#R – Perkenalan Setelah Banyak Pertemuan

2131 Words
          Waktu berlalu dengan sangat cepat, Vanila merasa jika baru kemarin dia lulus sekolah dan masuk sebagai mahasiswa baru di univertas yang sudah memberikan dia beasiswa. Namun, sekarang dia sudah akan memasuki semeseter tiga, dan kampusnya sudah kembali kedatangan mahasiswa baru. Disela waktu kuliahnya Vanila masih tetap bekerja menjadi pelayan di kafe untuk memenuhi kebutuhan makan, membayar kosan dan kebutuhan lainnya lagi. “Van, meja nomor 5 ya” ujar salah satu teman Vanila, sambil menyerahkan satu cangkir kopi hitam dan satu cangkir cappuccino. Sesaat bibir Vanila melukiskan senyum kecil saat dia melihat dua cangkir kopi yang harus segera dia antar ke meja pemesan. Tiba – tiba, dia jadi teringat dengan ayahnya yang selalu meminum kopi hitam dan Vanila cukup sering juga membuatkannya. “Biasanya, setiap pagi aku selalu buatin kopi buat papa, jadi kangen apa nanti aku mampir pulang dan bawain kopi buat papa aja kali ya” gumam Vanila, sambil menatap kopi yang sudah dia simpan dinampan dan siap dia bawa ke meja pemesan. Bibirnya tidak berhenti melukiskan senyuman karena seperti itulah prinsip hidup yang selalu berusaha Vanila tekankan pada dirinya, tersenyum dan sebarkan kebahagiaan kepada orang – orang. “Papah …” batin Vanila, saat dia melihat sosok pria yang sedang duduk bersama dengan seorang pria yang sebaya dengannya, bibir Vanila melukiskan senyuman semakin lebar saat dia melihat ayahnya nampak tersenyum dan bahagia berbincang dengan orang dihadapannya. “May, may bisa tolong kasih ini ke meja nomor 5, aku masih ada kerjaan lain dibelakang” ujar Vanila, kepada salah satu temannya. Selama beberapa saat, teman yang Vanila sapa dengan panggilan May itu nampak menatap Vanila bingung, tapi tidak urung dia tetap melakukan permintaan tolong dari Vanila. Melihat hal itu, Vanila tersenyum, matanya menatap pergerakan temannya yang perlahan sudah berjalan mendekat kearah meja ayahnya dan menyajika kopi yang dia pesan dengan telaten dan penuh ke hati – hatian. “Aku gak mau nganterin kopi dan temuin Papah, karena aku takut saat Papah melihat aku senyum Papah akan hilang malam ini, aku juga takut kalau Papah tahu aku kerja di sini Papah enggak akan mau lagi datang ke sini” batin Vanila, sambil menatap sang ayah yang masih terlihat asik bercengkrama bersama seseorang yang Vanila pikir adalah rekan kerjanya. Setelah itu, Vanila lebih memilih untuk membantu beberapa pekerjaaan didapur, dia meminta izin untuk tidak mengantarkan pesanan terlebih dahulu dengan alasan jika kakinya tanpa sengaja tersandung. Padahal nyatanya, Vanila sengaja menyandungkan kakinya pada ujung meja saat dia baru saja melihat ayahnya agar dia punya alasan tida mengantar – ngatar pesanan ke meja pelanggan. Salahnya, Vanila terlalu keras menyandungkan kakinya pada ujung meja hingga membuat jarinya berdarah. “Hallo, iya Nya kenapa ?” tanya Vanila, pada sosok Anya yang sedang menelponnya. “Kamu kenapa nangis, tenang dulu jangan nangis , pelan – pelan coba kamu jelasin sama aku ada apa ?” tanya Vanila, sambil memegang ponselnya dengan benar karena tadi dia mendempelkan handphonenya ke telingan menggunakan pundaknya. Disebrang telepon, Anya masih menangis tersedu – sedu, dengan sabar Vanila berusaha menunggu sampai tangis Anya mereda dan untungnya saat itu jam kerja sudah hampir selesai jadi dia tidak terlalu merasa