12 - Perjodohan

2400 Words
“Bagaimana pekerjaanmu, Sayang?” Hanah, ibu dari Nika datang dari dapur dengan membawa nampan berisi gelas-gelas teh hangat. Sesampainya di rumah tadi, ia agak terkejut dengan kepulangan sang anak yang bisa dikatakan mendadak ini. Kenapa mendadak? Karena Nika tidak memberitahukan sebelumnya, seharusnya ia pulang besok siang dan sampai di rumah sekitar malam hari. Namun, Hanah amat senang karena anaknya pulang dengan keadaan baik-baik saja. “Semuanya berjalan dengan baik, Bu.” Balasnya, ia mengukir senyuman manis dibibir. Redo yang juga berada di ruang keluarga pun turut menatap sang kakak, ia menghentikan game online nya dan fokus pada Nika. “Baik? Bukankah kau tadi bilang kalau—“ Redo ingin menyangkal ucapan kakaknya, tapi perkataannya sudah dipotong oleh Nika dengan cepat. “Ya, memang baik. Kau lihat sendiri kan foto-foto yang ku ambil, semua lengkap.” Nika buru-buru menyambung perkataan adiknya yang sempat terputus. Hal ini membuat Hanah kebingungan antara mendengar kata Nika atau Redo. Redo mendelik kesal, ada apa dengan kakaknya ini? Tadi Nika sangat sensitif ketika ia bertanya perihal Jack Roshel, giliran sang ibu bertanya justru kakaknya mengatakan semuanya baik-baik saja. “Memangnya ada apa?” tanya Hanah pada akhirnya. Nika meringis kecil, ia tidak ingin membuat ibunya cemas dengan kejadian tak mengenakkan yang telah ia alami. “Hanya kesalahan sedikit, kamera ku sempat terjatuh.” Ucap Nika dengan jujur, tapi ia tetap menutupi kejadian Jack Roshel yang menubruk dirinya tanpa meminta maaf ataupun membantu. Mata paruh baya itu membulat seketika. “Jatuh? Lalu bagaimana, bukankah itu kamera kesayanganmu?” Benar kan, Hanah akan langsung bertanya dengan nada khawatir. “Tidak apa-apa, beruntungnya semua file-file selamat dan kameranya masih bisa berfungsi dengan baik.” Ia tidak berbohong, kameranya memang masih fungsional. Hanah menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu.” Nika mengangguk pelan sambil tersenyum, matanya melirik Redo dan memberikan gelengan kecil setelahnya. Redo mengerti, ia pun diam. “Oh ya, tadi ada teman lama Ibu yang nelpon, katanya sih mau berkunjung ke sini. Nanti kalian jangan kemana-mana ya, ikut temuin juga.” Hanah kembali berujar. “Teman lama?” Hanah mengangguk. “Iya, anaknya teman kakek kalian.” “Ohh begitu.” “Ah ya, Bu. Tadi aku dapat tawaran lagi dari La Viore, mau dijadikan fotografer tetap mereka.” Nika menceritakan penawaran dari Manager Geo, ia belum memberikan jawabannya pada pria itu, sebaliknya ia ingin mendengar pendapat dari keluarganya terlebih dulu. “Waahh bagus, kau jadi bisa mengembangkan kemampuan lebih dalam.” Jawab Hanah dengan gembira. “Baiklah kalau begitu, aku akan mengatakannya pada Manager Geo.” Sepertinya mengambil kontrak dengan La Viore tak buruk juga, setiap taken kontrak ada masa sekitar satu tahun. Saat mereka sedang berbincang-bincang, pintu rumah terbuka dan muncul lah Heri. Ditangan kanannya membawa kotak yang berisi perkakas, ia adalah teknisi listrik sebuah rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, penampilannya juga sudah acak-acakan, matanya tampak sayu. Sepertinya sosok kepala keluarga itu sangat lelah hari ini, Hanah buru-buru bangkit berdiri dan mendekati suaminya. “Kau tampak kacau, apa pekerjaanmu sangat melelahkan?” Hanah bertanya sambil mengambil alih kotak perkakas, meletakkannya di meja sudut ruangan. “Sangat melelahkan, saluran listrik sempat terputus dan semua teknisi harus bekerja dengan ekstra.” Balasnya, Heri berjalan ke sofa dan langsung merebahkan punggung di sana. Namun, kepalanya langsung tertoleh saat menyadari jika anak sulungnya juga berada di sana. “Loh, sudah pulang?” Nika menyunggingkan senyuman. “Ya, Ayah. Pekerjaan sudah selesai dan aku pulang.” “Kerjaan lancar?” “Syukurlah lancar.” Hanah berjalan ke dapur, mengambil satu gelas teh hangat untuk suaminya. Redo kembali bermain game online kesayangannya, ia bermain balap motor di ponselnya itu. “Minum dulu gih.” Hanah sudah berada di sana, ia menyuguhkan minuman untuk suaminya. “Makasih banyak, istriku tercinta.” Heri sempat-sempatnya menggombal. Pipi Hanah bersemu merah, ia tersenyum malu-malu. “Kita sudah tua, jangan kayak anak muda lagi.” Jawab Hanah, tapi ia tak memungkiri jika senang dengan gombalan suaminya. Tawa Heri pecah seketika, ia sangat menyayangi istri dan keluarga kecilnya ini. Nika juga tak luput tersenyum, ia senang dengan keluarganya ini yang selalu menjaga keharmonisan dan kekeluargaan yang kental. Meskipun mereka bukan termasuk golongan orang kaya dengan uang bertumpuk-tumpuk, tapi Nika bersyukur memiliki orangtua lengkap nan harmonis. Heri menyerutup teh hangatnya, tenggorokannya langsung segar seketika. Hingga terdengar ketukan pintu dari luar, hal ini membuat mereka mengalihkan atensi. Jam menunjukkan pukul setengah empat sore, jarang sekali ada orang yang bertamu sore-sore begini. “Apa teman Ibu?” tanya Nika. Hanah langsung teringat. “Kau benar, aku akan membuka pintu dulu.” Hanah berjalan menuju ke pintu, ia membukanya dengan perlahan. Di depan sana ada sepasang suami istri yang sedang menunggu pintu terbuka, ketika mendengar suara derit pintu, refleks mereka berbalik badan. “Hanah?!” Seorang wanita seumuran Hanah langsung bersorak senang. Hanah mengamati situasi sejenak, lalu otaknya berkerja dengan cepat. “Eh, Silvia?” Hanah menebak. Wanita bernama Silvia itu mengangguk pelan. Kemudian keduanya saling berpelukan singkat. “Apa kabar?” “Aku baik, bagaimana denganmu?” “Aku juga baik. Oh ya, silahkan masuk.” Hanah mempersilahkan pasangan suami istri itu untuk masuk ke dalam rumah. Silvia dan Lewis segera memasuki rumah sederhana itu, keduanya duduk di sofa panjang. “Sudah lama ya kita tidak bertemu.” “Ya, terakhir kali kita bertemu saat kau melawat Papa.” Balas Silvia. Hanah mengangguk kecil. “Benar, ternyata sudah lama sekali orangtua kita meninggalkan dunia.” Dulunya ayah mereka masing-masing saling bersahabat amat lekat. Lumono—ayah dari Silvia bersahabat dengan Suwitra, kakek dari Nika. Hanah dan Silvia juga saling mengenal berkat ayah mereka masing-masing. “Sebentar, aku akan membuatkan minum.” “Tidak perlu, kami ke sini hanya untuk memberikan wasiat dari Papa.” Silvia menghentikan kegiatan Hanah yang ingin beranjak dari duduknya. Hanah mengerutkan keningnya bingung. “Ada apa?” Silvia menatap Lewis, suaminya itu mengangguk kecil membiarkan istrinya mengatakan wasiat dari sang ayah. Silvia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, Hanah bersiap mendengar perkataan Silvia dengan baik. “Ini memang sudah lama sekali, aku juga baru menemukan surat wasiat Papa di lemari tua ketika bersih-bersih minggu lalu.” Silvia mengeluarkan selembar kertas kumal dari tasnya. Kertas itu terlihat utuh, tapi warnanya pudar dan kumal. Hanah penasaran dengan isi surat wasiat Lumono, memangnya apa hubungan dengannya? “Kau bisa melihatnya.” Silvia menyerahkan surat itu agar dibaca oleh Hanah. Hanah menerimanya, pelan-pelan ia membacanya dengan penuh perhatian. Setiap kata yang dituliskan terlihat sangat penuh keyakinan, harapan dan juga doa. Tak lupa ada dua cap jari di bawahnya, dari segi Bahasa dan kepenulisannya ini memang sudah ditulis bertahun-tahun lalu. Setiap membaca kalimat di sana, mata Hanah selalu membulat terkejut. Setelahnya ia menutup mulutnya tidak percaya, menatap Silvia yang juga berekspresi sama seperti dirinya. “Jadi, surat ini ditulis oleh Om Lumono dan juga disetujui Bapak?” “Ya, dua cap jari itu adalah milik Papa dan juga Ayahmu. Mereka berdua sepakat untuk menjodohkan cucu-cucu mereka, aku juga baru mengetahuinya sekitar satu minggu lalu. Sama sepertimu, awalnya aku terkejut.” Silvia menimpali. Benar, surat wasiat itu berisi tentang perjodohan cucu Lumono dan cucu Suwitra. Mereka berdua sepakat dan berjanji untuk mempererat tali kekeluargaan melalui perjodohan cucu. Lumono dan Suwitra sama-sama sudah meninggal, mereka berdua terkenal akan persahabatannya yang menyentuh hati. Saat muda keduanya ingin menjodohkan sang anak, tapi anak mereka berdua sama-sama perempuan, maka dari itu niatan tersebut belum bisa terwujudkan. Akan tetapi, saat anak-anak mereka melahirkan keturunan. Lumono dan Suwitra sangat gembira, anak dari Silvia berjenis kelamin laki-laki, sedangkan anak pertama Hanah perempuan. Sangat tepat! Akhirnya impian keduanya untuk saling menjodohkan bisa terwujud. Sayangnya, kedua sahabat itu belum bisa mempertemukan cucu-cucu mereka secara langsung. Cucu Lumono sibuk mengejar prestasi, Lumono hanya bisa menceritakan Nika kecil pada cucunya. Lumono juga telah berpesan pada cucu laki-lakinya agar kelak bisa menikah dengan jodoh pilihannya. Hanah tidak tahu harus bicara apa, ia tahu betul karakter putrinya yang belum ingin berumah tangga. Terlebih lagi Nika masih berkuliah dan baru saja mendapat tawaran menjadi fotografer di suatu perusahaan. Nika mana mau melepaskan impiannya hanya untuk menikah. Melihat wajah putus asa Hanah membuat Silvia ketar-ketir. “Hanah?” Hanah tersentak, ia kembali sadar dari lamunannya. “Aku tahu ini pasti mengejutkanmu, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah rencana ayah-ayah kita, mereka berharap agar cucu-cucunya saling berjodoh dan membuat ikatan kekeluargaan semakin erat.” Lumono dan Suwitra sudah selayaknya keluarga, seperti kakak-beradik meski tidak sedarah. “Apa putrimu sedang ada di rumah? Jika ya, bolehkah aku bertemu dengannya?” tanya Silvia. Hanah bingung menjawab apa, ia tidak mungkin menolak permintaan Silvia. Ia mengangguk pelan, membuat Silvia merekahkan senyuman. “Aku akan memanggilnya. Tapi, aku tidak yakin jika Nika mau menerima perjodohan ini.” Lanjut Hanah. Senyuman di bibir Silvia perlahan meluntur, ia sangat berharap agar anak dari Hanah mau menerima perjodohan. Hanah bangkit berdiri, tatapannya terlihat kebingungan dan stress. Nika dan Heri saling melempar pandangan saat melihat raut wajah Hanah yang tertekan. “Bu, ada apa?” tanya Nika agak cemas. Nika berdiri menghampiri ibunya. “Siapa yang datang bertamu?” Hanah memaksakan senyumnya. “Teman Ibu ingin bertemu denganmu, kau mau?” Nika menaikkan sebelah alisnya bingung. “Aku? Untuk apa?” “Berkenalan.” “Baiklah, aku akan menemui mereka.” Jawab Nika dengan senyuman mengembang. Tidak ada salahnya bertemu dengan teman dari ibunya ‘kan? Nika keluar terlebih dulu untuk menemui tamu-tamunya. Sedangkan Heri gentian mendekat pada istrinya dan bertanya-tanya. “Ada apa denganmu?” Hanah memegang pergelangan tangan suaminya. “Perjodohan.” “Hah? Perjodohan siapa?” “Nika dan putranya Silvia.” Balas Hanah dengan lesuh. Heri juga sama terkejutnya. Kenapa tiba-tiba seperti ini? “Kita keluar, Silvia juga pasti akan menjelaskannya pada Nika. Kau tahu sendirikan jika putrimu itu sama sekali belum memikirkan pernikahan, aku takut jika dia justru memberontak.” Heri membenarkan ucapan istrinya. “Baiklah, ayo kita ke sana.” Di ruang tamu, Nika menyambut tamu ibunya dengan senang hati. Silvia memperhatikan Nika dengan baik. Gadis itu memiliki tubuh proporsional, wajahnya cukup manis, senyumannya juga menenangkan. Setidaknya Nika cukup pantas jika disandingkan dengan sang putra, pikirnya. “Selamat sore, Om dan Tante.” Nika memberi salam pada sepasang suami istri itu. “Selamat sore juga, Cantik.” Balas Silvia dengan ramah. Heri dan Hanah sudah berada di ruang tamu, mereka duduk di samping sang putri. “Nak, berapa usiamu?” tanya Silvia, pertama-tama ia harus mengambil hati gadis itu terlebih dulu agar mau menerima perjodohan. Dengan riang Nika menjawab, “Saya berusia duapuluh satu tahun, Tante.” “Ohh, usia yang sudah bisa untuk menikah.” Balas Silvia blak-blakan. Lewis—sang suami, langsung menyenggol bahu istrinya. Silvia terlihat paling ambisius untuk menjodohkan putra putri mereka. Nika tersenyum kaku, merasa aneh dengan perkataan Silvia. Heri dan Hanah juga saling melirik. Silvia bergerak ke depan, mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Nika. “Jadi begini, Nak. Perkenalkan aku adalah Silvia Roshel dan ini suamiku Lewis. Kedatangan kami ke sini untuk meminangmu menjadi menantu, perjodohan kalian juga telah ditulis di surat wasiat ini.” Silvia menunjuk surat wasiat tersebut. Tubuh Nika langsung mematung di tempat, bibirnya kelu untuk mengatakan sepatah kata pun. Meminang? Perjodohan? Menantu? What the hell, apa-apaan ini. Orang tua berempat itu langsung menatap Nika dengan pandangan serius. Hanah dan Heri sudah pasti tahu isi pikiran sang putri, jelas Nika akan menolak. Namun, Silvia dan Lewis berharap agar gadis itu mau menerima pinangan ini. Nika seolah kehilangan suara dan tenaga, ia amat syok mendengar kabar buruk ini. “Tapi maaf, saya sama sekali belum berniat untuk menikah.” Nika menyangkal dengan halus, susah payah ia mengeluarkan suara dari tenggorokannya. “Kami sangat mengerti. Tapi, ini adalah wasiat dari kakekmu, kau bisa membacanya di kertas ini.” Nika membaca keseluruhan isi dari surat tersebut, ia membacanya dengan amat jeli. Bahunya langsung melemas seketika, surat tersebut memang benar menunjukkan kalau ia dan cucu dari Lumono saling dijodohkan. Tangannya gemetar, ini terlalu cepat dan membuatnya panas dingin. Dengan siapa ia dijodohkan? Apa pria itu baik dan penyayang? Lalu, bagaimana jika pria itu cuek dan bermain fisik. Nika menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak tertarik dengan perjodohan ini. Ia masih ingin menjadi gadis yang bebas, menggapai mimpi dan mengejar keinginannya. Nika meletakkan surat itu di meja sambil bergidik ngeri. “Maaf, saya menolak.” Jawab Nika. Hal ini membuat Silvia kecewa, tapi ia tak patah semangat. “Kami mohon dengan sangat.” “Sebelumnya saya mohon maaf karena ikut campur. Sebagai ayah dari Nika, saya merasa ini terburu-buru, anak kami juga masih ingin berkuliah dan menggapai cita-citanya.” Heri mengambil inisiatif untuk buka suara, ia menolak perjodohan ini secara halus. Baginya, perasaan sang putri adalah yang utama. Silvia memberi kode pada Lewis agar suaminya mau membantu dirinya. “Begitu juga dengan anak kami, ia juga keberatan. Namun, wasiat tetap lah wasiat, Papa Lumono dan Om Suwitra pasti mengharapkan agar keinginannya mampu terkabulkan.” Lewis berujar, sebagai anak menantu ia sejujurnya tidak begitu tahu bagaimana awal mula persahabatan Lumono dan Suwitra. Heri dan Hanah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Begitu juga dengan Nika, ia yang paling terkena mental saat ini. "Nak, kau masih bisa berkuliah dan menggapai cita-citamu. Anak kami tidak akan melarangmu meraih impian, kalian bisa menikah sambil menggapai keingin masing-masing." Seperti terdengar egois, tapi Silvia amat mengharapkan jika putranya dan Nika saling menikah. Nika sangsi akan hal itu, ia sudah melihat pengalaman teman-temannya yang sudah menikah. Kalimat meraih cita-cita sambil menikah bukan lah hal yang tepat, mana bisa seorang istri diberikan kelonggaran seperti itu? Kebanyakan para suami pasti akan mengekang istrinya. "Sekali lagi saya minta maaf, tidak bisa melakukannya." Silvia menatap Nika dengan nanar, air mata sudah menggenang dipelupuk mata. Hal ini membuat Nika jadi sungkan. "Nak, Tante mohon padamu, setidaknya kalian berdua saling bertemu terlebih dulu. Kami akan membuat acara pertemuan antara kau dengan putra kami, tolong." Silvia tidak menyerah untuk membujuk. Melihat kesedihan Silvia membuat Nika tidak tega, bagaimana pun juga Silvia adalah orang tua dan ia harus menjukkan rasa sopannya. Mau tak mau, suka tak suka akhirnya Nika mengangguk sanggup. "Baik, saya akan bertemu dengannya." Tukasnya final. Hal ini membuat Heri dan Hanah agak terkejut, kenapa Nika mau melakukan hal yang tidak ingin dilakukannya? "Terimakasih banyak, Nak." Silvia tersenyum lega, setidaknya ia bisa menyuruh sang putra untuk melakukan pendekatan terlebih dulu dengan gadis ini. Nika tidak bisa mengelak lagi, ini yang paling final. Sambil menunggu hari pertemuan tiba, ia akan mencari ide lain untuk menolak perjodohan ini, setidaknya biarlah ia dan putra Silvia saling bertemu lebih dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD