MDU 08

1529 Words
Hari ini merupakan hari di mana ke tiga cowok alias trio playboy cap kaki buaya meninggalkan tempat kerjanya. Mereka mundur karena kehadiran sosok Tristan. Entah apa yang sepesial dari pemuda itu, hingga mampu menggeser posisi ke tiga cowok kelewat percaya diri tersebut. "Jov! Elo nggak pengen ngasih kenang-kenangan pada manusia tampan bin keren ini?" tunjuk Yhosi pada dirinya sendiri. "Kenang-kenangan apaan? Minta di tabok gitu maksud lo?!" cerca Jovanka. "Ya kagak, ciumm kek ... dikitttt aja Jov!" melasnya. Jovanka menghela napas malasnya. Hanya sekedar cipika cipiki nggak masalah baginya. "Sini!" Jovanka menyuruh Yoshi mendekat ke arahnya. Mengecup pipi kanan dan kirinya bergantian. Sontak membuat Yhosi membolakan kedua bola matanya. "Jov. Katakan jika ini hanyalah mimpi. Elo nyium gue?!" tanyanya dengan wajah bodohnya. "Apaan sih lo! Nggak usah berlebihan, baru pipi doang." Jovanka merolling bola matanya. "Gue nggak jadi pergi dari sini kalau gitu." ucapnya cepat. "Sayang banget! Surat pengunduran diri elo udah diterima ama bos." tawa Jovanka. Yang mana membuat Yhosi pundung seketika. Tak lama kemudian datang Mico, yang kini terlihat tengah berlari ke arah mereka berdua. "Jov ... gue juga mau dong dikasih tanda perpisahan. Gue mau merantau ke luar negeri. Masa nggak dikasih kenang-kenangan?" melasnya. Terpaksa Jovanka juga memberikan cipika cipiki pada pemuda itu. Kini giliran Dino, dia tidak meminta ataupun berucap kata perpisahan. Ia hanya menatap lesu ke arah Jovanka. Memang benar, ia tak memperlihatkan ketertarikannya pada Jovanka. Tapi ketahuilah, jika dia yang paling terluka di sini. Cintanya sungguh-sungguh, namun Jovanka menolak dirinya secara mentah-mentah. Ditambah lagi, Jovanka lebih memilih adiknya. Sakit mana lagi yang kau dustakan wahai Dino, si cowok anggora. Jika kata Jovanka. "Ehem!" Tiba-tiba suara deheman seseorang terdengar, mengalihkan atensi mereka semua. Siapa lagi sosok itu jika bukan Tristan. "Oeh ... Bro!!! Apa kabar? Sayang banget kita nggak bisa kerja bareng!" basa-basi Yhosi merangkul pundak Tristan. Tristan yang pasalnya anak baik atau bagaimana, entahlah tak mengerti. Dia justru tersenyum tulus, tak tau saja jika para lelaki di sana hanya menganggapnya sebagai musuh. Jovanka terdiam, mantap kasihan ke asah pemuda yang kini menjadi kekasihnya itu. "Udah, gue mau pergi dulu. Semoga hubungan elo ama Jovanka bisa langgeng." doanya, dusta. "So pasti! Gue janji bakal jadiin Jovanka istri gue kelak." ucap Tristan, yang mana membuat Jovanka memelototkan kedua bola matanya. "Apaan sih lo!" sebal gadis itu. Sepepergian ke tiga pemuda itu. Kini digantikan dengan sosok Tristan dan juga Rofiq, serta beberapa pegawai lama lainnya. Jovanka merasa aneh dengan hubungan percintaannya dengan Tristan. Ia bingung harus mengakhiri hubungan mereka dengan cara apa. Sungguh, Jovanka sudah muak dengan semuanya. "Babee ... malam ini keluar, ya!" ajaknya. "Gue males." "Semenjak kita jadian, kamu belum pernah bersikap manis sama aku." melas Tristan. Jovanka memiringkan kepalanya, dengan tatapan mata benci. "Tan, bukannya elo pernah bilang ama gue. Kalau kita merasa tak saling ada kecocokan, maka gue boleh mutusin elo. Dan sampai detik ini, gue belum juga cinta sama elo. Jadi, gue minta ... kita putus." Tristan tergugu, ia tak percaya jika Jovanka akan mengatakan hal ini padanya. Sakit, yah ... sangat sakit. Bagaikan di tusuk ribuan duri, tepat di area hatinya. Tanpa menjawab ucapan sang kekasih, Tristan langsung pergi meninggalkan gadis tersebut. Jovanka terdiam, ia tak pernah melihat raut kekecewaan pada wajah Tristan. Tapi kali ini, pemuda itu benar-benar terlihat sangat terluka. Apakah aku keterlaluan? Batinnya. Tristan memutuskan untuk pulang ke kontrakannya. Tak ada niatan untuk kerja, hatinya terlampau hancur. Jovanka mengikuti arah pergi Tristan. Entah setan apa yang mendorong diri Jovanka untuk mengikuti pemuda itu. "Gue masuk enggak ya?" gumam Jovanka bimbang, berdiri di ambang pintu kontrakan Tristan. Dengan segenap keyakinan, akhirnya ia membuka kontrakan tersebut. Dan masuk ke dalamnya tanpa permisi. Betapa terkejutnya dia, saat melihat Tristan tengah mengamuk. Memukul tembok di hadapannya. "Tristan!!" teriak Jovanka, menghentikan pergerakan pemuda di hadapannya. "Kenapa kamu ke sini?" tanya Tristan, dingin. Sembari membelakangi tubuh gadis itu. Ke dua tangannya masih terkepal erat. Jangan lupakan luka lecet yang kini sudah membekas di punggung jemari pemuda tersebut. Jovanka menggigit bibir bawahnya, ia juga tak tau kenapa bisa datang ke sini.  Ingin mengatakan jika ia peduli, namun gengsi. Jangan sampai pemuda itu terlalu percaya diri nantinya. "Kamu kembali ke tempat kerja, gih!" pinta Tristan, masih berusaha sabar. Tak ingin meluapkan semua amarahnya. Tanpa sengaja Jovanka melihat luka di punggung jemari Tristan. Sontak reflek rasa pedulinya muncul. "Tan, tangan elo terluka." paniknya, meraih tangan pemuda di hadapannya. "Jangan menyentuhku!" hilang sudah kesabaran Tristan. Ia membentak gadis yang kini tengah berhadapan dengannya. Jovanka tersentak kaget, bagaimanapun dia hanyalah seorang gadis. Yang memiliki hati rapuh. Mendengar bentakan saja rasanya begitu ngilu. Gadis itu menundukkan wajahnya, menahan air mata yang siap meluncur dari kedua kelopak matanya. "Cepat pergi Jov!" Tristan meninggikan suaranya. Jovanka emosi, kenapa pemuda ini berani membentak dirinya. "Kenapa elo ngusir gue?!" Tristan meraup wajahnya, ia benar-benar marah. Selama dekat dengan puluhan gadis, tak ada satupun yang berani menolak dirinya. Tapi, Jovanka ... gadis itu bahkan secara terang-terangan menolak dirinya. "Jov. Aku tanya sama kamu! Kamu beneran nggak bisa buka hati kamu buat aku?" Jovanka menggeleng, tanpa berucap. Tristan mengangguk miris. "Ok, kalau gitu. Kamu sekarang pergi dari sini!" usir Tristan lagi. "Tapi tangan elo---" "Jovanka!! Kamu ngerti nggak sih perasaan aku kek gimana. Kamu nolak perasaan aku  secara terang-terangan. Dan tiba-tiba kamu berubah, seakan peduli sama aku. Kamu mikir nggak? Kamu udah narik ulur hati aku. Sakit Jov! Sakit banget rasanya." Jovanka menatap sayu ke arah pemuda di hadapannya. Ada rasa tak tega, saat melihat pancaran mata penuh luka yang tergambar di kedua mata Tristan. Tapi ia sendiri juga bingung, ia tak mengerti dengan perasaannya sendiri. "Tan, gue ... gue nggak ngerti sama perasaan gue. Gue nggak pernah ngerasain apapun saat bersama elo." lirihnya. Ucapan Jovanka bagaikan serbuk garam, yang sengaja ia taburkan di luka menganga di hati Tristan. Tristan hanya berusaha tenang, menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya berlahan. Dalam hati merutuki gadis di depannya. Sebenarnya, Jovanka ini punya hati enggak sih? Kenapa ngomongnya jujur amat, ya Tuhan!!!. "Itu artinya kamu nggak cinta sama aku Jov." jelas Tristan, ibarat menelan racun ke dalam tenggorokannya sendiri. "Kan gue udah bilang, kalau gue nggak cinta sama elo. Nah, sekarang elo udah ngerti kan?" ucap Jovanka, ia mengira jika Tristan sudah menerima keputusannya. Tristan hanya bisa mengulum bibirnya sendiri. Bertarung dengan perasaannya. Jov! Bunuh gue sekalian, klelepin ke laut aja jika perlu. Daripada elo siksa gue kek gini. Batin Tristan miris. "Tan, elo kenapa diem?" tanya Jovanka dengan raut wajah polosnya. "Aku cinta sama kamu. Beri kesempatan sekali aja buat aku, Jov." pinta Tristan, walau ia tau jika permintaannya begitu mustahil. Jovanka sedikit berpikir, dan akhirnya menjawab. "Iya deh, daripada gue jomblo. Sangat tidak estetik." ucapnya tanpa dosa. Tristan sukses membolakan kedua bola matanya dengan mulut ternganga. Ia benar-benar tak percaya dengan ucapan gadis di hadapannya ini. Sebenarnya makhluk seperti apa gadis cantik di hadapannya ini? Tristan mulai meragukan kewarasan Jovanka. Jujur, Tristan baru pertama kali ini bertemu dengan sosok gadis labil tingkat dewa. Jika tau begini, ia tidak usah melepaskan kemarahannya pada tembok. Dan berkahir terluka. "Kamu beneran? Kamu nggak lagi ngeprank kan?" tanya Tristan menggebu. "Gue bukan manusia yang seneng ngeprank. Kurang kerjaan amat," cercanya. Tristan tersenyum dan memeluk tubuh Jovanka. "Lepasin gue!" risih Jovanka, mendorong tubuh pemuda dipelukannya. Dan segera bergegas pergi, mencari kotak obat. Jovanka kembali, dengan membawa sekotak obat. "Sini tangan lo! Biar gue obatin!" pintanya. Tristan tersenyum dan mengulurkan tangannya yang terluka. "Elo sering ngelakuin ini? Kalau lagi marahan sama cewek elo?" tanya Jovanka. "Nggak pernah. Cuma hari ini aja, pas aku pacaran sama kamu." "Kenapa? Bukannya gue sama aja kek cewek-cewek elo yang lain?" "Enggak, kamu beda sama cewek lain. Aku benar-benar ngerasain rasanya cinta baru sama kamu aja." Jovanka tersipu malu. Namun sedetik kemudian segera menggeleng, ia tak boleh jatuh pada rayuan pemuda ini. Ingat Jovanka, semua lelaki itu sama aja. Bisik hatinya. "Jov," Tristan mendekatkan wajahnya di hadapan wajah Jovanka. Membuat kedua pasang mata mereka saling bertatapan. Jovanka membeku, tatapan mata pemuda di hadapannya terasa seperti mengunci seluruh tubuhnya. Hingga membuatnya tidak bisa bergerak. Bahkan bibirnya terasa kelu, tak bisa untuk berkata-kata. Dan sialnya, kenapa wajah Tristan begitu tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini?. Tristan tak berkedip, kedua pasang matanya terus terfokus pada bola mata hitam gadis di hadapannya. Mendekatkan wajahnya, semakin dekat hingga deru napas keduanya saling menyapu. Semakin dekat, entah siapa yang memulai. Kini kedua bilah bibir mereka sudah menyatu. Reflek Jovanka memejamkan kedua matanya, menikmati sapuan bibir hangat nan kenyal dari sang pemuda. Ya Tuhan ... kenapa jantungku berdetak begitu kencang? Batin Jovanka. Tanpa membalas sapuan lembut bibir Tristan. Bukan apa-apa, karena Jovanka belum pernah berciumman. Ini kali pertamanya ia memberikan ciumman pertamanya pada Tristan. Tristan tersenyum dibalik pagutannya. Ia bahagia, setidaknya Jovanka tidak menolak dirinya. Tristan melepaskan pagutan mereka. Mengusap lembut bibir sedikit bengkak sang kekasih. "Apa kamu belum pernah ciumman?" bisiknya. Jovanka menunduk, ia hanya menggeleng kecil. Karena apa yang ditanyakan pemuda itu benar adanya. Tristan menautkan kedua alisnya. Rasanya tidak percaya dengan ucapan gadis di hadapannya ini. "Kamu serius? Cewek secantik kamu belum pernah ciumman? Padahal aku dengar, cowok kamu lumayan banyak." Jovanka menatap tajam ke arah Tristan. Ia benci dengan ucapan pemuda itu. Yang seakan begitu memandang rendah dirinya. Dan satu lagi, bagaimana Tristan tahu? Jika dia dekat dengan banyak lelaki?.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD