#R – Kasih Yang Tidak Berbalas

2090 Words
            Vanila memandang kearah langit yang pagi itu terlihat sangat cerah, bibirnya melukiskan sebuah senyuman saat hatinya merasakan sebuah ketenangan. Seperti itulah memang Vanila, saat hatinya merasakan sesuatu yang tidak enak, cukup memandang langit maka hatinya akan merasakan sebuah ketenangan. Cerahnya langit pagi itu, seakan menjadi obat untuk hati Vanila oleh kejadian tadi pagi yang berhasil menyentil perasaannya.             “Jangan nangis Vanila, kamu terlalu kuat untuk dikalahkan keadaan” gumam Vanila, menyemangati dirinya sendiri.             “Masih ada waktu 20 menit lagi, gak papa olah raga biar badan makin laxing” gumam Vanila, sambil menatap lurus jalan yang harus dia lalui menuju sekolah.             Vanila kembali melanjutkan larinya menuju sekolah, pagi itu dia memang terpaksa hari berangkat sekolah dengan jalan kaki. Karena pagi itu dia tidak mendapatkan uang jajan, jadi dia tidak bisa berangkat menggunakan angkutan umum. Namun, saat itu Vanila berusaha untuk tidak mengeluh, dia berusaha tegar dengan takdir yang pagi itu harus dia hadapi.             Saat ini, Vanila tidak memiliki siapapun untuk mengeluh dan berbagi cerita, Vanila sadar jika tidak mempunyai teman untuk dijadikan tempat berkeluh kesah. Dia sadar jika sekarang dia hanya mempunyai dirinya sendiri, dari kehidupannya Vanila sadar jika dia tidak bisa selamanya bergantung pada makhluk, dia hanya bisa berkeluh kesah pada dirinya sendiri.             “Dikit lagi Vanila, dikit lagi” guman Vanila, dengan nafas ngos – ngosan saat dia melihat gerbang sekolah sudah ada didepan matanya.             Saat itu, sebanarnya Vanila sudah tidak memiliki tenaga untuk berlari lagi, hanya saja Vanila berusaha memaksakan dirinya lebih kuat agar kakinya bisa segera sampai didepan gerbang sekolah. Meskipun, Vanila yakin jika gerbang sekolahnya pasti sudah ditutup. Namun, Vanila merasa jika dia semakin cepat sampai maka dia tidak akan terlalu jauh tertinggal pelajaran.             “Loh, Vanila kenapa  kamu terlambat lagi ?” tanya satpam, yang pada itu melihat Vanila baru saja muncul di depan gerbang dengan nafas ngos – ngosan.             Belum sempat, Vanila menjawab pertanyaan satpam, tiba – tiba seorang laki – laki dengan garis wajah ketegasan muncul menghampirinya, selama beberapa saat, dia menatap Vanila dari atas hingga bawah. Vanila tidak bisa melakukan apapun, dia hanya bisa diam menundukan kepala karena takut. Takut sekaligus menunggu hukuman apa yang akan dia dapatkan pagi itu.             “Vanila, untuk yang ketiga kalinya kamu terlambat, kamu tahukan kamu apa hukuman yang harus kamu lakukan karena keterlambatan kamu yang sudah hampir 40 menit ini ?” tanya Pak Hardi, Wakil Kepala Sekolah.             “Keliling lapangan 80 kali Pak” ujar Vanila, sambil menundukan kepala.             Pak Hardi langsung menggeser posisi tubuhnya, memberikan jalan kepada Vanila untuk langsung berlari memutari lapangan. Saat itu, sebenarnya Vanila sudah sangat lelah, dia juga tidak sarapan jadi tenaganya sudah habis terkuras saat dia berlari dari rumah hingga ke sekolah. Tadi saja, dijalan mata Vanila sudah sempat berkunang – kunang, dan sekarang hanya membayangkan jika dia harus kembali mengelilingi lapangan rasanya Vanila sudah tidak sanggup. Jika saja dia berani, dia ingin sekali meminta izin untuk istirahat sebentar saja.             “Pak, Vanila lagi sakit, liat Pak wajahnya aja udah pucet gini Pak, kalau nanti dia pingsan gimana ? lagi pula Vanilakan harus jaga kesehatannya dengan baik, minggu depan dia harus wakilin sekolah buat olimpiade, kasih keringanan ya Pak, selama inikan dia selalu memberikan prestasi buat sekolah”             Vanila langsung menoleh saat dia mendengar suara seseorang sedang memohon sambil menyebut – nyebut namanya. Matanya langsung membulat, saat dia melihat sahabatnya Anya sedang berdiri sambil memohon – mohon kepada Pak Hardi. Sahabatnya yang satu itu memang sangat ajaib, dia seakan tidak mempunyai rasa takut sedikitpun, dengan cepat Vanila berjalan menghampirinya. Namun, saat Vanila berniat mengajak Anya pergi dari hadapan Pak Harg, pria berstatus wakil kepala sekolah itu seakan memanggil Vanila, matanya menatap Vanila dari atas hingga bawah.             “Anya, antarkan Vanila ke kantin, dan Vanila, ambillah jajanan sesuka yang kamu inginkan, biar nanti saya yang akan membayar, ingat mulai hari ini saya bebaskan kamu untuk jajan dikantin tanpa harus membayar” ujar Pak Hardi, membuat Anya yang menarik tangannya dengan kasar dari tangan Vanila.             “Saya juga sekalian kan Pak ?”  tanya Anya, dengan tidak ada takutnya.             Pak Hardi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Anya, laki – laki berusia setengah baya itu hanya menatap Anya dengan tatapan tajam, tanda jika dia tidak memberikan fasilitas yang sama kepada Anya. Melihat tatapan Pak Hardi, Anya hanya tersenyum sambil menunjukan deretan gigi rapihnya, kemudian pamit pergi sambil menarik tangan Vanila. Seperti itulah jika berteman dengan Anya, gadis ceria yang seakan tidak pernah punya rasa takut dan malu dalam waktu beersamaan, keceriaan yang dia meliki seakan menebarkan aura positif pada orang – orang terdekatnya.             “Sumpah, nyesel gue bujuk Pak Hardi buat kasih keringanan sama lo Van, gue gak nyangka dia bakal kasih keringanan sampai masalah jajan juga, masih mendeng dia juga kasih gratisan buat gue lah ini mana” ujarnya, saat mereka sudah sampai dikantin.             Vanila tidak banyak menimpali perkataan Anya, Vanila hanya tersenyum. Karena, Vanila tahu jika apa yang Anya katakan hanya terucap dari lisannya saja, bukan dari hatinya. Vanila juga tahu kalau Anya memiliki orang tua yang berada, jadi dia tidak mungkin membutuhkan jajan gratisan seperti dirinya.             “Nih makan, udah dikasih gratisan lo harus manfaatin yang baik, kalau perlu elo jajan yang banyak sampai dompet tuh kepala sekolah abis isinya” ujar Anya, sambil menyerahkan nampan berisi bakso, karena setelah tadi sempat mendumel dia berlalu pergi begitu saja, dan ternyata dia kembali sambil membawa bakso.             “Makasih ya Nya, kamu enggak jajan juga ?” tanya Vanila, saat gadis itu hanya membawa satu mangkuk bakso saja.             “Gue beli mie ayam Van, bentar lagi juga di anterin sama si abang” ujar Anya, sambil memendang Vanila dengan posisi menyangga dagu dengan tangannya.                Vanila hanya mengangguk – agukan kepalanya, kemudian dia kembali fokus menyantap bakso yang sudah Anya bawakan untuknya. Setelah lari marathon dari rumah hingga ke sekolah yang jaraknya Vanila tidak tahu seberapa jauh, ditambah tadi pagi dia tidak mendapat jatah sarapan, bakso itu cukup menggugah selera Vanila, dan meninggkatkan tenanganya yang sudah hilang juga.             “Van, lo tinggal dirumah gue aja napa sih, Mamah sama Papah gue udah kasih izin juga, kenapa elo masih gak mau ?” tanya Anya, sambil menyantap mie ayam yang sudah diantarkan pedagangnya.             Sesaat Vanila menghentikan kegiatannya, dia menatap kearah Anya. Kemudian sebuah senyuman terbit dari bibirnya yang masih terlihat puca.             “Ngapin sih Nya, aku kan masih punya orang tua, masih punya rumah juga” ujar Vanila, sambil melanjutkan makannya.             Mendengar jawaban Vanila, Anya hanya mendengus, tidak tahu untuk yang keberapa kalinya Anya mengajak tinggal dirumahnya, dan jawaban yang Anya dapatkan selalu saja sama. Padahal, Anya tahu, serapat apapun Vanila berusaha menyembunyikan tentang kejahatan keluarganya, dia akan tetap merasakannya.             “Tangan lo kenapa ? kemarin masih gak papa, ko sekarang udah diperban aja” tanya Anya, berhasil membuat Vanila terdiam, Anya melirik kearah Vanila sambol berpura – pura fokus memakan mie ayamnya.             “Mah liat Mah, PR aku belum dikerjain sama Kak Vanila, dia sengaja enggak ngerjain biar aku kena hukuman, padahal tugasnya hari ini harus dikumpulin” ujar Abimana, sambil memperlihatkan buku tugasnya yang belum dikerjakan satupun.             Mamah Herma langsung menatap kearah Vanila dengan tajam yang pada saat itu sedang berada diruangan setrika yang jaraknya memang sangat dekat dari meja makan. Saat it, Vanila sedang menyenrika baju Abimana karena semalam dia lupa melakukannya. Kemudian, dengan tiba – tiba Mamah Herma menarik rambut Vanila hingga membuat kepalanya mendongak.             “Kenapa kamu enggak kerjain tugasnya Abi ?” tanyanya, sambil menarik rambut Vanila semakin kencang.             “Tugas apa Mah, semalam tugas Biologi Abi udah aku kerjain, tadi pagi udah aku kasih, memang tugas apa yang belum ?” tanya Vanila, sambil memegang tangan Mamah Herma agar tidak terlalu keras menarik rambutnya.             “So, soan lupa lagi, liat tugas matematikanya masih kosong, sengaja kamu, iya sengaja biar Abi nilainya jelek terus dia kena hukuman” tanya Mamah Herma, semakin menarik rambut Vanila.             “Apa gunanya tangan kamu ini kalau gitu” lanjut Mamah Herma, sambil menempelkan setrika dijari tangan Vanila, membuat gadis itu menjerit kesakitan dengan air mata yang tumpah dari pelupuk matanya.             “Pagi ini gak ada sarapan dan uang jajan buat kamu, nih sebelum kamu berangkat, kerjain dulu tugas Abi, masih ada waktu sambil nunggu Abi sarapan” ujar Mamah Herma, sambil mendorong kepala Vanila yang sempat dia jambak.             Vanila hanya menganggukan kepala sambil mengipas – ngipas tangannya yang baru saja terkena setrika, kemudian dia berjalan mengehampiri Abi yang masih menggunakan kaos dalaman sedang duduk dimeja makan.             “Abi, ini bajunya udah Kakak setrikain, pakainya nanti aja abis sarapan biar enggak kusut lagi, Kakak simpan bajunya disofa depan ya” ujar Vanila, sambil berlalu pergi membawa kemeja sekolah dan buku tugas Abi ke ruangan depan.             Vanila langsung mengerjakan tugas Abi, dia berusaha mengerjakan tugas itu lebih cepat, karena jika Abi selesai sarapan dan tugas belum selesai, dia pasti akan terkena marah lagi. Sudah cukup pagi ini tangannya menjadi korban, dia tidak boleh memiliki luka lain karena hal itu pasti akan menimbulkan pemikiran buruk dari teman – teman dan gurunya apalagi Anya.             Vanila tersenyum sambil fokus menyantap makanannya, bayang – bayang kejadian tadi pagi masih terekam sangat jelas dalam ingatan Vanila, hanya saja Vanila berusaha untuk melupakannya, karena jika terus dia ingat hal itu akan membuat hatinya semakin terluka, selain itu, ingatannya hanya akan menimbul penyakit hati.             “Enggak papa, cuma kecelakaan kecil aja tadi pagi” ujar Vanila, sambil melirik kearah Anya, yang saat itu masih asik memakan mienya.             Vanila berharap Anya akan percaya dengan jawabannya, karena sahabatnya yang satu itu, seakan bisa melihat apa yang terjadi dirumahnya dari jarak jauh saja. Setiap kali Vanila terkena masalah pasti dia bisa mengetahuinya. Saat itu, Vanila hanya melihat Anya mengangguk – anggukan kepala, tidak tahu karena dia percaya atau apa.             “Terus kenapa tadi lo kesiangan sampe 40 menit, ketinggalan upacara sama pelajaran pertama” tanya Anya, terlihat santai. Namun anehnya, semakin terlihat santai Anya bertanya, Vanila justru, merasa terintimidasi.             Dan, mendengar pertanyaan Anya kali ini, Vanila lagi – lagi terdiam. Dia berusaha mencari jawaban paling tepat dan jawaban yang tidak akan membuat Anya curiga nantinya.             Karena pagi ini Vanila tidak mendapat jatah uang jajan, berarti Vanila tidak bisa berangkat menggunakan angkutan umum, jadi saat melihat Papahnya hendak berangkat, Vanila langsung mengejarnya hingga ke depan teras rumah, dia berniat ikut dengannya yang akan berangkat bekerja.             “Pah, aku boleh ikut enggak pagi ini ?” tanya Vanila sambil tersenyum kearah Ayahnya.             Tidak ada jawaban yang Vanila dapatkan, laki – laki yang Vanila panggil dengan sebutan Papah itu hanya meliriknya sekilas kemudian bersiap hendak masuk ke dalam mobil. Sadar jika hal itu berarti Papahnya menolak, Vanila hanya bisa menghela nafasnya.             “Kalau gitu, aku boleh gak minta uang, buat ongkos naik bus aja” tanya Vanila, sambil menatap Papahnya dengan penuh harap.             “Minta sama Mamah” jawabnya singkat, sambil masuk ke dalam mobil.             Mendengar jawaban dari Papahnya, Vanila benar – benar bingung. Dia tidak mungkin meminta kepada Mamahnya, karena sudah dengan jelas perempuan itu mengatakan tidak akan memberi Vanila uang  Jajan, dengan tatapan sendu, Vanila menatap Papahnya yang sudah menyalakan mesin mobil dan bersiap berangkat.             “Pah apa aku punya salah yang bikin Papah marah sama aku ?” tanya Vanila, sambil menatap Papahnya dengan tatapan sendu.             Selama beberapa saat, Papah Vanila terdiam, kemudian dia menatap keatrah Vanila dengan tatapan yang sangat sulit untuk didefinisikan.             “Kesalahan kamu itu hanya satu, kamu yang menyebabkan istriku pergi, kamu yang membuat ibu kandung mu meninggal, kamu pembunuh ibu kandung kamu sendiri” ujar Papah Vanila, dengan tatapan benci dan sedih yang berbaur menjadi satu.             Sakit itulah yang Vanila rasakan, ayah kandungnya sendiri membencinya karena dia merupakan pembunuh ibu kandungnya. Tanpa sengaja setetas air mata jatuh membasih pipi Vanila, tapi dengan cepat dia langsung menghapusnya. Dia segera masuk ke dalam rumah dan mengobati lukanya dibantu oleh Bi Iyem, seorang Asisten Rumah Tannga. Baru setelah itu dia pamit pergi dengan berlari yang menyebabkan dia datang terlambat.             “Udahlah Van, jangan tutupin apapun lagi dari gue, gue tuh sedih setiap kali liat lo dateng ke sekolah dengan wajah pucet atau luka – luka yang ada ditubuh lo. Lagian lo yakin rumah orang tua lo itu beneran rumah bukan neraka, pulang ke rumah gue” ujar Anya, sambil menatap Vanila dengan penuh permohonan.             Vanila tersenyum sambil menggenggam tangan Anya yang ada diatas meja, “Aku gak papa Nya, mereka keluarga aku, sudah sepantasnya aku hidup bersama mereka, aku bahagia ko, jangan khawatir ya” ujar Vanila, dengan senyuman yang mengembang diwajahnya.             Jika jawaban Vanila sudah seperti itu, tidak ada yang bisa Anya lakukan. Meskipun dia sudah sangat ingin mangajak Vanila tinggal dirumahnya, tapi jika Vanila menolak dia bisa apa.z  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD