayato dengan tamparan karena sejak tadi Hayato berteraik dan mengigau memanggil keluarganya. “Paman, kenapa kau menamparku?” tanya Hayato pada Shatoru yang sudah berhenti memukul pipinya. “Bahkan aku tadi berniat memukulmu dengan balok kayu jika kau tak berhenti berteriak,” ujar Shatoru. “Berteriak? Ah tidak mungkin,” kata Hayato mengelak, padahal ia juga tahu apa yang terjadi tadi. “Kau mengigau ..., sudah hentikan omongamu, sekarang kau bangun dan siap-siap. Kita akn pergi pagi ini.” “Pagi ini? Paman ini masi dini hari, biarkan aku tidur sebentar lagi,” ujar Hayato, ia mulai merebahkan tubuhnya lagi namun di cegah Shatoru. “Tidak, jika kita pergi saat matahari sudah naik, akan sangat mudah mereka menemukan kita. Mengerti?” Hayato mengangguk. Lalu bangun dan berjalan menuju sungai yang di katakan Shatoru ada di luar gubuk tak jauh dari sana. Hayato akan menyegarkan dirinya, meskipun masih sedikit mengantuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD