MDU 14

1501 Words
Jovanka tetap melanjutkan aktifitasnya, mengambil barang-barang yang perlu ia bawa pulang. Mengabaikan pertanyaan pemuda yang sedari tadi mengekor di belakangnya. "Jov! Jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu bisa begini? Pasti ada yang tidak beres." Jovanka menghentikan langkahnya. Dan mengambil amplop yang tergeletak di atas meja nakasnya. Memberikan benda tersebut pada Tristan. "Liat ini! Sekarang elo pulang! Dan jangan ganggu hidup gue lagi. Elo kan udah dapet apa yang elo inginin. Kerja bagus Tan. Gue akui, elo emang tampan. Rajanya cowok b******k!" bentak Jovanka. Tristan terdiam, ia masih mencerna perkataan gadis yang masih menyandang sebagai kekasihnya ini. "Maksud kamu apa Jov?" "Elo masih nggak ngerti juga? Ok! Kita putus. Jangan pernah mengusik hidup gue lagi!" final Jovanka. Bagaikan terhantam bongkahan batu beton di pagi hari. Tubuh Tristan terasa melemas, kedua kakinya terasa tak mampu untuk menyangga berat tubuhnya. Hingga membuatnya terhuyung jatuh di atas lantai. Tertumpu pada kedua lutut kakinya. Perkataan Jovanka bagaikan kejutan buruk untuknya, baru tadi malam mereka bersama. Menghabiskan waktu indah mereka berdua. Dan pagi ini tiba-tiba saja kata 'putus' yang gadis itu lontarkan. Sakit mana lagi yang tidak Tristan rasakan?. Dia sudah memutuskan untuk menjadi cowok baik-baik. Memutuskan semua gebetannya demi Jovanka. Tapi apa hasilnya? Jovanka justru menjauh. Dan memutuskan hubungan dengannya. Tristan mendongakkan kepalanya, menatap sendu sosok gadis yang berdiri dihadapannya. "Jov, jangan mutusin aku. Aku sayang sama kamu. Aku serius sama kamu. Bukankah kita pernah berjanji bakal menikah suatu hari nanti? Tapi kenapa sekarang kamu mengakhiri hubungan kita? Aku benar-benar tulus, cinta sama kamu. Aku rela bersujud di hadapan kamu, asal kamu mau nerima aku dalam hidup kamu." Jovanka meledakkan tangisannya, hatinya kembali teriris perih. Kenapa pemuda ini selalu membuat hatinya di lema? Sebenarnya Tristan itu makhluk yang bagaimana? Kenapa sulit sekali untuk di mengerti akal sehat?. Ingin ia percaya dengan ucapan pemuda itu, tapi ingatan tentang video di mana Tristan tertawa bangga, masih terngiang di dalam otaknya. Yang mana semakin membuat hatinya sakit. "Elo nggak usah lakuin itu. Gue bukan Tuhan yang patut buat elo sembah. Berikan sujud elo pada yang kuasa, bukan ke gue. Mulai detik ini, hubungan kita berakhir Tan. Gue udah mutusin buat nggak mengenal arti cinta lagi. Cinta hanya buat diri gue semakin tersiksa. Gue harap, elo ngerti apa yang gue inginin." Tristan menangis sejadinya, baru kali ini ia menangis hanya karena seorang gadis. Malu? Tidak, karena Tristan benar-benar merasa sakit. "Jov, aku udah berjanji sama kamu. Kalau aku bakalan tanggung jawab sama apa yang udah aku lakuin ke kamu." "Tan! Dengerin gue! Elo lupain tentang apa yang udah terjadi pada kita berdua. Gue nggak nyuruh elo buat tanggung jawab sama gue. Jadi, elo lupain aja semua apa yang udah terjadi. Tentang tanggung jawab elo, udah gue lupain. Gua nggak butuh semua itu. Lagi pula kek abis ngapain gue aja lo. Pakek tanggung jawab segala. Elo belum ngelonin gue, jadi nggak usah tanggung jawab." ucap Jovanka santai, meski hatinya justru sebaliknya. Sakit tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tristan kembali ke kontrakannya. Dengan segera ia menyetel CD yang baru saja Jovanka berikan. Tristan tertegun, ia ingat, dengan kejadian ini. Di mana awal dirinya mendapatkan Jovanka. Semua benar, dirinya membuat taruhan dengan teman-temannya. Tapi sekarang semua sudah berbeda, dia benar-benar jatuh cinta pada gadis tersebut. Semua sudah berakhir, Jovanka sudah pergi meninggalkan dirinya. "Pasti hati elo sakit banget Jov. Gue emang b******k, tapi gue juga sakit di sini. Gue cinta sama elo, Jov." isak pemuda itu kian semakin menjadi. Tristan menghapus air matanya, kasar. Ia segera mendial nomor para sahabatnya. Dan menuju ke markas mereka. Sesampainya di tempat tersebut. Tristan langsung mendudukkan tubuhnya di kursi yang sudah ia taruh di atas meja, bak seorang raja. Raja bobrok lebih tepatnya. Dengan tatapan tajam, bak seekor elang tengah mengintai mangsanya. Tristan memperhatikan satu-persatu para sahabatnya. "Gue tanya sama elo pada. Siapa yang udah berani ngerekam percakapan kita berapa Minggu yang lalu?!" tanya pemuda itu to the poin. Semua sahabat Tristan hanya saling pandang. Mereka tidak mengerti dengan apa yang Tristan ucapkan. "Rekaman apaan sih Tan?! Kalau rekam saat elo c**i di kamar mandi sih ada." celetuk salah satu sahabatnya. Tristan semakin kesal, bukan rekaman itu yang ia maksudkan. "Apaan sih lo! Bukan rekaman itu yang gue maksud." "Jadi apa Tan? Apa ...? Cepat katakan pada kita semua! Biar kita paham, biar kita ngerti apa yang tengah engkau risaukan wahai sahabatku ...," ucap dramatis salah satu teman Tristan. Tristan mengusak rambutnya kasar, gini amat yak nasip punya temen kagak ada yang waras. Tristan jadi berpikir, keknya nggak mungkin deh kalau sahabat bobroknya ini yang ngerekam. Dan ngasih tuh rekaman pada Jovanka. Terus siapa kalau gitu? Pasti ada pihak orang luar, yang sengaja lakuin hal itu. Dengan tujuan ngehancurin hubungan mereka. Tapi siapa?? Aishh!!! b******k!. Tristan mengumpat dalam hati. "Emangnya ada apaan sih Tan? Jangan bilang kalau ada yang nyebarin video panas elo!" "Weih keren!! Berapa detik Bro! Jangan cuma 19 detik kek mbak artis itu. Elo harusnya bisa lebih panjangin durasinya." Anjim bat dah nih temen, nggak ada yang bener. "Bisa diem nggak?! Pada ngeselin ya lu pada. Mana ada gue video laknat kek gitu. Gue Tristan Ivander, bakal menjaga keperjakaannya buat calon istri gue nanti." mantap pemuda itu, menekankan setiap katanya. Disambut tepuk tangan riuh dari sang sahabat. "Wuihhh ... keren!!" Nah kan pada absurd bin bobrok. "Tan ! Ketan ... coba deh cerita ama kita. Jan ghosting kek jamet gini. Biar kita bisa bantuin elo. Gini-gini kita juga manusia yang berguna, berbudi pekerti, bermartabat, berpendidikan ...--" "Terus aja bacot ampek gue lumutan dengernya!" potong Tristan. Sosok pemuda yang berucap tadi hanya terkekeh geli. "Sorry, canda gue. Yaudah, sekarang cerita gih, bakal kita dengerin dengan seksama, dan penuh perhatian." "Ok! Gue cerita ye! Jan pada ada yang motong ucapan gue." Semua hanya diam. "Kok elo pada diem? Jawab iya kek." emosi Tristan. "Lah tadi elo kan bilang, kagak ada yang boleh motong ucapan elo." Iya juga ya ... bener apa kata sahabatnya ini. Eh, kok Tristan mendadak ikut o'on gini sih?. "Jadi gini ...," Tristan mengambil napas dalam. "Oh begitu ...." "Anjir gue belom mulai cerita Bambang!!! Gag jadi cerita ah gue, mau ngambeg aja." Tristan bersedekap d**a, bak gadis lagi ngambeg. "Nah kan ... dah persis jamet lampu merah." cerca salah satu sahabatnya. "Abisnya kalian nggak pernah serius sih." "Iya-iya ... maafin kita ye, Mas Tristan Ivander yang tampan seantero Jakarta, nggak ada tandingannya. Sekarang mulai ceritanya, gue penasaran bangetthh pakek H." Tristan memasang raut wajah seriusnya. Dan mulai bercerita. "Jadi, gue diputusin Jovanka." mulainya. Semua pemuda yang ada di sana tak berani menyela, mereka hanya membekap mulutnya masing-masing. "Dan kalian tau? Kenapa alasan Jovanka mutusin gue? Semua gara-gara video ini." Tristan mengambil remot dan menekan tombol play, hingga muncul gambar vidio di layar TV, yang berada di samping mereka. Sontak mereka terkejut bukan main, bagaimana bisa ada yang merekam percakapan mereka?. "Dan yang jadi masalah di sini. Siapa dari kalian yang berani ngerekam percakapan kita?!" lanjut Tristan, mengintimidasi. Semua saling menukar pandang. Dengan menghedikan kedua bahu mereka. "Kami nggak ada yang ngelakuin itu, Tan. Lagipula buat apa? Nggak ada faedahnya." "Kami berani bersumpah demi langit dan bumi beserta isinya, kalau kita benar-benar nggak ngelakuin hal itu. Kita udah sahabatan sejak lama." Tristan mengangguk, ia percaya pada para sahabatnya. "Gue masih penasaran, siapa sebenarnya orang yang berani main di belakang gue?" Tristan menerka-nerka. "Tan! Elo punya temen lain nggak? Selain kita. Yang tau markas kita, dan dia deket sama elo?" tanya salah satu teman Tristan, terlihat begitu serius. "Rofiq. Tapi nggak mungkin dia ngelakuin hal itu. Dia baik sama gue, dan untuk apa dia lakuin hal itu?" Tristan menolak percaya. "Jovanka! Hanya satu alasan orang itu menghancurkan hubungan elo. Ingin elo hancur dan ngambil alih cewek elo!" analisisnya. Emang bener para sahabat Tristan kelewat bobrok. Tapi jika masalah menganalisa, mereka jago. Tristan membelalak lebar. "Apa mungkin Rofiq punya rasa ama Jovanka?" "Tan! Jangan terlalu percaya sama orang lain. Banyak jaman sekarang serigala berbulu biri-biri." "Domba, ogeb!" instruksinya. "Di sound the sheep kan serigala berbulu biri-biri." "Cie yang tontonannya film anak-anak ...." "Dah ah, gue mau cabut." ucap Tristan, malas mendengarkan candaan tak bermutu dari teman-temannya. Selepas kepulangan Jovanka ke kampung halamannya. Jovanka pikir, dengan jauh dari Tristan. Maka bayangan pemuda tersebut akan ikut menjauh. Tapi nyatanya tidak, justru semakin ia menjauh dari Tristan, bayangan pemuda itu semakin dekat dengan dirinya. Bahkan jadi penguasa di dalam otaknya. Senyumnya, recehnya, tampannya. Semua tergambar jelas di dalam otak Jovanka. Rasanya ingin ia restart isi otaknya jika saja bisa. "Tan ... pergi dari otak gue!" ucapnya, seraya memukul kecil kepalanya sendiri. "Aku nggak akan pergi kemana-mana Jov!" suara Tristan jelas terdengar di pendengaran Jovanka. "Elo nggak puas ya? Udah menuhin otak gue. Dan sekarang suara elo mau menuhin telinga gue. Emang b******k ya elo!" umpat Jovanka. Ia berpikir jika itu hanya halusinasinya saja. Tak sadar jika yang berucap tadi benar-benar sosok Tristan. Yang kini sudah berdiri di belakangnya. "Karena aku nggak akan pergi dari hidup kamu Jov!" Ok! Ini bukan lagi halusinasi. Jovanka diam membatu. Dengan segera ia menoleh ke arah belakang. Yang kini terpampang nyata sosok Tristan Ivander.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD