MDU 23

1673 Words
"Jov, gue mohon, jangan pergi." pinta Tristan, menggenggam erat punggung telapak tangan Jovanka. Jovanka bimbang, kurang satu bulan lagi ia akan mengikuti ujian, sangat di sayangkan jika ia harus berhenti di tengah jalan. Belum lagi ia harus mengeluarkan biaya yang tidak bisa di bilang kecil. "Tapi, gue bakal kena denda." "Elo nggak usah mikirin perkara denda. Semua biar gue yang urus. Elo tenang aja, ok!" Jovanka mengangguk. Tristan bergegas mengurus semua tentang pembatalan keikut sertaan Jovanka. Beberapa waktu kemudian. Kini Tristan mengajak Jovanka mampir ke salah satu restauran. Sekedar makan siang dan juga mengobrol setelah sekian lama tak bertemu. "Kapan elo pulang? Kenapa nggak ngabarin gue?" tanya Jovanka, sembari menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulutnya. "Tadi pagi, gue langsung menuju ke LPK." Jovanka membulatkan kedua matanya. "Elo nggak pulang duluan?" "Gimana gue mau pulang, kalau rumah gue yang sebenernya ada di sini." Blusshh!!! Kedua pipi Jovanka memerah, antara malu dan juga terharu. "Kenapa elo pulang? Bukannya elo bilang, kalau kontrak elo masih sangat lama." Tristan memandang tajam ke arah Jovanka, menatap lekat kedua netra gadis di hadapannya. "Dari tadi nanya terus. Giliran gue yang tanya sama elo." Jovanka mengerjabkan bola matanya lucu dan mengangguk brutal. "Kenapa elo mau pergi ke Jepang? Dan kenapa elo nggak bilang sama gue? Elo mau ninggalin gue, enak banget elo ya? Elo nggak mikirin perasaan gue? Gue bisa gila, Jov!" Emosi Tristan meluap-luap. Jovanka tersenyum miris, menyenderkan punggungnya di badan kursi. Menyilangkan kedua tangannya dan menatap tak kalah tajam ke arah Tristan. "Kenapa gue harus bilang ke elo? Gue bukan siapa-siapa elo. Lagipula ... elo juga udah nentuin pilihan elo sendiri, kan?" sedih Jovanka. "Elo pikir dengan pergi jauh, masalah yang elo hadapin bakalan selesai gitu?" Jovanka menggeleng pelan. "Nggak, tapi setidaknya gue nggak melihat ataupun mendengar kabar tentang pernikahan orang yang gue cinta," Jovanka membuang muka, tak ingin melihat wajah Tristan. Tristan merepalkan kedua tangannya. "Gue milih elo, dan batalin acara pernikahan gue sama Lea." Jovanka tersentak. Ia tak percaya jika Tristan akan memilih dirinya. "Elo serius? Gimana dengan dia? Apa dia nggak marah karena elo tinggalin?" "Gue nggak peduli. Yang gue butuhin cuma elo. Jangan mencoba buat kabur dari hidup gue lagi, ngerti!" Jovanka tersenyum dan mengangguk. "Pulang yuk, gue kangen sama ibuk." timbal Jovanka kemudian. Tristan menyetujui permintaan sang gadis, sekaligus ia ingin meminta ijin untuk menghalalkan gadis di hadapannya ini pada sang ibu. Beberapa jam kemudian. Jovanka berlari tak sabaran memasuki rumahnya. "Ibuk!" serunya. Sang ibu yang sedang memasak di dapur berlari menuju ke ruang tamu. Tak peduli dengan tangan kotor sehabis memeras kelapa. Senyum merekah tergambar jelas di wajah wanita paruh baya itu. "Ya Allah, Nduk ... Ibuk kangen!" isak tangis haru tak terbendung, selama ini memang ibu Jovanka tidak pernah mengijinkan putrinya untuk pergi. Namun apa daya, sang putri tetap bersikeras dan terpaksa ia harus mengijinkan kepergiannya. Tristan tersenyum, melihat betapa bahagianya kedua orang wanita yang sebentar lagi bakal jadi keluarganya itu. Ibu Jovanka baru menyadari keberadaan Tristan. "Nak Tristan," senyum ramah khas keibuan tertera di bibir ibu tersebut. Tristan melangkah maju dan memeluk tubuh wanita tersebut. "Duduk dulu, Nak. Ibuk mau buatin minum sebentar." "Tidak usah repot-repot, Buk." "Nggak repot kok Nak Tristan," sambil berlalu menuju dapur. Jovanka sudah mendudukkan tubuhnya di sofa samping sang pemuda. "Makasih ya, elo udah cegah gue. Kalau enggak, mungkin gue udah ninggalin ibuk sendirian." lesunya. Tristan mencubit kecil pipi gembil sang gadis. "Udah jangan sedih-sedih lagi." Jovanka melebarkan senyumnya. Tak lama sang ibu datang dengan membawa dua gelas es teh manis di temani sekaleng cemilan. "Diminum Nak!" "Terima kasih, Buk." Sedikit lama berbincang, dan mengutarakan isi hati Tristan. Pemuda itu sudah meminta ijin untuk menjadikan Jovanka sebagai calon istrinya. Tentunya dengan tangan terbuka sang ibu merestui hubungan mereka berdua. Lagipula, Tristan juga anaknya baik. Ibu Jovanka menyukai kepribadian pemuda itu untuk mendampingi hidup putrinya. Tristan pamit pulang, karena belum sempat mengunjungi rumahnya semenjak pulang dari luar negeri. "Tan, hati-hati, ya!" Jovanka tersenyum seraya melambaikan tangannya. Tristan tersenyum, sedetik kemudian ia berlari mendekati Jovanka. Melihat ke sekeliling, merasa aman ia segera meraup bibir merah sang gadis. "Manis, gue suka. Besok gue minta lebih." Seringaian tajam terukir di bibir pemuda tersebut. Jovanka tersenyum malu, hatinya mendadak gemuruh tak karuan. Ah, sepertinya ia benar-benar jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada Tristan. Tristan berlalu pulang dengan menaiki taxi online. Meninggalkan sang kekasih, sebenarnya ia tak ingin melakukan hal itu. Inginnya bisa cepet halal dan hidup berdua selamanya. Malam pun tiba. Jovanka tersenyum sendirian menatap ponselnya yang tertera foto pemuda tampan yang tak lain adalah Tristan. Seolah yang dipikirkan panjang umur, tiba-tiba Tristan menghubunginya. Dengan cepat kilat, Jovanka mengangkat panggilan telphonenya tersebut. "Kenapa senyum-senyum?" tanya sang pemuda, yang terlihat tengah rebahan tak kalah jauh berbeda dengan Jovanka. "Enggak boleh senyum emangnya." "Boleh banget malah. Sayang, gue kangen." Mendengar panggilan manis itu Jovanka rasanya ingin terbang menembus plafon rumahnya. Anjim, tuh cowok pinter banget ngobrak-abrik hati Jovanka. Atau Jovanka nya aja yang kelewat baper. "Gue juga kangen, besok dateng ke rumah gue ya!" pinta sang gadis. "Tanpa elo suruh, gue juga bakal dateng. Sayang, boleh tanya sesuatu nggak?" "Apa?" "Em, itu ...-" Tristan sanksi ingin bertanya. "Apa?" Jovanka semakin dilanda penasaran. "Elo masih perawan kan? Gue takut saat gue pergi, elo udah diicipi orang." Jovanka terdiam, hatinya terasa sakit saat Tristan bertanya demikian. Seolah pemuda itu menganggap dirinya gampangan. "Gue nggak serendah itu buat ngasih mahkota gue pada cowok lain." datar Jovanka. "Gue nggak bilang elo rendahan Jov. Gue cuma ... gue cuma takut, kalau misal elo udah disentuh cowok lain. Seperti saat bersama gue dulu." lirih Tristan. Jovanka mengerti dengan maksud Tristan. Tapi jujur aja, selama ini ia tak pernah melakukan apa-apa dengan para kekasihnya, selain sebatas ciuman bibir. "Elo bisa buktiin sendiri, kalau masih nggak percaya." ucap Jovanka, entah mengapa ia begitu memantapkan hati untuk pemuda tersebut. Ia percaya sepenuhnya pada Tristan, bahkan ia rela memberikan semua miliknya untuk pemuda itu. Cukup sudah selama ini Tristan memberikan bukti besarnya cinta pemuda itu padanya. Sekarang giliran Jovanka yang membuktikannya. Tristan menelan ludahnya, apa Jovanka serius dengan ucapannya?. "Elo nggak lagi becanda kan?" Jovanka menggeleng, ia benar-benar serius dengan ucapannya. Ia ingin membuktikan pada Tristan, jika dirinya masih perawan. Keesokan harinya. Tristan sudah berada di kediaman Jovanka. Meminta ijin pada sang ibu untuk mengajak Jovanka main ke rumahnya. "Buk, saya mau minta ijin, mau mengajak Jovanka ke rumah saya." Sang ibu mengangguk, ia percaya jika Tristan bakal menjaga putri cantiknya. "Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut Nak bawa motornya." ucap sang ibu. "Iya, Buk!" sahut Tristan, yang mulai menstater motornya. Kini mereka berdua menuju ke rumah Tristan. Tak butuh waktu lama karena rumah mereka hanya berjarak beda komplek. "Ini rumah elo?" Jovanka menelisik rumah yang lumayan besar dibandingkan rumahnya tersebut. Kalau Tristan saja anak orang berada, kenapa dia harus repot-repot kerja sana-sini? Gumamnya. "Bukan, rumahnya tetangga gue. Ya, rumah gue lah Jov. Ya, kali gue bawa elo ke rumah tetangga." Jovanka tersenyum. Tristan langsung masuk ke dalam rumahnya. "Orang tua elo kemana?" tanya Jovanka, yang tak melihat atensi kedua orang tua Tristan. "Nyokap gue kerja, dan bokap gue pergi ke luar negeri nggak pulang-pulang." Jovanka mengangguk. Tiba-tiba saja Tristan menarik lengan Jovanka membawanya ke dalam kamar yang cukup luas, dengan nuansa gambar metal. Jovanka menelan ludahnya kasar. Sepertinya ada aura panas yang mendekati dirinya. "Tan, keluar yuk. Aku nggak enak nih." Tristan berseringai, mengunci pergerakan sang gadis di tembok kamarnya. "Maunya keluar di dalam aja." bisiknya. Jovanka membulatkan matanya, tidak! Ia belum siap. "Tan ... empphh!!" Tristan meraup bibir Jovanka, melumat dengan tak sabaran. Sungguh, ia sangat merindukan bibir manis milik gadis ini. Rasa rindu yang ia pendam beberapa tahun yang lalu sudah tak dapat ia tahan lagi. Sekarang sudah waktu yang tepat untuk memiliki Jovanka seutuhnya. Tristan mengangkat tubuh kecil Jovanka dan membantingnya di atas kasur empuknya. Jovanka lelah, ciuman yang diberikan Tristan benar-benar membuatnya hilang akal, tubuhnya terasa lemah untuk menolak. Ia pasrah apapun yang pemuda itu lakukan, ia hanya bisa menurut. Tristan membuka baju dan celana yang ia pakai. Menyisakan celana dalam ketat yang menampilkan benda besar berbatang yang tercetak jelas di bawah sana. Jovanka yang hanya memakai dress sebatas paha, tanpa sengaja menampilkan kedua paha putihnya, karena dorongan kasar yang dilakukan Tristan tadi. Tristan membasahi bibir bawahnya. Hasratnya sudah menggebu, setiap inci dari gadis di hadapannya sudah menjadi candu. Berlahan namun pasti, pemuda itu membuka kain penutup yang menutupi tubuh sang kekasih. Hingga meninggalkan penutup d**a dan penutup area bawahnya saja. Dua bongkahan kembar yang terlihat kencang dan kenyal di balik penutupnya. Ingin segera ia rasakan. Tristan merangkak di atas tubuh gadis tersebut. Yang kini tengah menetralkan napasnya. Hingga tanpa sengaja, d**a naik turunnya bergesekan dengan d**a sang pemuda. Untuk yang pertama kalinya, Tristan mencoba menyentuh gundukan putih itu. Memberi elusan kecil, hingga lama-lama memberi pijatan lembut. Membuat Jovanka semakin menggeliat. Dengan kedua mata tertutup dan bibir bawah yang digigit. Menambah kian hasrat Tristan semakin memuncak. Tristan semakin lihai meremas dua bongkahan kembar milik Jovanka. Yang entah kapan sudah tak ada kain penghalang lagi. "Emhh, sakit ...," rintih Jovanka, karena Tristan tanpa sengaja meremat dua miliknya terlalu bersemangat. Seolah abai, Tristan mengecup brutal kedua gundukan kenyal itu. Memberinya tanda merah di sana sini. Menyapu lembut n****e kemerahan milik Jovanka. Menggigit kecil, sesekali memberikan hisapan lembut. Jovanka semakin menggeliat, ia tak pernah merasakan kenikmatan seperti hari ini. "Tanhh ... geli, pengen pipis," Jovanka semakin menggesekkan kedua pahanya. Menahan rasa aneh yang semakin panas. Tristan tersenyum ia bahkan sengaja mengarahkan tangan kanannya, meraba area bawah sang gadis yang masih tertutup kain di sana. Memberinya gesekan lembut pada area bawah sang gadis. Yang mana semakin membuat Jovanka menggelinjang. "Jangan sentuhhh, empph!" Jovanka membekap mulutnya sendiri agar tidak menjerit. Namun Tristan semakin mempercepat tempo gesekannya. Berharap jika sang gadis akan segera mencapai titik puncaknya. Jovanka merasa tersiksa sekaligus menikmati permainan yang dilakukan Tristan. Hingga beberapa saat kemudian, kain penghalang itu terasa panas oleh cairan yang merembes dari dalam l**************n Jovanka. Tristan tersenyum, menatap jemari kanannya yang basah oleh cairan kenikmatan sang gadis. "Tidak cukup sampai di sini, Sayang. Aku belum membuktikan kebenarannya." bisiknya sensual, di samping cuping telinga sang gadis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD