MDU 21

1058 Words
Jovanka membenturkan punggungnya di tembok belakangnya. Tubuhnya tiba-tiba melemas, seolah ucapan Mico mampu meruntuhkan segalanya. Hati gadis itu hancur, degupan jantung terasa berhenti begitu saja. Seakan nyawanya tercabut paksa. 'Tristan mau menikah dengan gadis lain' Setan dalam hati Jovanka terus berbisik. Sampai-sampai dia tak mendengar, jika sambungan telponnya dengan Mico masih terhubung. "Jov! Elo masih di situ?" tanyanya dari sebrang, karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang gadis. "I-iya ... sorry, tadi gue ngelamun." gugubnya. "Kenapa? Maafin gue, gara-gara gue ngasih tau hal ini ke elo, elo jadi sedih." sesal Mico. "Nggak apa-apa, justru gue yang harusnya berterima kasih ama elo. Karena elo udah ngasih tau gue, kalau enggak ...--" Jovanka menjeda ucapannya. "Kalau enggak, mungkin gue akan tetap seperti cewek bodoh. Yang tetap ngarepin cowok, yang jelas-jelas udah milih cewek lain." Senyum miris terukir di bibir gadis cantik itu. Tak berapa lama Tristan menghubungi Jovanka. "Eh, Mic ... gue matiin dulu ya! Tristan nelpon nih." Terdengar kekehan dari sebrang. "Elah ... Jov ... Jov ... udah tau dikhianatin, masih aja elo respect ama dia. Gue kasihan sama elo." "Ck, udah gue matiin!" Tak suka Jovanka. Sedikit berpikir menatap layar ponselnya, yang masih tertera nama Tristan memanggil. Enggan untuk menjawab, tetapi hati memaksa untuk bicara pada pemuda itu. Ketika teringat ucapan Mico, hati kecilnya terasa tercubit. Jika ia marah dan tidak mengangkat panggilan telphone Tristan. Tristan juga tidak akan peka, pemuda itu tidak mungkin akan kebingungan mengejarnya. Atau bahkan mungkin dia akan beralih menghubungi kekasihnya. Ah, tidak. Jovanka tidak ingin kehilangan Tristan. Ia harus memperjuangkannya, sekalipun harus menanggung luka hati. Ck, kenapa jadi Jovanka yang ngejar-ngejar Tristan gini sih? Mana kamus yang mengatakan jika seorang Jovanka mustahil mengejar cowok, pantang bagi Jovanka mencintai seorang cowok, harus cowok yang ngejar-ngejar dia dan mengemis cintanya. Tapi sekarang buktinya ... Jovanka sendiri yang mematahkan kata-kata per-kamusannya sendiri. Panggilan tersambung. Masih diam, tiada yang angkat bicara. Jovanka merasa geram, hatinya sudah terbakar api. Niat hati ingin bersabar dan tidak mengeluarkan api dari hatinya. Bayangkan saja jika tiba-tiba Jovanka tidak bisa menahan dan tiba-tiba api keluar dari dalam mulutnya saat dia berbicara, apakah tidak seperti seekor naga betina? Aish!! Jovanka jadi berpikiran absurd. "Elo niat telphone nggak sih?? Ngapain diem? Kalau nggak niat mending nggak usah telphone, ngabisin batre gue aja lo!!" ketus Jovanka, sedikit meluapkan isi hatinya. Tristan sedikit heran, kenapa Jovanka berubah kasar kek gini? Nggak biasanya juga dia nyolot ngomongnya. "Maaf, gue lagi makan. Gue cuma mau dengerin suara elo Jov." Jovanka terdiam. Jadi Tristan nelpon gegara pen denger suara dia aja? Entah harus senang atau biasa aja. Ah, senang aja lah, senyum Jovanka mengembang. Namun, saat kembali mengingat ucapan Mico tadi ... senyuman mengembang itu lenyap seketika. "Elo udah mau kerja lagi?" tanya Jovanka, dengan nada lembutnya. "Iya, kurang sepuluh menitan. Masih ada waktulah buat ngobrol bentaran." "Kenapa tiap nelpon gue, selalu mepet jam kerja? Kenapa nggak dari tadi-tadi aja? Kemana aja elo? Oiya ... gue lupa. Gue kan cuma cewek serepan elo. Ban serepan aja dibutuhin kalau pas lagi genting, nggak beda sama posisi gue." sedih Jovanka. "Jov, elo ngomong apa sih? Kenapa elo bisa ngomong kek gitu? Elo berharga bagi idup gue, Jov!" "Kenyataannya emang kek gitu, Tan. Sekarang gue tanya ama elo. Seberharga apa posisi gue di mata elo?!" Tristan terdiam, dia bingung harus menjawab bagaimana. Posisi Jovanka sekarang setingkat dengan posisi Lea. Lebih tinggi Lea malahan, karena dia sudah berhasil mendekati kelurganya. "Jov-- "Udah nggak usah dijawab. Gue paham kok, gue cukup tau diri. Gue sadar siapa diri gue, gue cuma penghibur di saat elu lagi sedih. Selebihnya, gue udah nggak ada guna lagi." Jujur, Jovanka udah nggak tahan pengen nangis sekarang juga. Jika saja tak ingat, bahwa dirinya tak boleh lemah. Jovanka harus kuat, dia nggak boleh nangis hanya karena seorang cowok. Cowok masih antri di luar sana buat jadi pendamping hidupnya, bukan cuma Tristan. Jovanka menyemangati hatinya sendiri. "Jov, semua yang elo ucapin nggak bener. Elo jangan sok menyimpulkan kebenaran sesuai pemikiran elo sendiri. Gue nggak nganggep elo kek gitu." "Terus, kalau boleh tau, elo nganggep gue kek gimana? Sepenting apa diri gue di mata elo?! Seberharga apa gue buat elo?!" Tristan memejamkan kedua matanya. Baiklah, semoga ia bisa mempertanggungjawabkan apa yang bakal ia ucapkan saat ini. "Elo berharga bagi hidup gue, elo tetap jadi yang pertama menempati hati gue. Karena gue ... cinta sama elo Jov. Gue nggak mau kehilangan elo buat yang kesekian kalinya. Gue cinta sama elo, gue pengen jadiin elo yang terakhir dalam idup gue." Jovanka tertawa miris, begitu ringan Tristan berucap demikian. Padahal dia sudah akan menikah dengan gadis lain. Dia pikir ngendaliin hati itu mudah apa? Sekarang memberi harapan setinggi langit. Tiba saatnya dia nikah, harapan tinggi yang ia berikan ke Jovanka akan ia lepas begitu saja. Ck, Jovanka yang malang. Terombang-ambing dalam harapan palsu. Jovanka menertawakan nasibnya. "Tan, jangan ngucapin kata-kata yang nggak bisa elo tepatin suatu hari nanti. Jangan beri gue harapan, jika nyatanya harapan itu bukanlah untuk gue. Mending elo fokus sama hubungan elo yang sesungguhnya. Lepasin gue pelan-pelan, jika emang elo udah milih dia. Jangan beri gue harapan lebih Tan. Elo tau sendiri kan? Gue masih cinta sama elo. Sekali elo beri gue harapan manis, hati gue udah berbunga-bunga. Tan ... boleh gue tanya sesuatu sama elo?" Tristan tertegun mendengar penuturan Jovanka, seolah gadis itu sudah mengetahui semuanya. Perihal hubungan serius yang akan ia jalin dengan Lea. "Tanya apa, Jov?" lirih Tristan, dia lemah kalau denger suara sedih Jovanka yang kek gini. Mending denger suara sarkas nya aja tiap hari. "Apa elo ngelakuin ini cuma pen bales dendam masa lalu kita? Elo pengen nyakitin gue, biar gue bisa ngerasain apa yang elo rasa? Iya, kan, Tan? Kalau bener kek gitu, mending elo hempasin gue aja sekarang. Karena gue udah nggak kuat, gue nggak bisa bayangin kalau misal suatu hari nanti, di saat cinta gue makin berkembang. Elo ninggalin gue gitu aja, gue bener-bener nggak bisa bayangin. Sakitnya kek apa, Tan ... jangan siksa gue seperti ini." isak Jovanka, ia tak tahan memendam rasa yang sedari tadi menggumpal di dalam dadanya. Tristan meraup wajahnya, dia bener-bener bimbang sekarang. Haruskah ia melepaskan Lea? Gadis yang belum lama ia kenal? Dan kembali memilih Jovanka. Yang udah lama ia impikan. Namun Tristan juga takut, misal dia melepaskan Lea, lalu Jovanka kembali menghianati dirinya. Tristan takut hal itu terjadi. Pada nyatanya mereka sama-sama mengalami ketakutan di masa lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD