25

1107 Words
Beberapa hari sudah berlalu, demam Hayato juga sudah turun. Tapi, Bibi Yuma mengatakan bahwa Hayato harus beristirahat lebih dulu. Ia tak di perbolehkan melakukan hal berat dulu. Mendengar hal itu Shatoru menjadi lega sekaligus bimbang, ia tak bisa membayakan jika terjadi hal yang lebih dari ini. Meskipun Hayato bukan anaknya, tapi ia sudah janji dengan Riyoichi bahwa akan menjaga anaknya bagaimanapun caranya. Jika sampai terjadi hal yang tidak baik maka ia akan mengutuk dirinya sendiri. Sakitnya Hayato kembali membuatnya teringat akan dirinya dulu yang masih kecil. Sekitar umur 12 tahun. Riyoichi membawa dirinya pergi ke bukit untuk berlatih pernapasan pedang, saat sampai di sana hujan turun dengan lebat. Sekembalinya dari bukit, Shatoru demam tinggi. Ia ingat Riyoichi yang terus menjaga dan merawatnya. Selalu berusaha membuatnya nyaman bagaimanapun caranya. Hingga Riyoichi mendapat masalah dari orangtuanya. Itu kali pertama ia melihat Riyoichi begitu khawatir. Padahal awalnya Shatoru berpikir sifat sang guru yang keras memang sudah mendarah daging dan tak bisa di hilangkan meski dirinya sakit sekalipun. "Kau melamun lagi," ujar Inoshuke mengunjungi Shatoru yang kini mereka berada di teras. "Lagi?" tanya Shatoru mengulang ucapan Inoshuke. "Semenjak Hayato sakit kau sering sekali melamun," kata Shatoru. "Apa kau begitu mengkhawatirkanya?" Shatoru terdiam sesaat. Ia memang mengkhawatirkan Hayato, tapi apa hal itu begitu nampak di wajahnya. Jika benar bagaimana caranya ia menutupi sekarang. "Apa aku terlihat begitu mengkhawatirkannya?" tanya Shatoru. "Kau begitu khawatir sampai sering mengabaikanku di sini." Setelah mengucapkan hal itu Inoshuke menghadap Shatoru sambil tersenyum begitu manis. "Aku tidak mengabaikanmu, Shuke. Bagaimana mungkin aku mengabaikan orang yang mengurus Hayato sakit selama ini. Inoshuke mengangguk. Beberapa hari lalu, sesaat setelah malam harinya Shatoru mengunjungi Bibi Yumi. Seorang tetangga mengatakan hal itu pada Inoshuke. Pagi harinya Inoshuke datang dan bergantian menjaga Hayato. Sebagai murid Bibi Yumi Shatoru mengetahui bagaimana caranya mengurus orang sakit, meracik obat dan berusaha menyembuhkan. Inoshuke yang sibuk melakukan apapun untuk Hayato, agar Hayato bisa sembuh lagi dan bisa bermain bersamanya lagi. Bagi Inoshuke anak itu begitu istimewa, dengan mudah mengambil hati orang-orang desa. Bahkan ayahnya Yababura, sudah menganggapnya cucu. Jika benar begitu, harusnya sang ayah juga menganggap Shatoru sebagai menantunya. Sayangnya, Shatoru tak pernah mau membahas soal itu. Shatoru selalu menghindar jika membicaran tentang "pernikahan". Namun, Inoshuke sadar diri siapa ia dan siapa Shatoru. Shatoru adalah anak dari seorang Daimyo, sementara ia hanya seorang dokter desa yang besar dan tumbuh di desa. "Bisakah aku mendapat segelas air," ucap Hayato perlahan. Mendengar hal itu Inoshuke dan Shatoru langsung saja menoleh dan berusaha membantu Hayato. Hayato memaksakan tubuhnya untuk bangun, padahal ia masih begitu sakit. Inoshuke membawa tubuh Hayato masuk kedalam dan tidur kembali. Sementara Shatoru mengambil air minum untuk Hayato seperti yang di mintanya tadi. "Minum lah," ujar Shatoru memberikan air minum itu secara perlahan. "Paman Shuke, apa aku sudah boleh bangun? Aku terus berbaring selama hampir satu mingggu," ucap Hayato sambil bertanya pada Inoshuke. Ia tahu Inoshuke yang merawatnya sejak sakit. "Tunggu sampai kau sembuh ya, kau tak boleh memaksakan diri," ujar Inoshuke. "Aku sudah sembuh, Paman." Hayato terus berusaha bangkit tapi Inoshuke mencegahnya. "Jika kau sembuh, kau harus berlatih pedang lagi," kata Shatoru menimpali. Mendengar ucapan Shatoru itu Hayato hanya bisa menggeleng. Ia tak mau melakukan hal itu di tengah musim dingin seperti ini. Hayato sudah berpikir sejak lama bahwa Shatoru adalah orang aneh dan gila yang tak peduli dirinya. Shatoru yang melihat Hayato menggel hanya bisa tersenyum di balik topengnya. "Maka dari itu istirahatlah. Kau harus beristirahat cukup selama musim dingin ini," sambung Shatoru lagi. Mau tak mau Hayato mengikuti kemauan Shatoru dan sepertinya Inoshuke juga mendukung hal itu. *** Dilain pihak, Hideyoshi sudah pulih dari sakitnya dan sudah bisa melakukan banyak hal. Dokter memberinya tumpangan untuk sementara waktu selama musim dingin. Ibhiki dan Norariku tak nampak lagi semenjak ia usir beberapa hari lalu. Mungkin mereka kecewa atau marah, sementara Hideyoshi juga mulai berpikir bahwa ia tak pernah mengucapkan terima kasih. "dok, terima kasih atas kebaikanmu selama aku sakit. Sekarang aku ingin berpamitan," ucap Hideyoshi pada dokter itu. "Kenapa kau pergi begitu cepat? Saljunya masih tebal," kata sang dokter. "Aku tak bisa terlalu lama menetap, aku memiliki tugas penting," jawab Hideyoshi. "Apa dokter tahu di mana dua lelaki yang menjagaku selama aku sakit?" Sang dokter berusaha mengingat dua laki-laki yang di maksud Hideyoshi. "Mereka beberapa hari ini tak datang berkunjung, aku tak tahu kenapa. Padahal mereka khawatir padamu, bahkan mereka yang merawat dan menjagamu saat kamu sakit," papar sang dokter. Hideyoshi semakin merasa tak nyaman mendengar hal itu. "Baiklah, dok. Aku harus pergi," pamit Hideyoshi. "Pakailah mantel ini," sang dokter melepaskan mantel tebal dan memberikannya pada Hideyoshi. "Terima kasih, dok." Sang dokter mengangguk. Selah itu Hideyoshi berlalu pergi dan meninggalkan sang dokter. Ia keluar dari area rumah sang dokter. Hideyoshi berusaha menutupi tubuhnya dengan mantel karena hutan salju masih turun begitu lebatnya. Kemudian Hideyoshi mengambil kudanya, ternyata Ibhiki dan Norariku juga sudah mengambilkan kuda untuknya. Ia kemudian memacu kudanya melewati tumpukan salju di jalanan. Selama perjalanan ia masih memikirkan nasib Ibhiki dan Norariku. Meskipun mereka berbeda wilayah tapi mereka adalah seorang kesatria. Namun, ucapan Ibhiki tempo hari seperti tak bisa ia terima. Rasanya ia masih tak percaya dengan semua yang terjadi. Ayahnya memang meninggal sejak ia masih kecil karena sebuah perang, hal itu terjadi tak lama setelah ibunya melahirkan sang adik. Kemudian wilayah Iwabhana di bentuk. Selama ini ia pikir Keenam wilayah di pulau Shimazen nampak akur. Kazuo pun terlihat baik. Ia tak pernah berpikir bahwa Kazuo akan melakukan itu. Karena baginya Kazuo adalah seorang pahlawan, guru dan juga ayah keduanya. Sayangnya, setelah mendengar ucapan Ibhiki pikirannya tercemari. Bagaimana jika ternyata hal itu benar? Apa jika ia kembali nanti Kazuo malah membuatnya sengsara? Dan hal buruk terus menyerang pikirannya. *** Tak terasa tiga bulan sudah berlalu. Hayato sudah sembuh total, di tengah salju yang terus turun ia latihan bersama Shatoru. Meskipun gerakannya tak banyak perubahan, dari mulai mengayunkan pedang, memukul batang pohon dengan pedang kayunya, begitu terus berulang. "Rendamlah tanganmu," ujar Shatoru sambil memberikan satu ember air kepada Hayato. Hayato menghentikan latihannya, lalu berjalan menuju ember yang di berikan Shatoru tadi. Kemudian Hayato meletakkan pedang kayunya di depan dinding dan mulai merendam tangannya. Tangan kecilnya yang mulai mengelupas karena dinginnya udara bersentuhan dengan air hangat yang sudah di campur obat membuat tangannya terasa nyeri. Berulang kali ia mendesis, tapi masih terus merendam tangannya. "Shuke mengatakan, rendaman kotoran kuda baik untuk menyembuhkan luka," ujar Shatoru. "Apa?!" Kata Hayato kaget mendengar Shatoru mengatakan itu air rendaman kuda. Hayato mengeluarkan tangannya dari ember dan melihat airnya. Warnanya bening dan bersih, baunya juga tak ada. Hayato merungutkan wajahnya karena merasa di bohongi Shatoru. Setelah itu Hayato terus berlatih pada Shatoru menggunakan pedang, sampai tak terasa musim dingin hampir saja berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD