17

1022 Words
Si kusir kereta berlalu pergi, ia tak bisa mengantarkan Shatoru dan Hayato masuk kedalam hutan lebih jauh, karena hutan itu cukup rimbun dan menakutkan bagi beberapa orang. Shatoru mengerti, maka dari itu ia tak bisa memaksanya. Hutan Tebu adalah hutan paling rimbun yang ada di wilayah Yamamura, meskipun bukan yang paling besar. Di dekat sana banyak tempat tinggal, baik kota maupun desa. Yondama, desa yang akan Shatoru kunjungi juga ada di sana. Desa yang berada di bukit ujung hutan itu akan menjadi tempat mereka tinggal. "Hutan lagi," keluh Hayato sambil menghembuskan napasnya dengan keras, "Selama kaburmu aku berulang kali melihat hutan dan desa, tapi tak sampai tempat tujuan. Atau jangan-jangan kau juga akan menjualku?" "Kau tak akan laku diatas 40 logi, lebih baik aku menernak kambing. Mereka lebih mahal," jawab Shatoru yang berhasil membuat Hayato mengerutkan bibirnya. Ia di samakan dengan kambing. "Apa aku semurah itu?" "Anak-anak gelandangan, tanpa ayah dan ibu, mereka memiliki harga jual yang murah. Biasanya dijadikan pembantu atau buruk kasar tanpa henti." Hayato menggidik mendengar ucapan Shatoru itu, ia tak berani menjawab lagi, karena hal itu malah membuatnya semakin takut dan terbayang tentang laki-laki beberapa waktu lalu yang hampir saja menjualnya. Padahal awalnya Hayato pikir laki-laki itu, dari cara bicara dan gerakannya, bahkan ia membelikan apel yang sempat ia curi, tapi apa itu hanya sebuah cara agar mendapat simpatinya. Entahlah, rasanya Hayato belum sanggup memikir hal itu. Terlalu kecil dan sempit otaknya. "Paman, apa malam ini kita akan sampai di desamu?" tanya Hayato lagi pada Shatoru. Shatoru belum menjawab, tangannya malah berusaha meraih beberapa apel merah yang berada di atas pohon tepat di tempatnya berdiri. Ia mendapatkan tiga apel, dua ia simpan di kantung tas, satu lagi di gigit. Padahal awalnya Hayato berharap di beri apel itu. "Malam ini kita akan menginap di sini, karena perjalanan malam akan sangat menakutkan. Aku yakin dengan itu," kata Shatoru kemudian. "Kau takut?" "Tidak. Tapi, aku yakin kau yang takut. Karena di sini banyak binatang buas," ujar Shatoru. "Aku tidak takut, jika mereka datang. Aku bisa memukulnya pergi, jika itu kelinci." "Kelinci tidak termasuk binatang buas." "Aku tau itu," kata Hayato. Mereka berdua terus berjalan, melewati jalan terjal dan kadang setapak, karena di sisinya ada jurang yang cukup dalam. Shatoru dan Hayato memiringkan tubuh, sambil menutup mata Hayato berjalan perlahan kesamping depan. Sejak dulu ia takut ketinggian. "Buka matamu," ujar Shatoru. Hayato membuka perlahan matanya, ternyata jurang itu sudah habis. Ia bisa menghembuskan napas leganya sekarang. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya sampai jatuh kedalam jurang yang dalam itu, di bawah sana bukan air tapi batuan terjal yang cukup besar, bahkan beberapa terlihat lancip. Mungkin saja jika ia jatuh langsung tertancap atau tulang belulangnya hancur. Sejenak Hayato berpikir, apa tidak ada jalan lain yang lebih baik lagi? Bukannya hutan itu lebar? "Kenapa kau memilih jalan seperti ini, Paman?" tanya Hayato penasaran. "Aku sengaja memilih untuk latihan keberanianmu," jawab Shatoru dengan santainya. "Bohong, kau pasti berniat membunuhku, kan? Agar aku tidak gentayangan kau akan bilang itu kecelakaan?" "Apa caraku membunuhmu terlihat jelas sekali? Ah, aku tidak pintar bersandiwara," ucap Shatoru. Ucapan itu membuat Hayato tak bisa berkata lagi, kenapa orang yang bersamanya nampak begitu aneh. Bahkan rasanya ia kadang masih berpikir bahwa Shatoru benar-benar akan melakukan hal gila padanya. *** Malam mulai bergegas datang, bulan nampak di sebelah timur. Shatoru memutuskan untuk membua api unggun dan menetap di hutan itu untuk malam ini, sementara Hayato hanya mengikuti apa yang di lakukan Shatoru. Semakin malam udara semakin dingin, pohon rindang menggesekkan batang dan daunnya, jika saja tak ada api untuk menghangatkan diri mungkin saja ia sudah mati kedinginan, meskipun musim dingin belum tiba, tapi angin yang berhembus bersama dedaunan itu begitu dingin. "Aku menemukan beberapa burung," kata Shatoru pada Hayato sambil menjinjing beberapa ekor burung yang sudah ia kuliti. "Kau membunuh mereka?" tanya Hayato. "Jika tak aku bunuh, bagaimana kita akan memakannnya. Sudahlah bakar saja, agar kau tak kelaparan." Hayato diam, tapi tangan kanannya mengambil burung-burung itu perlahan. Lalu menaruhnya di depan api untuk memanggang, setidaknya Hayato bisa merasakan memakan daging untuk beberapa saat. Hayato dan Shatoru membolak-balik burung itu secara perlahan dan merata. Tak berapa lama beberapa burung sudah siap makan, Shatoru memberikan pada Hayato. Hayato memakannya dengan lahap meskipun terasa hambar. Saat Hayato tengah menikmati makannya, terdengar suara berisik dari balik-balik pohon. Hayato berhenti mengunyah dan Shatoru menyuruhnya diam dengan tanda jari di depan bibir. Suara berisik itu makin riuh, Shatoru mengeluarkan pisau peraknya. Lalu berjalan mendekati Hayato agar anak itu berada di belakangnya. Hayato yang mendapatkan perlakuan seperti itu semakin takut, sementara telinganya sejak tadi tak berhenti mendengar suara bising yang menakutkan. Apa ada binatang buas? Atau orang yang mendekat? Batin Hayato bertanya saat suara itu semakin mendekat dan terus mendekat. Lalu, sesuatu keluar dari rimbunnya pohon. Shatoru bersiap dengan kuda-kudanya untuk berjaga-jaga jika saja sesuatu itu menyerang, tapi ternyata... "Mengagetkanku saja, ternyata hanya kelinci," ucap Hayato mulai bisa bernapas lega. Shatoru yang awalnya sudah berjaga-jaga, ternyata juga bisa bernapas tenang. Karena ia pikir ada hal aneh yang terjadi, nyatanya hanya beberapa kelinci yang sedang mencari jalan untuk kembali ke sarangnya atau malah mencari makan. "Kau ketakutan," ujar Shatoru pada Hayato. "Justru kau yang ketakutan, Paman," balik Hayato pada Shatoru yang mengejeknya. "Aku tidak takut, aku hanya menjagamu, bagaimana jika terjadi hal-hal aneh padamu nanti." "Oh ya, bukannya tadi kau memang berniat untuk melemparku ke jurang." "Sudah tutup mulutmu, cepat selesaikan makanmu dan bergegas tidur." Hayato hanya bisa mengangguk dan memakan burung panggang itu dengan lahap, begitupun Shatoru yang tak ingin kehabisan karena melihat Hayato yang sangat menikmati makanan itu. Tak berapa lama makanan itu habis, menyisakan tulang-tulang saja, api juga sudah mulai meredup karena kekurangan kayu. Hayato sudah tertidur dengan pulas, sementara Shatoru masih bangun dan menekan-nekan api unggun dengan kayu. Sejenak ia berpikir, betapa takutnya ia tadi saat ada suara berisik mendekat. Ia sudah bersiap menjaga Hayato, ia takut terjadi hal-hal aneh pada Hayato, bahkan ia tak memikirkan nasibnya sendiri. Dulu ia ingat, saat tengah berada di hutan bersama sang guru. Laki-laki yang mengajarinya caranya berpedang itu menjaganya, bahkan sampai membuat bagian perutnya tercakar beruang. Dan karena pikiran itu, ia ingin sekali menjaga Hayato dari bahaya sekecil apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD