Kenyataannya, suamiku memilih wanita lain

1161 Words
Nadia memegang pipi kanannya yang terasa panas, tampak sedikit memar di sudut bibirnya yang menunjukkan betapa kerasnya Yunita menamparnya. Dia lantas melihat ke arah Galih, dan kekecewaaan itu semakin terasa saat melihat reaksi Galih yang seolah mengabaikannya. Nadia menatap nanar, air matanya kembali jatuh, “Mas, kamu lihat sendiri bagaimana Ibumu selama ini bersikap padaku, tapi apa kamu pernah sedikit saja memikirkan bagaimana perasaanku dan mencoba membelaku? Inikah cinta yang kamu agung-agungkan dulu?” Tanya Nadia menuntut, dan Galih hanya diam membisu sembari semakin mengeratkan tangannya di pinggang Bianca. Dituduh demikian, Yunita beranjak dari tempatnya dan menunjuk-nunjuk wajah Nadia dengan tatapan nyalang. “Heh menantu s****n! Berani-beraninya kamu menjelek-jelekkanku di depan putraku sendiri! Apa kamu pikir Galih akan membelamu dengan sikapmu yang begitu, huh! Asal kau tau saja, sejak awal aku sudah tidak menyukaimu bersama Galih. Kau hanya beruntung saja Galih mau bersama wanita kampung yang bahkan tidak bisa melahirkan seorang penerus setelah dia kehilangan kontak dengan kekasihnya. Kini Bianca sudah kembali, dan kamu lihat sendiri ‘kan kalau Galih lebih memilih dia daripada kamu!” Galih yang mendengar perkataan ibunya yang terdengar seperti memperkeruh suasana pun beranjak. Dia tidak ingin semakin menyakiti Nadia yang sudah berlinang air mata. Bagaimanapun juga, itu salahnya. “Cukup, Bu! Ibu tidak perlu menambah runyam keadaan. Tidak peduli apa alasannya, bukankah Nadia sudah menandatangi surat cerai itu. Seharusnya ibu sudah puas ‘kan?” “Mengapa kamu jadi membelanya? Kamu itu putra ibu, seharusnya kamu membela ibu, bukan membelanya!” Galih tersulut emosi, dia melepaskan tangannya dari pinggang Bianca dan menghela napas, “Selama ini aku sudah diam dengan semua sikap Ibu pada Nadia karena aku menghormati Ibu dan berpikir ibu akan berubah suatu hari nanti. Tapi bukan begini juga, Bu. Bagaimanapun disini aku yang salah, aku akui itu. Jadi berhentilah, Bu!” “Astaga, Galih. Kamu pikir ibu tidak lelah hidup seperti ini? Selama ini, bukankah ibu sudah melarangmu bersama wanita pembawa s**l ini! Sudahlah hanya numpang hidup, dan lagi dia tidak hamil juga walau sudah 2 tahun lamanya. Apa kamu tau, ibu sudah tua dan kamu satu-satunya putra ibu. Wajar jika ibu selalu menuntut cucu darimu.” Nadia mengeryitkan keningnya mendengar perkataan Yunita, “Apa maksud dari Ibu, Mas? Apa kamu tidak memberitahu ibu kalau aku sudah berkali-kali memintamu untuk datang konsultasi ke dokter kandungan? Namun Mas Galih sendiri---” “Apa maksudmu dengan mengatakan itu, huh! Kamu menuduh putraku yang mandul? Jelas-jelas kamu yang tidak bisa melahirkan keturunan untuk Galih. Wajar saja jika ibu memilihkan calon lain untuknya.” Nadia lelah. Dia tau hal ini tidak akan berakhir dengan baik jika terus berdebat dengan Yunita, terlebih di depan wanita yang mengaku sebagai kekasih Galih. Nadia menghela napas, dia pasrah. “Mas Galih tidak perlu membela atau mengatakan apapun pada Ibu. Diamnya Mas Galih selama ini pada Ibu mengenai masalah kita sudah cukup membuktikan bahwa Mas Galih benar-benar tidak ingin meneruskan hubungan ini.” “Nadia…” Galih hendak meraih tangan Nadia, namun di tepis begitu saja. “Jangan menyentuhku, Mas. Kini kamu sudah bukan lagi suamiku sejak kamu menjatuhkan talak padaku. Sekarang aku mengerti, meski aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk keluarga ini, pada kenyataannya Mas Galih sendiri tidak mendukungku. Sudah cukup aku bertahan, dan terima kasih atas kata-kata manismu selama ini. Surat cerai ini akan aku bawa ke pengadilan, dan kupastikan kita bercerai agar kamu bisa bersama kekasih tercintamu, Mas Galih.” Kata-kata Nadia terdengar menyayat hati, tapi Galih tidak bisa mengatakan apapun. Meski dia bisa bertahan dengan Nadia dan mengabaikan Bianca yang tiba-tiba datang kembali ke kehidupannya. Namun pada kenyataannya dia tidak bisa mengabaikan ibunya. “Maafkan aku, Nad. Aku tau selama ini aku tidak bisa membahagiakanmu. Tapi untuk kata-kata cinta itu, aku sungguh tulus. Aku benar-benar mencintaimu waktu itu dan niatku untuk hidup bersamamu tidaklah bohong.” Ujar Galih, dia membalas perkataan Nadia seolah tidak ingin disalahkan. Memang dasar pria kurang ajar yang mengobral cinta, meski Galih tampak serius mengatakan kata maaf, tapi dia masih saja nyaman berdiri di sisi Bianca dengan sesekali menerima sentuhan dan kecupan dari wanita itu. Nadia mendengus, “Hnng, simpan saja bualanmu untuk kekasihmu, Mas. Aku sudah tidak peduli. Karena aku sudah bukan lagi bagian dari keluarga ini, aku lebih baik pergi. Terima kasih untuk semuanya, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Mas Galih. Selamat tinggal.” Nadia berbalik. Tanpa membawa apapun dia meninggalkan ruang tamu dan keluar dari rumah tersebut. Galih berkali-kali memanggil berharap Nadia tinggal untuk sementara disini. Dia tau Nadia tidak ada tempat tinggal selain di rumah neneknya yang jauh. Namun Nadia menghiraukannya, bahkan tidak ada satupun barang yang dibawanya. “Sudahlah, Galih. Buat apa kamu masih menahan mantan istrimu yang tak becus itu. Sudah bagus selama ini kamu menampungnya disini, dia harus sadar diri dan keluar rumah dengan sendirinya. Lagian kamu ada Bianca, memangnya kamu mau melihat Bianca sedih karena harus melihat wanita itu masih disini?” Yunita menghampiri Bianca dengan senyuman dan merangkul wanita yang diidam-idamkan menjadi calon menantunya. Galih mengeryitkan kening dengan maksud ibunya. “Maksudnya gimana, mah? Memangnya Bianca akan tinggal disini?” “Tentu saja Bianca akan tinggal disini untuk menemani mamah. Kamu tau sendiri, selama ini mamah selalu menahan diri hingga darah tinggi mama kumat. Sekarang sudah ada Bianca, tentu saja Mamah akan senang jika Bianca tinggal untuk menemani mama.” “Tante, memangnya nggak masalah kalau aku disini? Kan Mas Galih masih berstatus suami Nadia secara Negara. Aku nggak enak, Tan.” Ujar Bianca sambil menyunggingkan senyum dan bergelendot di lengan Yunita. “Duh… kamu memang menantu idaman mamah. Karena kamu akan menikah dengan Galih, mengapa masih memanggil tante, panggil Mamah dong kayak Galih.” “Eh… iya Mah. Jangan ngomong gitu dulu, Mah. Aku malu sama Mas Galih,” Bianca melirik ke arah Galih yang justru sedang memandang lurus ke arah pintu yang masih terbuka. “Galih, ngapain kamu masih memandangi pintu? Calon istrimu ada di sampingmu loh. Bukannya menghiburnya malah melamun.” Yunita nampak tidak senang putranya masih memikirkan Nadia. “Kamu bukan sedang memikirkan Nadia ‘kan?” “Nggak, Mah. Hanya pintu belum di tutup. Aku mau menutup pintu dulu,” ujar Galih beralasan. Dia segera menuju ke arah pintu untuk mencari keberadaan Nadia. Tidak dipungkiri, dia cukup khawatir mengingat waktu sudah malam. Namun saat mencari Nadia di depan pintu gerbang, dia justru melihat hal janggal. Sebuah mobil SUV hitam terparkir tidak jauh dari depan pagar rumahnya. Terlihat seorang pria seumuran dengannya keluar menyambut Nadia dengan sebuah pelukan. Galih yang baru saja mencampakkannya tentu tidak terima melihat hal itu, tapi dia tidak bisa menghampiri mereka berdua begitu saja mengingat Nadia baru saja di campakkan olehnya. “b******k! Siapa pria itu? Apakah Nadia diam-diam memiliki kekasih selama menjalin pernikahan denganku?” Kedua mata Galih menatap tajam seolah ada bara api yang menyala. Kedua tangannya mengepal erat menahan emosi yang menyulut hatinya. Nadia tampak bahagia dan dengan suka rela masuk ke dalam mobil SUV tersebut. “Awas saja jika kamu berani bermain dibelakang ku. Akan aku pastikan kamu menyesal, Nadia!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD