Kembali setelah sekian lama

1115 Words
Setelah keluar dari rumah Galih tanpa membawa barang selain pakain yang di pakai dan ponsel miliknya, Nadia segera menghubungi Papanya yang selama ini hidup dengan keluarga barunya. Sebenarnya sejak dulu Nadia sudah diminta untuk tinggal dengan Papanya, namun dia menolak karena merasa seperti orang asing di tengah-tengah keluarga baru Papanya. Tapi kali ini dia tidak ada pilihan lain. Dengan tangan gemetar, Nadia menekan kontak Papanya. Beberapa saat hanya kesunyian yang semakin menambah duka lara di hati Nadia. Panggilan itu tidak kunjung di jawab, “Pah, maafkan aku. Seandainya saja dulu aku tidak keras kepala dan mau kembali, mungkin aku tidak akan mengambil keputusan bodoh dengan menikahi pria yang tidak bisa melupakan masa lalunya,” gumam Nadia. Air mata itu kembali menetes, dan tidak lama panggilan itu terjawab. “Nadia… Nak,” terdengar suara pria paruh baya di balik panggilan masuk “Pah… maafkan Nadia jika mengganggu waktu Papa dengan menghubungi malam-malam begini. Tapi, bisakah Papa menjemput Nadia di daerah perumahan A blok C?” Nadia berbicara dengan isak tangis yang tak bisa ditahannya, dan hal itu rupanya mengundang kepanikan dari Tuan Baskoro yang khawatir padanya. “Nak… kamu tidak apa-apa kan? Mengapa kamu terdengar sedang menangis? Apakah Galih memperlakukanmu dengan buruk?” “Aku tidak kenapa-napa. Mengenai Mas Galih, kami memang sedang ada masalah, hanya saja ada masalah yang tidak bisa aku bicarakan disini. Aku harap Papa mengerti,” “Baik. Baiklah, Nak. Kamu tunggu disana. Jangan kemana-mana. Kakak pertamamu, Haris akan segera kesana. Mungkin sekitar 15 menit.” “Terima kasih Papa. Maaf karena Nadia selalu mengabaikan Papa, tapi disaat seperti ini aku justru mencari keberadaan Papa.” “Apa yang kamu katakan, Nak. Mau kamu mengabaikan Papa sekalipun, Papa tetap akan selalu ada untukmu. Kamu putri Papa satu-satunya.” “Aku tau Papa tidak pernah mengabaikanku. Aku tutup panggilannya, Pah. Soalnya aku sedang ada di luar.” Panggilan pun terputus, dan Nadia kembali menggenggam ponselnya dengan bersedekap d**a dikarenakan malam itu entah mengapa angin terasa kencang dan suhu udara terasa dingin. Air mata yang sejak tadi tumpah bahkan sudah mengering karena terus menerus tertiup angin. Tidak ada 15 menit, sebuah mobil SUV melesat dari arah selatan dan berhenti di depan Nadia yang berdiri termenung menatap jalanan yang kosong. Pintu mobil terbuka dan keluar seorang pria muda memakai kaos dengan jaket hitam dan celana joger menghampiri Nadia. Tanpa memberi aba-aba, Haris putra pertama Baskoro dari istrinya yang lain langsung memeluk Nadia hingga wanita itu tersentak kaget. Dia sepertinya paham apa yang sedang terjadi, dan langsung memberikan pelukan hangat. “Adikku… mengapa keadaanmu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Haris tanpa melepas pelukannya. Dia mengelus-elus pucuk kepala Nadia untuk menenangkan adiknya yang mulai terisak. Nadia kembali tersadar, dia diam beberapa saat, namun kemudian membalas pelukan itu dengan ragu-ragu. Rasanya canggung karena tiba-tiba saja pria asing memeluknya meski status mereka adik-kakak tiri. “Aku… kak… hiks…” Nadia ingin menjawab pertanyaan Haris, hanya saja justru isak tangis yang keluar dari mulutnya. Terlalu menyakitkan jika mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. “Jika itu sulit untuk dikatakan, kakak tidak akan menanyakannya lagi. Lebih baik kita pulang karena sejak kamu menghubungi beberapa waktu lalu, Papa terus saja merasa khawatir, takut kamu kenapa-napa.” Nadia melepas pelukannya, dia tersenyum tipis sambil mengusap kedua sudut matanya yang basah. “Jika aku kembali, apakah Papa dan Mama mau memaafkan ku?” “Papa dan Mama tidak pernah menyalahkan apalagi melupakanmu. Terutama Mama, dia selalu merasa bersalah sejak kamu memutuskan untuk memilih tinggal bersama Nenek di kampung. Mama berkali-kali meminta Papa untuk membujukmu kembali, tapi kamu sepertinya lebih nyaman tinggal di desa, jadi Papa hanya bisa mengawasimu dari jauh.” “Kak… maafkan aku,” Lagi-lagi Nadia meminta maaf. Dia saat ini benar-benar merasa tidak berguna dan menjadi beban bagi keluarganya. “Sudahlah, Dik. Jangan salahkan dirimu sendiri. Kita pergi sekarang, ok? Mama pasti senang melihatmu setelah sekian lama.” Haris melepas jaket kulit dan menyampirkannya di punggung Nadia yang terlihat kedinginan karena hanya memakai dress pendek di saat cuaca terasa dingin. Dia merangkul Nadia yang tubuhnya tampak lemah, dan menuntunnya masuk ke dalam mobil. Saat keduanya pergi dari kawasan tersebut, tanpa disadari dari arah depan gerbang rumah, Galih terus mengawasi dengan sorot mata tajam. Dia tampak tak suka melihat Nadia pergi dengan pria asing. Hatinya memanas dengan tangan kanan mengepal erat menahan amarah yang tak bisa tersalurkan. “Awas saja jika kamu berani bermain dibelakang ku. Akan aku pastikan kamu menyesal, Nadia!” gumam Galih. Belum juga amarah Galih reda, dari belakang Bianca datang dan memeluk Galih dari belakang sambil berbisik, “Kamu kenapa masih disini, Mas? Apakah kamu tidak rela jika Nadia pergi?” Tanya Bianca dengan suara memelas. Dia menggelayut manja, namun dengan mudahnya Galih melepas pelukan itu dengan sedikit kasar. “Maaf Bianca, untuk saat ini aku sedang tidak mood untuk meladeni sifat manjamu. Aku lelah, seharian ini banyak sekali masalah, dan aku butuh istirahat.” “Tapi Mas… lalu, aku bagaimana?” Bianca merajuk. Galih berbalik dan mengabaikan rajukan Bianca. Dia masuk ke dalam rumah dengan perasaan kacau. “Terserah kau mau bagaimana. Jika ingin tinggal disini, maka tinggallah. Aku tidak akan melarangmu.” Selepas kepergian Galih, Bianca masuk ke dalam rumah dengan berdecak sambil mendengus sebal melihat sikap Galih yang tiba-tiba berubah sejak kepergian Nadia. “Dasar jalang b******k! Sudah pergi saja masih membayang-bayangi Mas Galih. Awas saja jika sampai kembali, aku pasti akan membuat Mas Galih benar-benar melupakanmu!” Di sisi lain, Nadia yang selama 15 tahun meninggalkan rumah Ayahnya pun kembali. Mobil SUV hitam yang membawanya telah memasuki pelataran rumah megah dengan taman dan carport luas. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama kediaman Baskoro dengan keadaan pintu terbuka lebar. Disana tampak seorang wanita paruh baya sedang berdiri dengan cemas. Namun, begitu melihat Nadia keluar dari mobil, dia langsung menyunggingkan senyum kelegaan. “Nadia, putriku… Mama sangat merindukanmu…” ujarnya. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya yang sudah sedikit keriput tidak melunturkan kecantikan dari raut wajahnya yang teduh. Dia menghampiri Nadia dan memberikan pelukan hangat. Nadia terharu. Wanita yang selama ini dia anggap merebut Papanya ternyata sangat menyayanginya. Kebencian yang sudah mendarah daging selama puluhan tahun itu seakan sirna dan lenyap. Nadia tau bahwa sikap Mama tirinya barusan bukanlah sebuah kebohongan, kasih sayang itu nyata dari pelukan yang dirasakannya. “Maaf jika aku baru kembali dan menemui Mama. Aku harap Mama mau memaafkanku.” “Mama tidak pernah marah atau membencimu, sayang. Mama justru yang merasa bersalah karena kehadiran Mama, kamu memilih pergi. Mama sungguh sangat menyesal.” “Tidak ada yang perlu disesali, Ma. Sejak dulu Ibu tidak pernah menyalahkan Papa atau Mama karena Ibu sadar kalau itu salahnya. Maka dari itu, Ibu memilih mundur. Mama berhak bahagia bersama Papa.”

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD