Seorang pria bertubuh tinggi tegap memasuki rumah dengan wajah tertekuk masam, ia sebal karena sejak kemarin terus menerus mendapat telepon dari ibunya yang menyuruh segera pulang.
Saat mendengar pintu rumah terbuka, wanita paruh baya segera keluar dan menyambut putranya dengan bahagia.
“Jack, akhirnya kau pulang juga.” Silvia datang tergopoh-gopoh sambil memeluk putra semata wayangnya.
Ya, itu adalah Jack Roshel.
Tak lupa ia mencium pipi kanan kiri sang ibu sebagai tanda rindu.
“Kalau Mama tidak menerorku bolak-balik, aku juga belum mau pulang.” Jawabnya dengan nada sebal di akhir kalimat.
Silvia tersenyum lebar, ia menepuk-nepuk pundak anaknya dengan sayang.
“Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu Jack.”
“Ada apa?” tanya Jack.
Akan tetapi Silvia menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri.
“Nanti saja ceritanya, kau istirahat lah terbelih dulu, pasti lelah karena kemarin habis balap kan. Oh ya, hanya sendiri?” tanya Silvia, biasanya ia selalu melihat asisten pribadi Jack yang terus mengekori.
“Zen ada di depan.” Balasnya.
“Ohh, begitu. Istirahat dulu nanti kita bicara lagi.” Silvia tidak setega itu untuk memaksa anaknya mendengarkan perjodohan yang telah dirancang.
Biar lah Jack beristirahat terlebih dulu lalu setelahnya mereka bisa saling bicara.
Jack mengangguk singkat, ia pun pergi menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Rumah ini sangat mewah, arsitekturnya juga tampak mahal, belum lagi hiasan-hiasan rumah yang menambah kesan menawan.
Ini semua juga berkat Jack, dengan gajinya selama membalap semusim bisa untuk membangun hunian megah beserta isinya.
Jika bukan karena suatu kepentingan, Silvia juga sebenarnya enggan menjodohkan anaknya dengan Nika.
Di dalam kamar Jack merebahkan punggungnya yang terasa kebas, ia menghela napas kasar sembari menatap langit-langit kamar.
Hatinya masih terasa kosong, ada yang hilang dari separuh hidupnya. Jack beberapa hari ini juga tidak bisa tidur, ia merasa kalau akan ada hal besar terjadi.
Sementara itu karirnya mulai terkena konflik akibat permasalahannya dengan Martin kemarin, pihak crew nya sudah menaikkan kasus ini ke level hukum MotoRace, tapi belum ada balasan.
Kamar berukuran luas itu terlihat kosong di beberapa bagian, ini karena Jack tidak suka menyimpan terlalu banyak benda-benda di kamarnya. Di sana hanya ada ranjang ukuran kingsize, lemari pakaian dan lemari yang berisi trofi penghargaan.
Sementara dindingnya dipenuhi oleh gambar-gambar dirinya ketika mengenakan wearpack balap. Jack menatap lemari trofi yang terbuat dari kaca, di sana ia bisa melihat bukti prestasinya selama ini.
Meski musim-musim sebelumnya ia belum pernah menjadi juara dunia, tapi di tahun ini ia sedang berusaha mengejar target tersebut.
Jack bangkit berdiri, ia tidak merasa ngantuk, justru ingin mandi air dingin untuk menyegarkan pikirannya.
Jack membuka kaosnya, terlihat perut sixpack miliknya. Jack menyambar handuk dan menuju ke kamar mandi.
Di dalam sana ia menyalakan shower, dirinya berdiri di bawah untuk merasakan percikan air yang membasahi tubuhnya.
“Hahh….” Jack mendesah pelan, ia merasa kesegaran luar biasa.
Entah dorongan darimana, kini Jack memejamkan mata sambil memikirkan gadis yang ia rindukan kehadirannya. Otaknya berkelana membayangkan gadis itu, Jack rasanya ingin mencari sosoknya hingga ke ujung dunia sekali pun.
Saat matanya terbuka, ada sorot gairah di dalamnya. Jack sudah tidak tahan lagi, ia benar-benar menginginkan gadis itu.
Sebagai pelampiasan, ia memukul dinding kamar mandi hingga jari-jari kepalannya membengkak.
“s**t!”
Kenapa Jack berfantasi berlebihan? Tidak-tidak, ia tidak boleh melecehkan gadisnya meski hanya melalui pikiran.
Buru-buru Jack menyelesaikan aktivitas mandinya, ia ingin segera menemuinya Silvia untuk menanyakan kepentingan apa yang ingin dibahas dengannya.
***
Jack sudah terlihat segar dan tampan, rambutnya yang masih basah ia keringkan dengan handuk. Pria itu turun dari anak tangga, di bawah sana sudah ada Silvia yang menonton acara gosip.
“Jack, kau tidak tidur?” tanyanya.
Jack menggeleng kecil. “Aku tidak mengantuk, Ma.”
“Mau makan dulu?”
Ia menggeleng. “Nanti saja, Mama kenapa nyuruh aku buat pulang cepat?”
Mendengar pertanyaan sang putra membuat Silvia tersenyum kecil, ia meraih remote televisi dan mematikan salurannya.
Kini ia dalam mode serius, Jack juga menghentikan kegiatan mengeringkan rambutnya. Nampak sekali jika Silvia ada masalah yang penting.
Silvia meraih kertas yang sama seperti yang ia perlihatkan pada keluarga Adlen kemarin. Ia memberikannya pada Jack agar dibaca secara keseluruhan, Jack pun menerimanya dengan bingung.
“Jadi, Mama dan Papa menemukan surat wasiat mendiang kakekmu, di situ tertera kalau kau dan cucu dari sahabatnya akan dijodohkan.” Sembari menunggu Jack menyelesaikan bacaannya, Silvia ikut memberitahu.
Bibir Jack agak terbuka karena terkejut. “Kakek?”
Silvia menganggukkan kepala. “Ya, dulu kakekmu pernah berjanji dengan sahabatnya untuk menjodohkan cucu-cucu mereka. Awalnya, kakekmu menginginkan anak-anaknya saling berjodoh, tapi sayangnya kami sama-sama terlahir sebagai perempuan. Sedangkan cucu-cucu mereka, laki-laki dan perempuan.”
Jack terdiam sejenak, ia memang ingat dengan betul wejangan kakeknya dulu yang mengatakan kalau Jack harus menikah dengan cucu sahabatnya. Bahkan Lumono juga sempat memberikan foto gadis itu padanya yang masih disimpan Jack hingga kini, Jack tidak menyangka jika keinginan kakeknya sampai ditulis sebagai surat wasiat seperti ini.
Jujur saja, Jack justru senang. Itu berarti gadis yang ia nantikan akan menikah dengannya, ia bahagia luar biasa.
Jack merekahkan senyumnya tanpa sadar, membuat sang ibu kebingungan.
“Jack?”
“Ah, ya?” Jack tersentak dari lamunannya.
“Kau tidak menolak?”
“Tidak, aku memang sudah menunggu lama kehadiran gadis itu.” Jawabnya dengan penuh rasa bangga.
Silvia sempat tertegun, ia pikir Jack akan mengamuk dan menolak perjodohan ini, tapi reaksi Jack sungguh di luar dugaannya.
“Maksudmu?” Silvia bingung dengan perkataan putranya.
Jack menampilkan senyuman paling manis, ia menjelaskan pada Silvia mengenai gadis itu.
“Apa gadis itu bernama Nika Adlen?” Tebak Jack.
Silvia mengangguk, ia bertanya-tanya kenapa Jack tahu nama gadis tersebut.
Jack kembali mengulas senyumnya, ini memang yang ia inginkan.
“Dulu kakek juga sering menceritakan mengenai gadis itu padaku, kakek juga memintaku untuk menikahinya ketika sudah dewasa. Bahkan aku juga punya foto gadis itu semasa kanak-kanak, meski kami belum pernah saling bertemu secara langsung sebelumnya.”
Mata Silvia agak membulat kaget. Benarkah seperti itu? Tapi kenapa ia tidak tahu.
“Kenapa kakekmu tidak bilang pada Mama soal perjodohan ini?” Silvia merengut.
“Itu karena Mama yang selalu menekanku untuk berprestasi, sampai mengenal dunia luar pun sulit.” Balas Jack, ia mengatakan dengan nada biasa, tapi terdengar miris jika diamati lebih dalam.
Silvia bungkam, apa yang dikatakan Jack memang benar. Bahkan Jack Roshel kecil sangat jarang memiliki teman ataupun bermain, waktu Jack hanya digunakan untuk belajar.
“Maaf.” Ujar Silvia, keadaan menjadi canggung.
Jack terkekeh pelan. “Semuanya sudah berlalu, waktu tidak akan bisa kembali lagi.”
“Jadi, kau bersedia menikah dengannya?” tanya Silvia hati-hati.
“Aku sangat bersedia, tapi bagaimana dengan gadis itu sendiri? Bukankah ini terlalu terburu-buru baginya.” Jack memang menginginkan pernikahan, tapi ia juga tidak bisa egois hanya dengan memikirkan perasaannya sendiri.
Jack bisa menebak jika gadis itu pasti syok ketika mendengar ajakan menikah ini.
“Besok dua keluarga akan saling bertemu, kau bisa mengobrol dengannya dari hati ke hati. Mama yakin jika kakekmu akan bahagia dengan pernikahan kalian nantinya.”
“Baik, Jack akan berusaha menarik hatinya.”
“Oh ya, ini ada fotonya, kau bisa melihatnya.” Silvia mengambil selembar foto yang berisi Nika, ia kemarin sempat berfoto berdua dengan calon menantunya.
Jack menerima itu, ia menatap wajah gadis itu yang sudah dewasa. Foto yang Jack miliki merupakan foto masa kecil Nika, saat ini gadis kecil itu sudah menjelma menjadi wanita dewasa yang amat manis.
Jack kembali tersenyum-senyum sendiri, sedangkan Silvia menatapnya dengan pandangan sulit diartikan.
Jack merasa tidak asing dengan gadis di foto itu, tapi mana mungkin ia pernah bertemu dengan Nika sebelumnya.
“Ekhem ekhem..” Silvia berdehem pelan untuk menghentikan senyuman sang anak.
Jack tertawa kecil.
“Mama akan ke dalam dulu buatin makanan.” Silvia beranjak pergi dari sana.
Jack mengabaikan saja, kini fokusnya hanya untuk gadis di foto ini. Nika memiliki perawakan yang kecil, mungkin jika dikira-kira tingginya hanya sebatas dadanya Jack saja.
Senyumannya terlihat amat manis, ada dua lesung pipi di kanan kirinya. Benar, ini adalah gadis yang Jack tunggu-tunggu. Meski hanya melalui foto saja, tapi Jack sudah bisa mengenali fisik Nika.
“Akhirnya aku menemukanmu, tidak akan ku lepas lagi.” gumam Jack, ahh ia sangat bahagia.
Saat ia sedang merasa jatuh cinta seperti ABG SMA, dari arah luar muncul Zenseva dengan muka lelahnya. Pria itu duduk di sofa tepat di depan Jack, ia memperhatikan majikannya yang senyam-senyum sendiri.
“Boss?” Zenseva memanggil Jack, tapi tidak ada pergerakan.
Zenseva merasa aneh dengan bosnya satu ini.
“Jack?”
Click!
Zenseva menjentikkan jarinya agak keras, usahanya kali ini berhasil membuat Jack mendelik padanya.
“Ada apa? Ganggu aja.” Sungut Jack.
Zenseva melongo, sejak kapan Jack menjadi sensitif seperti ini.
“Boss, kau kenapa senyum-senyum sendiri?”
Mendengar pertanyaan asistennya membuat senyuman Jack makin lebar saja.
“Aku menemukannya, Zen.”
Beberapa patah kata itu mampu mendeskripsikan perasaan Jack, Zenseva langsung paham maksud pria itu.
“Gadis yang kau tunggu itu, kau sudah bertemu dengannya?”
“Bahkan kami akan menikah.” Balas Jack.
“Serius?”
“Ya.” Jack kembali memperhatikan foto tersebut.
Hal ini mengundang rasa penasaran Zenseva dengan sosok pujaan hati majikannya. Zenseva memperhatikan foto Nika dengan detail, ia merasa pernah bertemu dengan gadis ini.
Sejenal Zenseva berpikir dengan keras, siapa dan ada di mana ia melihat gadis ini?
Detik selanjutnya mata Zenseva membulat dengan sempurna, ia ingat!
“BOSS!” Zenseva memekik dengan heboh.
Jack berdecak kesal, Zenseva jika sudah berteriak seperti seorang gadis saja.
“Gawat.”
“Maksudmu?”
Zenseva menunjuk foto Nika dengan serius. “Gadis ini adalah orang yang kau senggol di Sirkuit Suarez.”
Mendengar perkataan Zenseva mampu membuatn Jack membeku seketika. Tenggorokannya terasa kering, bibirnya kelu hanya untuk sekedar berkata-kata.
“Kau tidak becanda kan Zen?”
Zenseva menggeleng, ia mana berani becanda di situasi penting ini.
“Aku serius, Boss. Gadis ini jika tidak salah namanya adalah Nona Adlen, seorang fotografer yang diutus oleh perusahaan La Viore khusus memotret para pembalap MotoRace.”
Zenseva sedikit banyak mengetahuinya, ia juga sering melihat riwayat diri dari para wartawan, jurnalis dan lainnya, hanya memastikan bahwa para pencari berita itu bukan suruhan tim lain untuk mencelakai majikannya.
“Kau yang menolongnya saat itu, apa yang dia katakan?” Jack mendesak Zenseva untuk bicara.
Zenseva menghela napas kasar. “Dia membencimu, seharusnya jika kau pria sejati, maka kau sendiri yang menolongnya, bukan aku.”
Bahu Jack langsung meluruh seketika, hatinya bagai dihantam oleh sebongkah batu besar.
Sakit!
Jadi, orang yang ia tabrak kemarin adalah gadis yang selama dicarinya? Bodoh, Jack sungguh bodoh.
Karena rasa amarahnya akibat persaingannya dengan Martin, ia sampai tidak sadar dengan perasaannya sendiri.
“Zen, bagaimana keadaannya saat itu. Apa dia terluka, apa ada yang lecet?” Jack mulai panik, baru kali ini ia mencemaskan keadaan lawan jenisnya.
“Sempat ada lecet di telapak tangannya dan lensa kameranya juga retak.” Balas Zenseva dengan jujur.
Ia bisa melihat wajah frustasi Jack, Zenseva merasa iba.
“Astaga! Bodoh kau, Jack.” Jack menjambak rambutnya sendiri.
Pikirannya mulai tidak tenang, ia membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Nika membencinya, gadis itu pasti menolak pernikahan ini.
"Jack, cukup! Jangan larut dalam penyesalan, yang perlu kau lakukan adalah meminta maaf padanya." Saran dari Zenseva memang benar.
"Apa aku bisa?" Jack tidak pernah sebingung ini dalam menghadapi masalah.
"Kau bisa, buktikan padanya bahwa kau sangat mencintainya dan menunggunya selama bertahun-tahun." Zenseva membalas pertanyaan Jack dengan keoptimisan.
"Kau benar, aku akan membuktikan padanya. Bahkan aku tak segan berlutut meminta maaf atas perilaku burukku." Setidaknya, itu lah harapan Jack.
Jika nantinya Nika menolak perjodohan ini, maka Jack tidak akan tinggal diam. Sudah bertahun-tahun lalu Jack disiksa oleh kerinduan yang mendalam, ketika Nika sudah ada di depan mata, Jack tidak akan membiarkan gadis itu pergi.
"Kapan kalian akan bertemu?" tanya Zenseva.
"Besok, Mama akan mengumpulkan dua keluarga dan membahas tentang perjodohan ini."
Zenseva mengangguk pelan, ia ikut senang mendengarnya.
"Itu bagus, kau bisa menggunakan kesempatan ini untuk mendekatinya. Ingat! Perlakukan gadis itu sebaik dan selembut mungkin, kau harus pintar-pintar mencari cara untuk membujuknya, jangan kedepankan emosi."
"Aku akan melakukan sebaik mungkin." Finalnya.