tidak enak kepada teman – teman yang lain, karena sudah tidak ada pesanan, hanya tinggal menunggu jam tutup. “Mamah Van … Mamah masuk rumah sakit, gue sendiri Papah lagi gak ada” ujar Anya, masih dalam keadaan menangis. “Apa ? Mamah masuk rumah sakit ? ko bisa, kenapa ? yaudah aku langsung ke sana, kamu kirim alamat rumah sakitnya ya” ujar Vanila, dan langsung mematikan sambungan telepon setelah mendengar jawaban iya dari Anya, Setelah itu, Vanila langsung bersiap – siap pulang, padahal waktu pulang masih tinggal 20 menit lagi. Namun, gadis itu tidak mempedulikan apapun, dia tidak peduli Arya pemilik kafe akan marah karena dia pulang tidak pada waktunya, karena yang penting bagi Vanila adalah Mamah Anya yang sudah sangat dia sayang dan juga selalu menyayanginya. Setelah mendapat pesan dari berisi alamat rumah sakit tempat Mamah Anya dirawat, Vanila langsung meluncur menggunakan ojeg yang kebetulan ada didekat kafe. *** “Ada apa sama Mamah ? kenapa dia bisa masuk rumah sakit ?” tanya Vanila, saat dia baru saja sampai dirumah sakit dan Anya langsung memeluknya dengan air mata berurai didepan ruangn IGD. “Gue gak tahu Van, tapi kayanya darah tinggi Mamah kumat, tadi bibi temuin Mamah pingsan didapur, dan Papah lagi dinas ke luar kota, gue bener – bener bingung, gue takut Mamah kenapa – napa Van” ujar Anya, sambil memeluk Vanila dengan erat. “Udah gak usah takut lagi, kan ada aku di sini, lebih baik kita sama – sama berdo’a semoga Mamah bisa tetap baik – baik aja” ujar Vanila, sambil mengelus pundah Anya, berusaha untuk menenangkannya. Setelah itu, dua gadis itu nampak sama – sama duduk diatas kursi tunggu yang ada didepan ruangan IGD. Mereka sama – sama memanjatkan do’a untuk kebaikan mamah Anya yang masih diperiksa oleh Dokter. Namun, tiba – tiba Vanila merasa ingin pergi ke kamar mandi, akhirnya dia terpaksa meninggalkan Anya sendiri. Dengan terburu – buru Vanila langsung pergi menuju kamar mandi karena memang dia sudah tidak bisa menahan. Dia masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi dan menyelesaikan rasa kebeletnya, setelah beberapa menit selesai Vanila kembali keluar. “Aaaaa …” teriak Vanila, sambil memejamkan matanya rapat – rapat saat dia melihat sosok laki – laki tidak asing sedang buang air kecil ditempat laki – laki buang air kecil. Namun, tidak lama mulut Vanila dibekap oleh orang tersebut. Pelan – pelan, Vanila membuka matanya yang semula terpejam rapat saat dia merasakan bekapan tangan dimulutnya. Hal pertama yang dia lihat adalah tatapan mata seseorang yang sudah tidak asing lagi dia lihat tapi tidak pernah dia ketahui namanya. “Ngapain kamu di sini ? mau ngintip saya ?” tanyanya, yang tentu langsung membuat Vanila membuka paksa tangan yang sedang membekap mulutnya. “Jangan sembarangan ya kalau ngomong, emang aku cewe apaan ngintipin cowo” ujar Vanila, merasa tidak terima. Selama beberapa saat, sosok laki – laki dihadapan Vanila itu nampak terdiam sambil menatap Vanila dengan senyum meremehkan dan sebelah alis yang terangkat. Hal itu tentu membuat Vanila merasa kesal. “Terus kalau enggak nginti ngapain ditoilet cowo ?” tanyanya, berhasil membuat Vanila menolah kearah sekitar toilet yang memang tolet laki – laki. Vanila langsung menepuk dahinya sendiri saat dia sadar salah masuk ke dalam kamar mandi. Dia terlalu terburu – buru masuk kamar mandi tanpa melihat tanda toilet laki – laki dan perempuan terlebih dahulu. “Kenapa diem, benerkan kamu ngintip ?” mendengar pertanyaannya, Vanila tentu semakin kesal. Akhirnya, dengan sengaja Vanila menginjak kaki laki – laki dihadapannya dengan sangat kencang hingga membuat laki – laki berjingkat kesakitan. Dia tampak meringis sambil berjingkat kesakitan, hingga akhirnya tanpa disangka dia kehilangan keseimbangan dan menabrak tubuh Vanila masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi. “Kamu jadi perempuan ko kasar banget sih ?” ujarnya, masih setengah mengaduh. “Makannya, Kakak punya mulut jangan sembarangan dong” ujar Vanila, masih merasa belum terima. “Udah ah permisi mau pergi lama – lama di sini nanti takutnya kakak malah khilaf lagi” ujar Vanila, sambil membuka pintu  kamar mandi. Namun, saat Vanila mencoba untuk membuka pintu itu sangat susah  dibuka sampai akhirnya dia mencoba membukanya lebih keras lagi, tapi tetap tidak bisa, dari sanalah kepanikan Vanla mulai muncul, dan yang paling membuat Vanila panik adalah dia terkunci dikamar mandi laki – laki bersama seorang perawat laki – laki, apa yang akan dipikirkan orang – orang jika ada yang melihat mereka. “Kak, pintunya ke kunci, susah gak bisa dibuka” ujar Vanila, sambil tetap berusaha membuka pintu. Mendengar perkataan Vanila laki – laki yang beberapa menit lalu masih mengaduh kesakitan itu langsung berdiri tegak dan mengambil alih posisi Vanila untuk membuka pintu. Namun, tetap saja meskipun yang membuka pintu bukan Vanila tapi sosok laki – laki yang ikut terjebak bersama Vanila, pintu itu masih belum bisa terbuka, dari sana Vanila bisa menyimpulkan jika mereka benar – benar terkunci didalam kamar mandi. “Aduh Kak gimana dong ? masa iya aku harus ke jebak di toilet cowo sama cowo pula, aku gak mungkinkan kejebak disini selamanya, nanti kalau Kakak khilaf gimana ?” ujar Vanila, dengan nada paniknya. Mendengar perkataan Vanila, laki – laki yang sejak tadi memilih diam dan nampak berpikir itu menatap Vanila dengan tatapan datar, tatapan itu seakan dia gunakan untuk mengekspresikan rasa tidak sukanya pada kata – kata Vanila. “Kak, ini gimana ? kenapa diem aja sih ?” tanya Vanila, masih dengan panik. Tidak ada yang laki – laki itu katakan, dia masih diam sampai akhirnya dia terlihat menghubungi seseorang dan terlihat seperti meminta pertolongan kepada seseorang disebrang telepon. Benar saja, tidak lama setelah itu seseorang datang mengetuk pintu yang didalamnya ada Vanila dan laki – laki yang sudah sering kali Vanila temui tapi sampai sekarang belum dia ketahui namanya. “Cepetan ya, di dalem sesak” ujarnya, saat dia sudah mendengar seseorang yang akan memberikan bantuan kepada mereka. “Iye iye, ini gue lagi cari kuncinya kali, lagian lo ngapain sih doyan nongkrong di toilet, hera….”, ucapan laki – laki yang sedang berusaha membuka pintu itu menggantung diudara saat pintunya sudah terbuka dan menampilkan sosok Vanila bersama temannya. Mungkin, dia heran melihat temannya terkurung di dalam kamar mandi bersama perempuan. “Elo gak abis ngapa – ngapainkan dalam toilet bareng cewe ?” tanyanya, pada sosok laki – laki yang masih berdiri kaku disamping Vanila. Mendengar pertanyaan itu Vanila tentu merasa tidak nyaman. Kemudian dengan terburu – buru Vanila memilih untuk pamit, tapi karena gugup dan tidak hati – hati, kaki yang tadi tidak sengaja tersandung dikafe kembali tersandung lantai toilet yang tidak rata hingga membuat Vanila merasa kesakitan dan membuat dia hampir saja kehilangan keseimbangan. Beruntung saat itu, sosok laki – laki kaku yang masih berdiri didekatnya dengan sigap menangkap tubuh Vanila hingga membuat Vanila tidak jatuh terjerembab. “Makasih, aku duluan” ujar Vanila, sambil melepaskan diri dari pelukan laki – laki yang belum dia kenal itu, kemudian berjalan dengan sedikit terpincang meninggalkan kamar mandi. Setelah itu, lak – laki yang terjebak dikamar mandi bersama Vanila juga ikut berlalu meninggalkan temannya yang masih berdiri dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk didalam kepalanya. Dia langsung pergi menuju lokernya karena memang dua menit lagi jam kerjanya selesai dan akan pergantian shift. Namun, mengingat jalan kaki Vanila yang terpincang dia terus saja kepikiran. “Lo kenapa sih ? emang dia siapa elo ? kenapa elo bisa terus kepikiran cuma gara – gara liat jalannya pincang” batinnya sambil memakai jaket bersiap untuk pulang. “Aaargh” geramnya saat dia merasa kesal terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa berhenti memikirkan Vanila. Setelah itu dia memutuskan untuk pergi membawa tas bersiap dengan panampilan hendak pulang, tapi saat itu kakinya tidak membawa dia menuju paskiran, tapi dia justru melangkahkan kakinya menuju sebuah lorong rumah sakit, sampai akhirnya dia sampai didekat sebuah ruangan, didepan ruangan itu duduk sosok perempuan yang sudah tidak asing lagi untuknya. “Kak ? ngapain ?” tanya sosok perempuan yang sedang duduk sendiri didepan ruang IGD. Tanpa banyak bicara, laki – laki itu langsung mebawa kaki Vanila keatas lahunannya, kemudian dia membuka sepatu Vanila, dan saat dibuka seperti yang sudah dia bayangkan dan prediksikan kakinya mengalami memar pada bagian ibu jari bahkan mengeluarkan darah meskipun tidak banyak. Sementara Vanila, awalnya dia merasa heran, tapi melihat semua yang laki – laki disampingnya lakukan seulas senyum tipis terbit dari bibir Vanila. Vanila tidak tahu apa tujuan takdir selalu mengirimkan dia sebagai penolongnya, tapi bertemu laki – laki disampingnya, Vanila sangat mensyukurinya. “Makasih ya Kak, karena Kakak selalu baik sama aku, dan maaf tadi aku udah galak sama Kakak, abisnya tadi aku bingung, oh iya kenalin Kak, namaku Vanila, Vanila Assifatu Haifah, Kakak siapa ?” tanya Vanila, sambil menyodorkan tangannya hendak mengajak berkenalan. “Rama” jawabnya, sambil menjabat tangan Vanila dengan singkat. “Rama aja ? enggak ada kepanjangannya gitu ?” tanya Vanila, sambil memandang wajahnya. Namun, saat itu laki – laki yang baru diketahui namanya bernama Rama itu memilih tidak menjawab pertanyaan Vanila. Kemudian pelan – pelan dia meletakan kaki Vanila kelantai. Setelah itu dia menoleh, menatap Vanila tepat dibagian matanya. “Lain kali, lebih sayangi diri kamu sendiri, lebih perhatikan diri kamu sendiri, karena enggak akan ada yang lebih sayang sama diri kamu kecuali kamu sendiri, paham ?” tanyanya, terdengar tegas dan langsung diangguki oleh Vanila. Kemudian, dia dengan tiba – tiba membuka jaket yang sedang dia gunakan, lalu setelah itu memakaikannya pada tubuh Vanila tanpa banyak bicara. “Saya pamit, Assalamu’alaikum” ujarnya, sambil langsung berlalu pergi. “Wa’alaikumussalam Warahmatullah” jawab Vanila, dengan pelan sambil menatap punggung Rama yang sudah berjalan semakin jauh dari pandangannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD