Vanila tersenyum sambil mengangkat sebuah piala dengan medali yang sudah terkalung dilehernya setelah pembawa acara menyatakan jika Vanila Assyifatu Haifah merupakan pemernagan olimpiade Sains dan Matematika, untuk yang kesekian kalinya Vanila berhasil mengharumkan nama sekolah. Dari atas panggung, Vanila bisa melihat dua orang guru yang sengaja menemaninya ditambah satu orang siswi yang sudah loncat – loncat tidak jelas, dialah Anya, sosok sahabat yang selalu menjadi pendukung Vanila dalam melakukan segala hal.
Kemudian, setelah penyerahan hadiah, Vanila langsung turun dari panggung dan berjalan menghampiri dua orang gurunya, mereka nampak tersenyum bangga dengan hasil yang Vanila dapatkan, mereka memeluk Vanila untuk mengucapkan selamat. Setelah selesai bercengkrama ringan bersama dua orang gurunya, dengan segala tingkah ajaibnya, Anya langsung memeluk Vanila tanpa rasa sungkan dengan gayanya yang heboh sehingga membuat guru mereka terkekeh melihat tingkah Anya.
“Sumpah Van ini keren banget, kayanya kalau gue ada diposisi elo, orang tua gue langsung hajatan tujuh hari tujuh malem” ujarnya, sambil memutar – mutar piala Vanila yang sekarang sudah beralih ke tangannya.
Melihat dan mendengar Anya, dua guru mereka hanya mampu menggelengkan kepala sambil menahan senyum, seperti itulah memang Anya, anak yang tidak punya rasa malu, dan selalu berekspresi apa adanya tanpa dia buat – buat, dan sikapnya itu kadang selalu membuat Vanila terhibur dengan semua permasalahan yang harus dia hadapi, sehingga membuat Vanila melupakan sedikit beban kehidupannya.
“Pak inikan udah masuk jam pelajaran akhir, kalau saya sama Vanila pulang ke sekolah pasti pelajaran udah selesai, jadi dari sini kita bisa langsung pulangkan ?“ tanya Anya, dia yang semula heboh sendiri dengan piala yang ada ditangannya tiba – tiba fokus menatap Pak Hardi bersama Ibu Kinaya, guru yang mengantarkan Vanila.
“Yang ikut olimpiade Vanila, yang menang juga Vanila, kenapa yang keliatan girang kamu, yang izin pulang juga kamu, heran saya, siapa suruh kamu ikut ke sini coba” ujar Pak Hardi, sambil memasang wajah galak yang tentu akan membuat para siswa ketakutan, tapi sepertinya tidak untuk Anya.
“Ih ko Bapak gitu sih, gini ya Pak saya jelasin, saya sama Vanila itu udah satu server, Vanila juga gak mungkin menang tahu Pak kalau enggak ada saya, kan saya itu pelengkap hidup dia, terus juga apa yang saya bilang tadi itu sebenarnya Vanila juga yang bilang, Cuma Vanila bilangnya lewat hati dan kedengaran sama saya, jadi deh saya wakilin dia buat bilang sama Bapak” ujar Anya, lagi – lagi berhasil membuat Pak Hardi dan Ibu Kinaya bahkan Vanila ikut menggelengkan kepala.
Akhirnya, karena memang jam sekolah juga sudah menunjukan waktunya pulang, Pak Hardi memperbolehkan Vanila dan Anya pulang. Hal itu tentu membuat Anya lagi – lagi bersorak kegirangan membuat tiga orang dihadapanya geleng – gelang kepala. Kemudian, Anya dan Vanila pamit karena memang mereka sudah diizinkan pulang.
“Van kita makan – makan dulu bentar yu, gue yang traktir deh, sekalian rayain kemenangan lo” ajak Anya, saat mereka mereka sedang berada diperjalanan menuju ke rumah Vanila.
Sesaat Vanila mencoba menimang, mengingat jam dia pulang rasanya tidak mungkin dia harus pergi dengan Anya terlebih dahulu, karena Vanila sendiri tidak bisa membayangkan masalah apa yang akan dia dapatkan jika dia sampai terlambat pulang.
“Kemana aja kamu, kenapa pulang telat ?” tanya Mamah Herma, saat dia Vanila baru saja pulang.
Saat itu Vanila memang pulang terlambat karena dia harus mengikuti bimbingan atau tambahan belajar untuk persiapan mengikuti olimpiade, tapi saat itu Vanila lebih memilih diam, dia tidak menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi alasan dia telat pulang, karena menurut Vanila hal itu tidak akan memberikan pengaruh apapun.
“Kenapa diem aja, jawab ? sengaja pulang telat karena gak mau ngerjain pekerjaan rumah” tanya Mamah Herma, sambil melangkah lebih maju kearah Vanila.
Saat itu Vanila lebih memilih diam, dia sudah cukup lelah belajar disekolah untuk persiapan olimpiade, dia tidak ingin menambah rasa lelahnya dengan menjawab pertanyaan Mamah tirinya yang justru akan memperumit masalah.
“Pokoknya saya enggak mau tahu, kerjain tugas Abi dengan benar, setrika semua baju dan terakhir kamu enggak dapat jatah makan malam hari ini” ujar Mamah Herma, sanempelkan tangannya pada dahi Vanila.
“Iya Mah, aku masuk dulu ya, mau ganti baju terus ngerjain tugas dari Mamah” jawab Vanila, sambil berlalu masuk setelah mendapat izin dari mamah Herma.
Sekilas bayang – bayang menakutkan yang pernah dialami saat Vanila sempat pulang terlambat kembali terkenang dalam pelupuk mata Vanila, dan dari semua pengalaman yang terasa menyakitkan sekaligus menakutkan itu, Vanila merasa jika dia tidak akan pernah mau mengulangi kesalahan yang sama lagi.
“Ya Van, kita makan – makan dulu, masa iya kita temenan dari kelas satu enggak pernah jalan – jalan atau makan – makan bareng” bujuk Anya, sambil memasang wajah memelasnya.
Vanila langsung tersadar dari lamunannya, selama beberapa saat dia mencoba mencari jawaban paling tepat yang bisa membuat Anya diam dan tidak akan lagi memaksanya. Namun, saat retina mata Vanila melihat sebuah motor yang berjalan dari arah berlawanan dan hampir akan ditabrak Anya karena gadis itu tidak menyetir sambil melihat kedepan, Vanila langsung menjerit diikuti Anya yang ikut menjerit sambil mengerem mobil.
“Van tuh orang enggak papakan ya, gue masih muda kalau harus masuk penjara” gumam Anya, sambil menatap kearah depan dengan wajahnya yang terlihat shock.
Vanila tidak berniat menanggapi perkataan Anya, dia memilih langsung keluar dan melihat orang yang dia yakin terjatuh karena menabrak trotoar jalan, karena tadi dia mendengar dengan jelas suara keras jatuhnya. Tidak jauh dari posisinya berdiri, Vanila bisa melihat seseorang yang sedang berusaha bangun karena kakinya tertimpa oleh beban motor.
“Ya Allah, Mas enggak papa ? ayo saya bantu” ujar Vanila, sambil mengalungkan tangan pada laki – laki yang sedang terduduk setelah dia dan Anya berhasil mengangkat sedikit motor sehingga membuat laki – laki itu bisa mengeluarkan kakinya.
Namun, karena beban tubuh laki – laki itu lebih besar dari pada beban tubuhnya, tepat saat mereka sudah sampai didekat mobil Anya, tubuh Vanila terhuyung hingga membuat tubuhnya jatuh menimpa tubuh laki – laki itu yang lebih dulu jatuh karena Vanila kehilangan keseimbangan.
“Kaki saya sama tangan saya tuh lagi sakit, bisa bangun dari atas tubuh saya ?” tanyanya, dengan wajah tidak bersahabat.
Mendengar hal itu, Vanila langsung bangkit, kemudian dengan wajah tanpa dosanya, Vanila langsung memeriksa kaki laki – laki itu yang memang terdapat luka memar dan lecet – lecet. Vanila langsung mencari kotak P3K yang ada dimobil Anya untuk membersihkan luka laki – laki tadi.
“Gak usah, saya bisa sendiri, lagian kamu mana bisa bersihin luka saya” ujar laki – laki itu, saat dia melihat Vanila membawa kotak P3K.
“Eh bisa ko, saya biasa bersihin luka Mas jangan khawatir” ujar Vanila, namun tetap tidak digubris oleh laki – laki itu, dengan susah payah dia berusaha bangkit dari posisinya, tapi karena kaki dan tangannya sakit, laki – laki itu akhirnya kembali terduduk.
“Saya juga bilang apa Mas, udah deh gak usah so kuat, kalau enggak bisa ya enggak bisa, biar saya sama teman saya yang anter nanti, untuk motornya Mas bisa hubungi teman Mas atau siapapun itu untuk mengambilnya, atau mau ditinggal aja biar diambil maling ?” ujar Vanila, sedikit kesal, sesabar apapun dia jika dihadapkan dengan seseorang seperti dihadapannya, Vanila kesal juga.
Kemudian dengan telaten, Vanila membersihkan luka – lukanya dengan penuh kehati hatian. Sementara disampingnya, Anya hanya diam sambil memegang kemeja sekolah Vanila seperti anak kecil yang sedang berlindung dibalik tubuh ibunya.
“Mas, please jangan laporin saya ke kantor polisi ya, saya masih sekolah, saya masih muda, saya gak akan mampu kalau harus tinggal dipenjara” ujar Anya, tiba – tiba membuat laki – laki yang sejak tadi hanya diam sambil menatap Vanila beralih menatap Anya dengan wajah judesnya.
“Si Masnya baik ko, iyakan Mas, jadi mana mungkin dia tega laporin kita, yu mending kita anterin Masnya pulang aja, kakinya masih sakitkan Mas, jadi gak mungkin bisa bawa motor, yu Nya” ujar Vanila, sambil bangkit dan membantu laki – laki tu masuk ke dalam mobil.
Setelah itu, tidak ada tanggapan apapun dari laki – laki itu, dia hanya menurut saat Vanila dan Anya mengantarkannya pulang. Selama diperjalanan, mereka juga tidak bicara banyak hal, hanya Vanila dan Anya yang sesekali mengobrol, sedangkan laki – laki itu hanya diam. pertemuan mereka adalah sebuah takdir, takdir yang tidak tahu sengaja atau tidak sengaja.
***
Vanila memandang rumahnya sendiri dengan tatapan horror saat dia sadar sudah pulang sangat terlambat, sebenarnya jika ada tempat lain yang bisa dia kunjungi selian rumahnya untuk tempat dia pulang, Vanila lebih memilih untuk pulang ke sana saja.
“Lo gak mau pulang ke rumah gue aja Van ?” tanya Anya, saat dia melihat gurat ke khawatiran terpancar dari wajah Vanila, dan Anya tahu pasti Vanila takut pulang ke rumahnya sendiri.
“Masa iya udah sampai rumah aku malah ikut pulang ke rumah kamu, yang bener aja” jawab Vanila, sambil membuka sabuk pengamannya.
“Aku turun dulu ya, makasih udah nganterin sampai jumpa besok disekolah” lanjut Vanila, sambil turun dari mobil Anya.
Setelah Vanila turun, Anya memilih untuk tetap menunggu, dia merasa tidak yakin Vanila akan baik – baik saja mengingat keluarga yang tidak terlalu peduli padanya. Sementara itu, Vanila masuk ke dalam rumah dengan perasaan gusar, dia takut tentu dia takut dengan kemarahan papah dan mamahnya. Hingga saat kaki Vanila sampai ruang tamu, saat itulah dia bisa melihat papah dan mamahnya sudah menunggu dan menatapnya dengan tatapan tajam.
“Kemana aja kamu ? jam segini baru pulang ? wajar anak sekolah jam segini baru pulang, masih pake baju sekolah lagi” ujar mamah Herma sambil berdiri, menghampiri Vanila yang sedang berdiri sambil menunduk.
“Dari mana kamu ? jawab !!” lanjut mamah Herma, sambil mencengkram kedua pipi Vanila dengan kencang sehingga membuat wajah Vanila mendongak menatapnya.
“Apa yang kamu bawa, untuk apa kamu membawa rongsokan ini” ujar mamah Herma, sambil melempar piala yang sejak tadi Vanila peluk, sehingga membuat benda itu terpecah menjadi beberapa bagian.
Melihat hal itu, tiba – tiba air mata jatuh dari pelupuk mata Vanila, untuk yang kesekian kalinya hati Vanila terluka, disaat dia berjuang melakukan yang terbaik agar bisa membanggakan orang tuanya, tapi semua itu dianggap tidak berarti apa – apa, hati Vanila benar – benar hancur.
“Kenapa nangis ? kenapa ditanya enggak jawab, kamu gagu, saya gak suka anak saya jadi pembangkang dan enggak disiplin, dari mana jam segini baru pulang keluyuran dulu ?” tanya papah Danu, dengan wajahnya yang terlihat dingin sambil berdiri dihadapan Vanila menggantikan posisi mamah Herma.
Plakk … satu tamparan keras berhasil mendarat dipipi Vanila hingga membuat gadis itu tersungkur jatuh.
“Jawab pertanyaan saya, apa kamu tidak punya sopan santun tidak menjawab pertanyaan orang tua” tanyanya papah Danu, sambil berjongkok menyetarakan tingginya dengan tinggi Vanila.
“Vanila pergi mengikuti olimpiade Om, tadi saya yang antar pulang, tapi tidak sengaja kami menyenggol sebuah motor jadi kami harus mengantarkan korbannya pulang dulu, dan piala itu adalah bukti seberapa berprestasinya anak yang om dan tante aniaya ini” ujar Anya, tiba – tiba muncul saat papah Danu hendak menjambak rambut Vanila.
Anya berjalan mendekati Vanila yang masih terduduk diatas lantai, pelan – pelan dia membantu sahabatnya itu bangkit. Saat itu, setelah hampir tiga tahun menjalani persahabatan bersama Vanila, untuk pertama kalinya Anya melihat semua perlakuan kedua orang tua Vanila, selama ini Anya hanya menduga dengan semua luka yang selalu dia lihat di tubuh Vanila, tapi hari ini Anya melihat secara langsung bagaimana orang tua Vanila memperlakukannya, dan Anya jadi tahu dari mana asal semua luka yang selama ini selalu menghiasi tubuh Vanila.
“Saya izin mengajak Vanila menginap dirumah saya malam ini ya om” ujar Anya, sambil mengajak Vanila pergi.
Tidak ada jawaban yang disampaikan oleh orang tua Vanila, mereka hanya diam sambil menatap Anya yang sudah mengajak Vanila pergi. Malihat hal itu, Vanila sempat menolak, tapi Anya seakan tidak menggubris penolakan Vanila dan tatapan tajam kedua orang tua Vanila.
“Kamu ngapain ke rumahku Nya” tanya Vanila, saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.
“Gue tuh tadi mau ngenterin hp lo ketinggalan, tapi liat elo digituin emang gue tega ninggalin lo gitu aja, enggak !!!” ujar Anya, sambil menatap lurus.
“Gue berdo’a karena malem ini lo nginep dirumah gue, elo langsung di usir aja dari rumah biar elo bisa tinggal dirumah gue selamanya, lo harus tahu Van...” ujar Anya, sambil membalik posisinya sehingga menjadi berhadapan dengan Vanila.
“Ketika lo dianggap enggak berharga sama keluarga lo sendiri, di luar sana masih ada banyak orang yang akan bisa menerima dan menghargai lo, karena lo memang mutiara yang sangat berharga, lo inget kata – kata gue” ujar Anya, berhasil membuat senyuman terbit dari bibir Vanila.