MDU 20

1732 Words
Seperti biasa, Dani selalu nyamperin Jovanka. Buat dia ajak malam mingguan. Tapi malam ini tuh cewek keknya lagi males keluar ama tuh cowok. Dengan alasan lagi dapet, perut melilit. Padahal mah, dia pengen keluar ama gebetan dia yang lain. "Tumben absen!" cerca Bela, yang sudah hapal dengan tabiat sahabatnya. "Males gue." "Wih ... nggak salah denger nih gue? Jovanka Lovata sang pecinta brondong tajir, males malmingan. Ada angin apa nih?" Jovanka nyengir bodoh. "Gue ada janji ama cowok sebelah." "Ck, udah gue duga. Mana mungkin elo hiatus kencan. Kek ada keajaiban ilahi gitu kesannya." Jovanka cemberut. "Elo gitu amat sih ama gue," cicitnya. "Lha emang bener kan?" "Ya, bener sih. Hahaha ...." Setelah sedikit bercengkrama, tak lama jemputan Jovanka datang. Kali ini gebetan tuh cewek bawa mobil. Jovanka meneguk ludahnya, bukan karena terpana dengan mobil mewah punya tuh cowok. Tapi karena dia takut, belum pernah ketemu. Gimana kalau tar dia diculik, terus di perkaos. Aduh, nggak kebayang deh pokoknya. "Ayo naik," ajak pemuda itu, tersenyum manis. Namun mengerikan di mata Jovanka. "Em, kita ngobrol di kafe depan itu aja ya." tunjuknya, pada kafe kecil di sebrang jalan. Pemuda itu mengangguk, ada raut sedikit kecewa yang terlihat dari raut wajahnya. Mereka pun akhirnya mengobrol kecil. Hanya berbincang ringan saja, Jovanka sudah merasa risih. Pemuda itu terlalu sombong. Hah, bukan tipe Jovanka sama sekali. Lagi-lagi ia kembali teringat Tristan. Kenapa ia tidak bisa bertemu lagi dengan cowok semacam Tristan di dunia ini. Tiba-tiba phonesel Jovanka berdering. Tertera nama Tristan di sana. Senyum lebar tertera di bibir Jovanka. "Gue harus balik. Ada hal penting!" ucapnya, mengabaikan teriakan pemuda yang kini berada di belakangnya. Jovanka buru-buru masuk ke dalam kontrakannya. Mengangkat panggilan telphon dari sang pujaan. Tak lupa ia menghapus riasan yang menempel di wajahnya. "Hai, lagi ngapain?" tanyanya gugub. Ada desiran lembut yang menyapa hatinya. "Lagi rebahan, elo abis dari mana?" tanya pemuda itu. "Em, nggak dari mana-mana." bohongnya. Tristan tersenyum, ia tak akan mudah mempercayai gadis itu begitu saja. Terlalu sering di khianati Jovanka, membuatnya semakin banyak belajar. "Kenapa elo harus bohong sama gue? Elo keluar sama cowok lain, gue juga santai aja." Kicep, hati Jovanka terasa tersayat pisau tumpul. Gini yak rasanya nggak dipeduliin sama orang yang kita cinta. Sakit banget, tapi nggak ada yang tau gimana tuh gambaran sakit yang sesungguhnya. Apa ini yang Tristan rasain pas dulu Jovanka abaikan. "Kenapa diem?" tanya Tristan. "Enggak kok. Tan ...," panggil lirih gadis itu. "Elo nggak cemburu, misal gue jalan ama cowok lain?" Tristan malah terkekeh geli. "Jo ... udah gue bilang. Gue nggak bakal cemburu ataupun larang elo. Elo bebas jalan ama cowok yang elo suka. Begitu juga dengan gue. Jangan makek perasaan, kan elo sendiri yang bilang gitu. Masa elo lupa?" Jovanka menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak yang tiba-tiba terasa menyerang hatinya. "Elo udah bener-bener nggak ada perasaan ama gue, Tan?" "Kapan gue bilang nggak punya perasaan sama elo, Jov? Gue masih sayang ama elo. Cuma ... gue mau bebasin elo aja. Gue takut, kalau gue terlalu cinta sama elo. Entar elo tinggalin gue lagi." Jovanka memejamkan matanya, begitu kecewakah Tristan kepadanya. Hingga merasa trauma hanya sekedar memberikan cinta padanya?. 'Tan, jangan gitu. Cukup Tan! Sakit hati gue, denger ucapan elo. Gue pengen, elo jadi Tristan yang gue kenal. Tristan yang selalu setia, perhatian, dan posesif ama gue.' batin Jovanka, menangis. "Jov, keknya elo udah nggak minat ngomong ama gue. Gue tutup aja ya," ijin pemuda itu. "Jangan! Gue masih pen ngobrol ama elo." "Dari tadi diem aja. Gue pikir udah males ngomong ama gue." "Tan, di situ ada pekerja cewek nggak?" Tristan tertawa, pertanyaan macam apa itu. Namanya juga restauran, ya ... pastilah banyak ceweknya. "Banyaklah ... kenapa?" Jovanka lagi-lagi ingin berteriak, kenapa ia bisa bertanya hal bodoh seperti itu? Sudah jelas jawaban Tristan akan semakin membuatnya sakit. Ucapan Tristan yang keterlaluan, atau karena Jovanka yang terlalu baper?. "Cantik-cantik ya, pasti?" Lagi-lagi mulut bodoh Jovanka berucap salah. Tristan yang memang tak peka hanya menjawab apa adanya. "Iya, cantik-cantik. Banyak yang dari Thailand juga." "Yang dari Indonesia ada nggak?" Nah kan ... dia yang bertanya, dia juga yang terbakar emosi. "Banyaklah, kenapa sih?" Heran Tristan. "Elo pernah pacaran ama mereka?" Tristan yang mulai sadar dengan kecemburuan Jovanka segera mengalihkan pembicaraan. "Jov, udah deh. Jangan mulai lagi. Tanya yang lain kek? Masak apa hari ini? Gitu misal." Jovanka tak menggubris, hidungnya sudah kembang kempis. Napasnya mulai memburu. Kedua matanya sudah memanas, siap menumpahkan cairan beningnya. "Jawab pertanyaan gue, Tan! Elo pernah pacaran ama mereka, kan?!" Jovanka berteriak emosi. "Jov, udah deh. Jangan mulai ya ...," lembut Tristan. "Hik ... hik ... jawab gue, Tan!" Mengalir sudah air mata yang sedari tadi ia tahan. Tristan hanya bisa meraup wajahnya kasar. Tak habis pikir dengan tindakan Jovanka yang begitu berbeda. Di mana gadis ketus yang dulu ia kenal?. "Jov ... jangan nangis ya, gue nggak bisa tenangin elo." bingung pemuda itu. "Cepet pulang! Gue pen mukul elo!" teriak Jovanka, disela tangisannya. "Belum waktunya, Jov. Kontrak kerja gue belum abis." "Bilang aja, Kalau elo masih mau seneng-seneng sama cewek di sana." Tristan mengusak rambutnya kasar. Rasa kantuk yang sedari tadi mendera kedua matanya lenyap seketika. "Jov, ngertiin gue. Gue nggak kek--" "Mana tanggung jawab elo?! Elo udah prawanin gue. Jangan-jangan elo juga lakuin hal yang sama, pada gadis-gadis di sana. Iya kan? Atau mungkin elo udah kelon sama mereka!" Cukup sudah kesabaran yang Tristan pertahankan sedari tadi. Jovanka sudah sangat keterlaluan. Namun ia juga tak tega membentak gadis itu. "Mending elo tidur ya Jov. Biar nggak marah-marah lagi. Gue juga ngantuk, bentar lagi gue kerja." tanpa menunggu jawaban dari Jovanka. Tristan memutuskan sambungan telponnya. Yang mana hal itu semakin membuat Jovanka emosi. Pikiran negatif mengenai Tristan semakin menjadi. "Tristan sialan! Lelaki kadal, lelaki bunglon, lelaki biawak!!!" umpatnya, kesal. Ingin melempar ponselnya, namun sayang baru aja beli. "Tan!!! Elo gila!!" marahnya. Tak menyadari bahwa cinta yang tumbuh di dalam hatinya saat ini membuatnya hilang akal sehat. Memang benar apa kata orang, jika cinta itu gila. Jovanka menubrukkan tubuhnya di atas kasur, menangis semalaman. Melampiaskan rasa kesalnya. Ia bingung dengan perasaannya, antara rindu atau benci. Atau mungkin saja ia terlalu merindukan sang pemuda, hingga membuatnya berasumsi negatif. Karena terlalu mencinta sosok itu. Tristan merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit ruang kamarnya. Dengan berbantalkan kedua lengannya. "Jov, apa elo bener-bener udah ngerasain cinta sama gue? Gue takut, jika elo masih sama seperti Jovanka yang dulu gue kenal." gumam Tristan. Tak lama ponselnya berdering, tertera nama Jovanka di sana. "Pasti elo mau lanjutin marah elo lagi." tebaknya, tanpa ada niatan untuk mengangkat panggilan telphonenya. Hingga beberapa detik kemudian. Muncul kembali notis pesan chat. Tristan sengaja membuka pesan tersebut tanpa ingin membalas nya. "Gue benci sama elo!!" "Elo pasti lagi selingkuh kan?" "Elo pasti lagi kelon sama cewek elo kan?" "Bales b*****t! Jangan cuma elo baca doang!" Masih banyak lagi kata-kata mutiara yang Jovanka lontarkan. Membuat Tristan semakin kesal. Tanpa banyak berpikir ia mematikan ponselnya. Dan beralih tidur. Jovanka meraung kesetanan. "Sialan! Kenapa HP nya malah dimatiin?!" marahnya. "Udah gue duga. Pasti dia lagi selingkuh!" Keesokan harinya. Jovanka sampai tak masuk kerja. Karena malu kedua matanya tak bisa melihat. Mata sembab bagaikan habis di tonjok. Tristan terbangun dari tidurnya. Menatap layar ponselnya yang baru saja ia aktifkan kembali. Tak ada lagi pesan dari sang gadis. Membuat Tristan bisa bernapas lega. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya. Haruskah ia menghubungi gadis itu?. Ia sedikit bimbang, takut jika Jovanka ngamuk lagi. "Ck, mending gue kerja." putusnya. Jovanka merasa kepalanya sangat pening. Semalaman menangis bagaikan orang gila. "Dia nggak ngubungin gue. Bener-bener b*****t! Nggak tanggung jawab. Udah bikin anak orang nggak waras." gerutunya. Tak lama ada pesan singkat masuk. Senyum manis tergambar di bibir gadis tersebut. Nama Tristan begitu spesial untuknya. Tertera pesan. "Jov, maafin gue. Tadi malem gue ketiduran." Entah mengapa, hanya sekedar membaca kata maaf dari pemuda itu membuat hatinya menghangat. Jovanka mulai meragukan kewarasannya. "Jual mahal ah, nggak gue bales. Biar kesannya dia ngejar-ngejar gue." kikik Jovanka. Berharap jika Tristan akan memohon padanya seperti dahulu. Namun salah, nyatanya Tristan tak lagi mengirimkan pesan untuknya. Pemuda itu terlalu acuh terhadap Jovanka. Mungkin saja, pemuda itu tak lagi ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti terdahulu. Untuk apa mengejar gadis yang akan berakhir membuang mu, jika di luar sana masih banyak gadis yang membutuhkanmu. Malam ini, waktunya pergantian shift. Tristan mengakhiri pekerjaannya. Dan duduk di pinggiran tempat peristirahatan. Bersama kakaknya-Dino. Yang memang satu kerjaan dengannya. Ditambah satu lagi Mico. "Gimana hubungan elo sama Lea? Seriusan mau elo nikahin tuh cewek?" tanya sang kakak. Dulu memang mereka tak terlalu dekat. Tapi sekarang semua berbeda, mereka hidup di negri orang. Jadi, saling membutuhkan. Tristan hanya tersenyum. "Kakaknya nyuruh gue buat cepet pulang, Bang. Dia pengen gue nikahin adeknya, buat bukti kalau gue serius sama Lea." Dino hanya menggeleng kecil. "Terus gimana dengan Jovanka? Elo tega nyakitin dia?" Tristan terdiam. "Gue nggak tau, Bang. Gue bingung." "Elo harus punya pendirian Tan. Kalau elo nggak sanggup bahagiain Jovanka. Mending elo kasih ke gue. Gue rela nikahin Jovanka. Karena gue yakin, dia gadis baik-baik." Entah mengapa Tristan sedikit tak suka dengan ucapan sang kakak yang menurutnya sudah kelewatan. "Bang. Elo jangan macem-macem! Jovanka milik gue, dan enggak akan gue bagi ama siapapun." emosinya. "Egois elo Tan. Elo nggak mikirin gimana perasaan Jovanka, misal elo beneran nikah sama si Lea. Bener-bener nggak kebayang gue. Kalau elo enggak bisa memberi kepastian, mending elo nggak usah beri dia harapan." Selepas memperingati sang adik, Dino berlalu pergi. Tristan menimang ucapan sang kakak. Dia kembali memikirkan Jovanka, gimana dengan Jovanka? Jika ia memilih Lea. Bagaimana dengan Lea jika ia memilih Jovanka. Argghhh!!! Tristan pusing. Tanpa diduga, Mico iseng menghubungi Jovanka. Biar bagaimanapun ia pernah memiliki rasa pada gadis itu. Ia juga tak rela misal melihat Jovanka dipermainkan oleh Tristan. "Hai Jov!" sapanya, lewat video call. "Baik, dapet nomor gue dari mana?" "Nggak penting. Elo makin good looking aja." "Nggak usah gombal. Mau muntah denger gombalan receh elo." Mico terkikik geli. "Gimana hubungan elo sama Tristan?" Jovanka terdiam. "Gue nggak ngerti, gue cuma ngerasa kalau Tristan nggak punya rasa lagi ama gue." "Dia udah mau nikah." ucap Mico to the poin. Jovanka terkejut bukan main. Apa ia tak salah dengar? Jadi selama ini, ia cuma dipermainin Tristan? Jovanka memang sudah tau jika Tristan memiliki kekasih, tapi jujur, tak terbayangkan olehnya jika Tristan bakalan cepet nikah. Jovanka merasa bodoh selama ini, karena menyimpan perasaan pada cowok yang sudah memilih cewek lain. "Gu-gue ... kenapa gue nggak tau?" lirihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD