Bab 20

1267 Words
Bu Bertha menghela napas panjang. Matanya menatap ke arah luar. Bu Bertha sedang berada di dapur bersama teman masa kecilnya. “Bagaimana nasib negeri ini ke depannya? Apakah kedatangan kami bisa membantu atau justru akan memperburuk keadaan nantinya?” tutur Bu Bertha dengan nada kurang bersemangat. Bukan tanpa sebab. Penyihir Harguri, namanya sudah terdengar di seluruh negeri yang tertulis di Buku Darma. Jika disebut saja nama Penyihir Harguri, bulu kuduk yang mendengar namanya akan berdiri karena membayangkan bagaimana jahatnya penyihir itu. Menjadi keturunan langka yang bisa menguasai tujuh elemen kekuatan, menjadikannya serakah. Membuatnya ingin menguasai dunia atas dasar ambisinya. Trienta meletakkan piring di rak kayu buatannya. Setelah selesai, dia bergabung dengan Bu Bertha, melihat ke arah luar dari jendela dapur. “Jangan berkata seperti itu, Bertha. Kedatangan kalian ke negeri ini pasti akan bermanfaat. Kami mengharapkan kehadiran kalian untuk mengalahkan penyihir itu. Kalau penyihir itu sampai bisa menguasai negeri ini, maka tugas penerus kita akan menjadi semakin berat.” Bu Bertha tidak bisa berkata-kata. Itu benar adanya. Kalau mereka tidak bisa mencegah Penyihir Harguri menguasai negeri ini, maka generasi mereka selanjutnya akan terasa semakin sulit lagi. Tugas Kinara dan rekan-rekannya akan menjadi sesuatu yang bisa dengan mudah menghilangkan nyawa mereka. Ibarat hanya merobek kertas. “Yurtira akan melatih mereka dengan baik. Kamu tidak perlu khawatir, Bertha. Anak-anak akan menguasi kekuatan mereka masing-masing dengan sangat baik. Mereka akan menghancurkan Penyihir Harguri dan menyelamatkan negeri ini,” kata Trienta memberi semangat pada Bu Bertha. Bu Bertha mengangguk. Itu yang memang dia harapkan. Kinara dan sahabat-sahabatnya harus bisa menguasai kekuatan mereka dengan baik agar bisa mengalahkan Penyihir Harguri. Keselamatan negeri ini ada di tangan mereka. “Ayo, kita harus mengantarkan mereka. Sebentar lagi Yurtira akan tiba,” ajak Trienta. Bu Bertha dan Yurtira kembali ke ruang tamu. Sampai di sana para orang tua sedang melakukan salam perpisahan dengan anak-anak mereka. Winda tengah mengusap-usap kepala Kinara. Anggara dan Henri bertukar lelucon sebelum pergi. Sarah tengah memeluk Arjuna erat sekali. Adelina tengah menangis terisak-isak karena tidak ingin berpisah dengan mama dan papanya. “Gak usah menangis, Adel. Make-up-mu bagaimana? Jangan sampai ada yang tertinggal. Nanti anak mama dan papa gak cantik lagi,” canda Sinta. Dia mencoba menghibur anaknya. Gunawan mengelus kepala Adelina. “Lihat, maskaranya luntur tuh!” “Yang bener, Pa?” Adelina langsung mengeluarkan cermin dari tas tangannya. Saat melihat maskaranya tidak benar-benar luntur, air mata Adelina mengalir semakin deras dan suara tangis Adelina jadi semakin keras. Rasanya candaan mama dan papanya tadi membuat Adelina semakin tidak siap untuk menghadapi situasi ini. Trienta menganggukkan kepala pada Bertha, sebagai tanda untuk mengakhiri sesi perpisahan. Yurtira telah sampai. Bu Bertha menepuk tangannya. “Baiklah. Sesi perpisahan ini harus segera kita akhiri. Sosok yang akan melatih kalian telah sampai.” Sarah tidak ingin melepaskan pelukannya pada Arjuna. “Ma, gak usah sedih. Arjuna bakal pulang kok. Arjuna akan menjadi penerus kalian. Tenang saja. Arjuna akan baik-baik saja selama bersama pelatih.” Arjuna mencoba meyakinkan mamanya. Arjuna juga seorang anak. Tentu dia ikut merasa sedih seperti yang lainnya karena harus berpisah dengan orang tua dalam waktu yang belum pasti. Akan tetapi, di antara semuanya, Arjuna-lah yang paling dewasa. Dia bisa menyembunyikan itu. Seperti yang disebut di awal, Arjuna sudah siap seratus persen untuk menjalani kehidupan barunya sebagai pemilik kekuatan super. Kinara gantian mencium pipi dan kening mamanya. Meski tidak sedewasa Arjuna, Kinara juga mampu menyembunyikan rasa sedihnya. Dia tersenyum lebar, seolah meyakinkan Winda bahwa inilah yang memang Kinara tunggu-tunggu selama ini. Siapa yang menyangka bahwa khayalannya sejak kecil ingin mempunyai kekuatan super menjadi kenyataan. Kinara mau memanfaatkan hal itu agar mamanya tidak merasa sedih akan kepergiannya. “Sudah.” Sinta mengusap air mata Adelina dengan ujung lengan bajunya. “”Lekas bergabung dengan yang lain.” Adelina mengangguk. Matanya sudah sembam sekarang. Entah berapa liter air matanya yang sudah terkuras. Henri mengepalkan tangannya ke arah Anggara, seolah berkata ‘semangat!’. Anggara membalas dengan senyuman perpisahan. “Keselamatan negeri ini ada di tangan kalian. Berlatih dengan sungguh-sungguh karena kalian adalah penerus kami. Lakukan apa pun yang diperintahkan oleh pelatih kalian,” Bu Bertha memberikan wejangan kepada mereka berempat sebelum pergi. Kinara, Arjuna, Adelina, dan Anggara memasang posisi istirahat dalam baris-berbaris. Mereka berdiri sejajar membentuk saf. Telinga mereka mendengarkan setiap kata yang terangkai menjadi kalimat yang terlontar dari mulut Bu Bertha. “Penyihir Harguri bukan sembarang lawan. Kalau dia berhasil menguasi negeri ini, maka tidak menutup kemungkinan dia akan menguasi negeri-negeri yang lainnya. Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi. Kita harus mengerahkan semua kemampuan kita untuk mencegah hal itu. Baiklah, sekarang kalian boleh turun. Yurtira sudah menunggu di bawah.” Bu Bertha menutup wejangannya. Arjuna yang pertama menuruni tangga tali. Selanjutnya Kinara, kemudian Anggara, dan yang terakhir Adelina. Bu Bertha turun menggunakan kekuatan anginnya, mengambang turun perlahan. Bu Bertha tersenyum, mendekati Yurtira, memeluknya. “Bagaimana kabarmu, Yurtira?” sapa Bu Bertha ramah dan hangat. “Seperti yang kamu lihat. Aku dalam keadaan sehat karena sudah tidak sabar ingin menyiksa penerus kalian.” Bu Bertha dan Yurtira tertawa bersamaan. Perpisahan di halaman depan rumah Trienta tidak berlangsung lama. Bu Bertha dengan berat hati melarang anak-anak untuk berpelukan lagi dengan orang tua mereka. Para orang tua hanya bisa melambaikan tangan. “Baiklah, anak-anak. Apa kalian siap untuk menjadi penerus generasi selanjutnya?” tanya Yurtira. Matanya menatap mereka berempat dari atas ke bawah tanpa terlewat satu centi pun. Usia Yurtira sepantaran dengan Trienta dan Bu Bertha. Tubuhnya pendek gempal. Wajahnya bulat. Rambutnya panjang sebahu dikuncir kuda. Wajahnya mulai keriput karena termakan usia. Di antara mereka berempat, hanya Arjuna-lah yang menganggukkan kepala, tanda kesiapannya. Adelina dan yang lainnya masih memandang ke arah orang tua mereka. Yurtira mengangguk sambil mengecap. Sekarang belum waktunya untuk memulai latihan. *** “Bi, kita bisa istirahat sejenak, gak?” keluh Adelina. Mereka sudah berjalan selama kurang lebih lima jam non-stop. Setelah sesi berpamitan selesai, Yurtira langsung memimpin perjalan. Mereka berjalan ke arah utara—menuju hutan tropis negeri Voresham. Sudah lima jam, mereka belum juga sampai di hutan tersebut. Yurtira tersenyum sungging. Apa yang dia dengar barusan? Istirahat? Mereka meminta istirahat? “Kakiku mau patah rasanya,” sambung Adelina. Kini dia mendudukkan dirinya di tanah sambil mengipas-kipas. Tubuhnya berkeringat. Tulang kakinya terasa mau patah. Berjalan lima jam tanpa berhenti jelas menguras habis tenaganya. Adelina bukan seorang petualang. Dia hanyalah pecinta K-Drama dan K-Pop. Setelah pulang sekolah mengurung diri di kamar sambil membayangkan menikah dengan pria-pria tampan yang gemar menari. “Ini belum apa-apa. Dasar anak manja!” Apa? Anak manja? Adelina sampai mengorek telinganya, berusaha menyangkal apa yang barusan dia dengar. Namun sayang, hal itu tidak bisa disangkal. Yurtira benar-benar menyebutnya anak manja barusan. Adelina bangkit, hendak melawan. Arjuna sigap menarik tangan Adelina, menahannya. Mereka baru saja memulai hari pertama dengan Yurtira. Terlebih status Yurtira adalah guru mereka yang akan membantu mereka berempat melatih kekuatan agar bisa segera bergabung dengan orang tua mereka untuk melawan Penyihir Harguri. Maka tidak baik jika mereka melakukan sesuatu yang kurang ajar. Terlebih mencoba mendebat Yurtira. “Yang akan kalian hadapi bukan harimau tidur. Tapi naga besar! Mau jadi apa kalian kalau baru berjalan segitu saja sudah kelelahan?!” Anggara meneguk ludahnya. Tampaknya pelatih baru mereka menggantikan sifat Bu Bertha. Sejak Bu Bertha memberitahu bahwa mereka berempat adalah anak dari pemilik kekuatan super, sifat Bu Bertha yang pemarah dan suka menghukum telah sirna. Bu Bertha menjadi sosok yang berwibawa dan bersahaja. Benar-benar mendefinisikan seorang pemimpin. Adelina mengatur napasnya. Latihan saja sudah berat, apalagi ditambah menahan emosi berhadapan dengan guru baru mereka ini. Tampaknya Adelina akan pulang tanpa rambut nanti. “Baiklah. Aku beri waktu lima menit untuk istirahat.” Adelina menggenggam kuat tangannya. Rasanya ingin sekali menjambak rambut Yurtira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD