Bab 21

1045 Words
“Gue kira cobaan hidup gue bakal berakhir setelah Bu Bertha berubah, ternyata nggak,” bisik Adelina pada Anggara. Setelah beristirahat lima menit, Yurtira memerintahkan mereka berempat untuk berdiri, melanjutkan perjalanan. Adelina hanya bisa memainkan gerahamnya, menahan geram karena tidak bisa berbuat apa-apa. Sungguh pelit sekali guru baru mereka. Berjalan lima jam non-stop tanpa berhenti, waktu yang diberikan untuk mengistirahatkan kaki hanya lima menit. Artinya perjam waktu istirahatnya hanya satu menit? Sangat pelit, bukan? “Gue juga mulai takut, Del,” Anggara menanggapi. “Takut kenapa?” “Gue ngerasa guru baru kita bakal lebih galak ketimbang Bu Bertha.” Adelina mengangguk. Benar. Yang Anggara katakan barusan tampaknya akan segera terbukti setelah mereka memulai berlatih. Tunggu, sekarang pun sudah mulai kelihatan dari waktu yang diberikan untuk istirahat. Bukan hanya galak, tapi juga pelit. Yurtira berdeham, membuat bisik-bisik Anggara dan Adelina terhenti. Mereka berdua menjauhkan tubuh masing-masing, seolah tidak ada sesi bisik-bisik. Yurtira balik badan, menatap mereka berempat. Sebelum memulai bicara, Yurtira menggaruk telinganya. “Kenapa telingaku gatal? Apakah ada yang membicarakanku?” Anggara dan Adelina mematung. Diam tak bergerak barang gerakan kecil. “Arjuna, namamu Arjuna, kan?” Yang disebut namanya mengangguk. “Kamu terlihat paling siap di antara semuanya. Lalu kamu, siapa? Kinara?” Kinara mengangguk. “Kamu perempuan, tapi bagaimana bisa penampilanmu dan temanmu sangat berbeda? Ayolah, kamu harus mulai memperhatikan penampilan. Musuh akan tertawa melihat pemilik kekuatan super dengan penampilan seperti itu.” Kinara menundukkan kepalanya. Bukan karena sakit hati, tapi dia malas menanggapi. Bukan satu dua kali Kinara mendengar orang menyuruhnya untuk mengubah penampilan, tapi semuanya hanya Kinara anggap angin berlalu saja. Kinara bersikap apati soal penampilan. Kuncinya cuman satu. Kenyaman diri. “Baiklah. Satu kilometer lagi kita akan sampai di hutan tropis negeri Voresham. Hebat, bukan? Jangan kalian pikir hanya tempat tinggal kalian saja yang punya hutan tropis, negeri ini juga punya.” Adelina dan Anggara bertukar pandang. Apa ini? Kenapa hanya Arjuna dan Kinara saja yang diberi komentar? Kenapa mereka berdua tidak? “Maaf, Bi, kalau boleh saya tau, kenapa kita harus ke hutan?” Arjuna memberanikan diri untuk bertanya. Dia terpikirkan sesuatu. Kenapa mereka harus masuk ke hutan alih-alih langsung berlatih saja di sebuah tempat. Yurtira diam sejenak, kemudian menjawab. “Pakai aku saja, jangan saya. Terlalu formal.” Arjuna mengangguk. “Kamu tanya kenapa kita gak langsung latihan? Itu karena kalian harus melewati serangkaian pelatihan versiku. Aku bukan guru biasa. Kalian harus tahu itu. Peraturan pertama yang harus kalian tanamkan dalam kepala kalian semua sekarang, jangan pernah bertanya kenapa dan untuk apa. Setiap kali aku menyuruh kalian melakukan sesuatu, lakukanlah tanpa bertanya. Paham?” Arjuna mengangguk. Juga Kinara. Hanya Adelina dan Anggara saja yang tidak menangguk. Adelina tidak mengangguk karena dia merasa kesal dan geram mendengar jawaban Yurtira atas pertanyaan Arjuna. Kalimatnya itu terdengar sangat arogan. Sedang Anggara tidak mengangguk bukan karena kesal atau geram, melainkan merasa ada yang tidak bagus. Dia merasa khawatir tentang kesalamatannya selama menjadi murid Yurtira ke depannya. *** Yurtira berhenti. Kinara dan yang lainnya juga ikut menghentikan langkah mereka. Arjuna baru saja ingin membuka mulutnya, bertanya kenapa guru mereka tiba-tiba berhenti, namun seketika bungkam. Dilarang bertanya. Itu peraturannya. Arjuna mengurungkan niatnya. Yurtira menatap kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah. Gerak-geriknya membuat empat murid di belakangnya semakin penasaran dengan apa yang guru mereka lakukan. Mendadak, Yurtira memasang posisi bertarung. Keempat muridnya mengikuti, memasang posisi bertarung. “Ada apa?” tanya Anggara pada Adelina, berbisik. “Gak tau. Tuh orang makin aneh gue liat. Kita gak boleh bertanya, tapi kita gak dikasih tau. Sinting emang!” Yurtira mengentakkan telapak tangannya ke tanah. Mulai dari ujung tangannya ke depan, tanah retak menjalar dengan kencang. Bam! Mengenai sesuatu. Retakan meledak, berhenti menjalar. “Bersiap. Ada yang menyambut kita.” Yurtira mengentakkan kakinya ke tanah. Gundukan tanah muncul, melindungi mereka berlima. Dari luar gundukan tanah, terdengar hantaman, membuat bongkahan kecil tanah berjatuhan. Adelina mulai ketakutan. Benda apa yang menyerang mereka? “Gunakan telinga kalian. Musuh kita adalah ular tak kasat mata. Dengarkan dengan seksama.” Yurtira mengentakkan kaki, gundukan tanah masuk kembali ke dalam tanah. Arjuna menajamkan pendengarannya sesuai apa yang Yurtira perintahkan. Tiga detik, telinga Arjuna menangkap bunyi derik. Dalam satu gerakan, Arjuna memasang tameng air. Terdengar bunyi mendesis. Tameng air Arjuna mengeluarkan asap. Bisa ular tak kasat mata mengenai tameng air Arjuna dan langsung bereaksi. “Racunnya sangat berbahaya!” Arjuna memperingati. Yurtira melompat setinggi tiga meter di atas permukaan tanah. Tangannya menghantam sesuatu yang tak bisa murid-muridnya lihat, akan tetapi Yurtira tahu apa yang sedang dia pukul. Bertubi-tubi Yurtira melayangkan pukulan berdentum di kepala ular tak kasat mata. Tanah yang Kinara dan teman-temannya pijak tiba-tiba bergetar sejenak. Yurtira mendarat. Ular tak kasat mata telah tumbang. Itulah yang membuat getaran tanah tadi. Perlahan, ular tak kasat mata mulai menampakkan dirinya. Lima belas detik, seluruh bagian tubuh ular tak kasat mata telah bisa dilihat dengan mata telanjang. Panjangnya lima belas meter, berwarna merah terang. Dia tergeletak lemah. Adelina membulatkan matanya. Ular itu sangat mudah sekali melahap mereka berempat. Bulu kuduk Adelina berdiri semua melihat betapa besar ular di hadapannya. “Kenapa kamu gak membunuhnya, Bi? Bunuh sekarang!” Adelina merasa tidak aman melihat ular raksasa itu masih bernapas. “Ular ini adalah penjaga hutan tropis negeri ini. Itu mengapa tidak membunuhnya, karena dia harus selamat.” “Kalau begitu kenapa Bibi menghanjarnya?” “Kamu mau terbakar oleh bisanya? Silakan.” Adelina bungkam. Ular mereka raksasa itu menyerang siapa saja. Tugasnya menjaga hutan ini agar tidak dijamah oleh makhluk lain yang berpotensi merusak hutan. “Kalian pasti tahu bukan apa kegunaan hutan bagi sebuah negeri?” Mereka berempat mengangguk. Andai saja di bumi ada hewan raksasa yang menjaga hutan seperti ular tak kasat mata, pasti hutan di bumi masih asri hingga sekarang. Tidak ada penebangan liar yang merugikan banyak orang. Tujuan Yurtira melumpuhkan ular itu adalah untuk berbicara dengannya secara baik-baik, meminta izin untuk masuk ke dalam hutan. Kalau berbicara langsung, ular itu akan mentah-mentah tidak percaya dengan apa yang Yurtira katakan. Setidaknya setelah melihat bagaimana kekuatan Yurtira, ular itu akan percaya bahwa dia adalah guru dan pelatih bagi empat anak remaja yang ikut bersamanya. Yurtira mendekati ular merah besar. Entah apa yang dilakukannya, Arjuna dan rekan-rekannya tidak ada yang tahu. Tampaknya Yurtira sedang berbicara pada ular yang tengah mengumpulkan tenaga dan kesadarannya.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD