MDU 24

1635 Words
"Apa yang akan elo lakukan?" parau Jovanka. Tristan tersenyum, mengarahkan jemari lentik Jovanka ke arah area bawahnya yang terasa sudah mengembung. Jovanka terkesiap, merasa sangat asing dengan sesuatu yang baru saja ia pegang. Degupan jantungnya berdetak kencang, antara takut dan aneh secara bersamaan. "Tan," panggilnya, menghentikan aktifitas mereka sekilas. "Iya?" "Apa elo yakin bakal lakuin ini?" "Iya, gue janji bakal nikahin elo." Jovanka tersenyum, meraih tengkuk sang pemuda di atasnya, dan menyatukan bilah bibir mereka. "Sayang, bersiaplah. Gue bakal melakukannya berlahan." Tristan mengarahkan kejantanannya di depan l**************n milik Jovanka. Tubuh Jovanka menegang, seiring dengan cengkraman erat kedua tangannya di lengan Tristan. "Tan, sakitt ... pelan-pelan." "Iya, baru juga kepalanya yang masuk." "Sakitt ... banget anjir!" Tristan sudah berkeringat, namun belum berhasil memasukkan kejantanannya ke dalam sarang kenikmatan sang kekasih. "Kok susah sih?" gumamnya, menggaruk tengkuknya. Perasaan pas dia nonton film-film biru, tuh pemain cepet banget masukinnya. Kek nggak ada halangan, bisa melesat tanpa hambatan. Lha ini, baru mau masuk aja susahnya minta ampun. "Gimana dong? Jadi nggak?" tanya Jovanka, yang nggak kalah bingungnya. "Ya, jadi dong. Elo tanya temen-temen elo gih, gimana caranya mereka yang udah sukses tempur." "b*****t! Gue malu anjir. Ngapain nanya orang masalah ginian, gila!" "Iya juga ya," Tristan mengangguk. Tak lama setelahnya, ia pergi ke kamar ibunya. Entah apa yang pemuda itu cari. "Anjir gue kedinginan dianggurin." Jovanka meraih selimut Tristan, untuk menutup area tubuhnya. Ia tersenyum, merasa aneh dengan keputusan yang ia ambil. Mahkota yang selama ini ia jaga akan berakhir di diri Tristan, cinta sejatinya. Mantan kekasih yang pernah ia buang, dan kemudian ia daur kembali. Malu rasanya, tapi sayangnya cinta mengalahkan segalanya. Tak berapa lama Tristan datang kembali. "Abis dari mana sih?" jengah Jovanka. Tristan tersenyum dan menunjukkan sebuah bungkusan kecil di tangan kanannya. "Itu apaan?" tanya sang gadis dengan polosnya. "Permen karet," jawab Tristan asal. Jovanka menautkan kedua alisnya, ngapain Tristan malah ngambil permen karet sih? Gumamnya bertanya-tanya. Tristan mengambil isi bungkusan tersebut. "Ini gimana makeknya sih?" bingungnya, menelisik benda berbahan seperti karet yang mirip kek teripang itu. "Lha mana gue tau, liat juga baru sekarang." Tristan mengambil ponselnya, membuka Chanel yutub dan mencari tutorial cara memakai benda tersebut. "Ternyata gini makeknya," monolognya, dengan segera ia memakai benda tersebut di area kejantanannya. Jovanka hanya mengamati tingkah pemuda di hadapannya. "Nggak engap ya? Ngecekik banget keliatannya." geli sang gadis. "Nggak nyaman juga sih, tapi demi kelancaran perjalanan menuju titik kenikmatan, gue rela adek gue kecekik kek gini." "Terus gimana lagi? Gue harus apa?" Ngakunya bad girl dan bad boy, tapi nyatanya mereka sama-sama polos. Nggak ngerti masalah hubungan persatuan. "Buka yang lebar ya, Sayang. Bantuin gue, biar bisa masuk." "Gue malu anjir!" "Elah ngapain malu udah terlambat kali ah, udah sama-sama bugil dari tadi juga." Jovanka mengerucutkan bibirnya, terpaksa ia menuruti kemauan pemuda di hadapannya. Berlahan ia membuka kedua kakinya lebar, meski terkesan canggung. Tristan kembali dilingkupi kabut hasrat yang menggebu. Pandangan mata sayu, begitu menghanyutkan Jovanka dalam lautan dunia halusinasi. Berlahan Tristan memposisikan tubuh Jovanka, berbaring nyaman dalam kungkungannya. "Kali ini tolong bertahan sebentar saja." bisiknya. Jovanka hanya pasrah, mencengkram kain seprey di bawahnya. Menyalurkan rasa takut sekaligus rasa panas terbakar di bawah sana. Sesuatu yang keras dan besar terasa memaksa masuk di dalam miliknya, sensasi panas seperti terbelah menjadi dua. "Sakit banget Tanhh," teriaknya tertahan. "Masuk separuh, kurang dikit lagi." geramnya. Sedikit melakukan hentakan mendorong dengan keras miliknya. Untuk menembus selaput kegadisan sang kekasih. KRAK!! Seperti terdengar bunyi robekan kecil dari dalam milik Jovanka. Seiring terdengar bunyi lirih itu, kejantanan Tristan terbenam seutuhnya. Jovanka menitikkan air mata, rasa sakit yang baru saja ia temui. Membuatnya seolah kapok untuk mengulang hal ini lagi. "Tan lepasin, gue nggak sanggup. Milik elo terlalu gede, b*****t!" Tristan tak mendengar ucapan sang gadis, enak aja main lepas baru juga masuk. Tristan semakin mempercepat tempo gerakannya, membuat Jovanka merasa sedikit menikmati namun juga merasakan perih bersamaan. Tristan menarik tubuh Jovanka, mengajak kekasihnya terduduk dengan posisi masih menyatu. Melihat area penyatuan mereka yang terlihat banyak bercak darah. "Tan, kok bedarah sih? Elo tau kan, gue paling takut dengan yang namanya sakit. Pasti nanti gue nggak bisa jalan, tar kalau gue nggak bisa pipis gimana?" tangis Jovanka. Tristan menghela napas, bisa-bisanya di saat seperti ini masih mengomel. Perasaan tiap ia nonton film, tuh gadisnya menggeliat, menggoda, lha ini malah nangis. "Jov, ini cuma awalnya doang. Lama-lama juga nikmat kok." "Tapi kenapa berdarah? Kan sakit. Orang bilang katanya pertama lakuin ini bakalan enak. b******k! Mereka bohong. Sakit kek gini dibilang nikmat, gila!" umpatnya berkali-kali. Tristan kembali melakukan aktifitasnya, meski berkali-kali Jovanka meminta untuk berhenti. Beberapa menit kemudian akhirnya Tristan menemui titik puncaknya. Ia mencabut miliknya dari milik sang kekasih. Jovanka merasa lega, seperti terbebas dari siksaan, benda yang tadi memenuhi miliknya kini sudah tiada, terasa kosong. Hanya tinggal rasa aneh dan perih yang masih berdenyut di bawah sana. "Sayang, makasih ya. Udah ngasih kegadisan kamu buat aku." Jovanka tersenyum, saat mendengar kata kamu-aku kembali terucap dari bibir Tristan, menandakan jika pemuda itu benar-benar kembali pada Tristan yang dia kenal. "Jangan tinggalin gue!" Jovanka memeluk erat tubuh Tristan. "Nggak bakalan. Kita udah terikat dalam satu hubungan. Gue nggak mungkin tinggalin elo." Jovanka mengangguk, hatinya terasa menghangat mendengar penuturan sang kekasih. "Bisa bantuin ke kamar mandi? Aku nggak bisa jalan." rengeknya manja. Tristan hanya tersenyum dan langsung menggendong tubuh sang kekasih menuju ke kamar mandi. "Tan, gue mau pipis." bisiknya. "Yaudah, pipis aja." "Perih banget," rintihnya, mencengkram erat pergelangan tangan sang kekasih. Tristan merasa bersalah, gara-gara dirinya, Jovanka tersiksa seperti ini. "Maafin gue, ya." Jovanka mengangguk, dan menyuruh pemuda itu keluar dari kamar mandi. Beberapa saat kemudian, Jovanka selesai dengan acara mandinya. Gadis itu berjalan menghampiri sang kekasih yang tengah terbaring di atas kasur besarnya. Tristan tersenyum, merasa lucu dengan cara jalan Jovanka yang terlihat aneh. "Masih sakit ya?" Jovanka mengangguk. "Sini, biar gue obatin." Tristan mengambil saleb kusus untuk mengobati area milik Jovanka. "Gue bisa obatin sendiri." tolaknya, malu. "Udah, elo rebahan aja. Biar gue yang obatin, gue yang buat elo begini, jadi gue yang harus tanggung jawab." Tanpa rasa canggung, Jovanka membuka lebar kedua kakinya. Yang menampakkan belahan merah merona, yang terlihat masih sangat rapat di sana. GLEG!! Mati-matian Tristan menahan keinginannya, sial! Adeknya sudah berdiri tegak meminta masuk ke dalam sarangnya. Enggak! Sabar Tristan, Jovanka masih sakit. Jangan paksa dia buat ikutin kemauan elo lagi. Masih ada waktu yang lain buat minta jatah. Otak menolak, tapi jemari laknatnya tidak. Di saat ia mengoles saleb di bibir kewanitaan Jovanka. Tanpa ia sengaja, jemari telunjuknya melesat masuk ke dalam lubang hangat milik gadis tersebut. "Ah ...," Yang anehnya Jovanka justru menikmati permainan yang Tristan buat. Jovanka tak menolak, saat jemari Tristan begitu lihai bermain di dalam sana. "Tanhh," paraunya, menggigit bibir bawahnya menggoda. Demi apa, Tristan udah nggak bisa nahan lagi. "Gue butuh lebih." ucap Jovanka. Tanpa menunggu dua kali, Tristan langsung membuang asal celana boxer yang menutup area bawahnya. Kini ia akan bertempur yang sesungguhnya. "Elo yang minta, jangan salahin gue jika elo nggak bisa jalan." Jovanka mengangguk, ia mulai bisa menikmati permainan ini. Rasa yang awalnya begitu menyakitkan, kini berubah menjadi rasa nikmat tiada tara. Jovanka mulai bisa mengimbangi permainan Tristan. Bahkan kini mereka melakukannya dengan durasi yang cukup panjang. Hingga tiba saatnya mereka menemui puncak putih masing-masing. Tristan ambruk di atas tubuh Jovanka, tanpa melepas miliknya yang masih tertanam. Tak ingin menyia-nyiakan benihnya keluar. "Tan, gue capek." Tristan tersenyum, mengecup bibir ranum sang kekasih beberapa kali. "Terima kasih untuk yang kesekian kalinya." Jovanka mengerjabkan matanya. "Tan, kalau gue hamil gimana?" "Kenapa? Kan ada bapaknya. Gue bakal nikahin elo." "Gue takut, gue belum siap punya anak." "Sssttt, nggak boleh gitu. Kita harus menerima kapanpun malaikat kecil di antara kita akan datang." "Janji ya, kalau gue hamil, elo nggak boleh tinggalin gue." "Besok gue bakal dateng nemuin ibuk. Gue bakal lamar elo, kita bakal nikah secepatnya. Sebelum di sini ada dia." elusnya pada perut datar sang gadis. Jovanka tersenyum haru, menarik tubuh Tristan dalam dekapannya. "Gue cinta sama elo, gue bener-bener nggak bisa lepas dari elo!" isaknya. "Gue lebih mencintai elo, Jov!" Jovanka sedikit mendorong tubuh sang kekasih, menatap lembut wajah tampan di atasnya. "Apa sekarang elo udah percaya sama gue? Gue masih virgin, kan?" Tristan terkekeh. "Iya, dan gue yang pertama berhasil menjebol gawang." "b******k!" Jovanka malu, memukul kecil d**a sang kekasih. "Lepasin," rengeknya kemudian. Tristan tersenyum, ia lupa jika miliknya masih tertanam di bawah sana, pantas saja hangat. Berlahan pemuda itu menarik miliknya yang terlihat layu, di susul dengan cairan putih yang terlihat meluber dari dalam milik sang gadis. "Yah, tumpah." "Elo kebanyakan masukinnya, nggak muat di dalem." sahut Jovanka asal. "Kira-kira kecebong gue ada yang udah nemuin telur elo belom ya?" tanya Tristan, mengetuk dagunya. Jovanka kesal dengan sifat Tristan yang kadang-kadang rada-rada ogeb begini. Bugh!! Jovanka melempar bantal ke arah Tristan. "Aduh, kenapa sih? Main lempar bantal." "Bagus, gue masih lempar bantal. Belum juga panci!" Tristan bergidik ngeri, bagaimana jika nanti sudah menjadi suami istri, apa enggak bonyok semua wajah tampannya ini?. "Gue pernah nonton proses pembuatan baby, kalau punya cowok tuh bentukannya kek kecebong. Renang-renang terus nyampek ke gumpalan sel telor cewek. Gue harap benih gue kuat semua, dan banyak yang nemuin sel telur elo, biar bisa cepet nernak gue!" Jovanka membolakan kedua bola matanya. Nih cowok otaknya ajaib banget yak, bisa berimajinasi. Dipikir kek film cartoon apa?. "Udah ngayalnya?" seloroh Jovanka. Tristan nyengir tak berdosa. "Gue laper, pesenin delivery gih!" pinta Jovanka. "Mau makan apa Sayangku?" "Apa aja, sama asinan buah. Keknya enak panas-panas gini." Tristan tersenyum lebar. "Syukurlah ... akhirnya calon bini gue berhasil bunting!" Jovanka menautkan kedua alisnya. "Apa sih maksud elo?" "Lha itu, elo minta asinan buah. Berarti elo ngidam kan?" "TRISTAN IVANDER!!! KENAPA BEGOK ELO NGGAK KETULUNGAN, HAH??? KITA BARU AJA PROSES, NGGAK MUNGKIN BISA LANGSUNG JADI!!!" Teriakan membahana, seolah meruntuhkan bangunan rumah Tristan. Tristan reflek menutup kedua telinganya, takut jika sampai tuli dadakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD