NAVIA POV
Aku membuat dua cangkir teh untuk menemani kami memakan kue-kue pembelian Miko. Aku meletakkannya perlahan di depan pria itu. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan lembut. Kalau seperti ini, Miko tampak semakin mempesona di mataku.
"Aku hari ini dapat kerja, Miko. Meskipun hanya sebagai Cleaning Service, tetapi aku sudah cukup senang. Akhirnya aku tidak menganggur lagi." curhatku.
"Selamat, Navia. Aku turut berbahagia mendengarnya. Semoga pekerjaan barumu menyenangkan. Malam ini, kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu jalan..." Miko tampak sedikit ragu saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Mungkin ia takut di tolak.
"Terima kasih, Miko. Soal nanti malam, aku bisa menemanimu. Mm.. aku mau menanyakan sesuatu, tapi kamu jangan marah, ya..." aku benar-benar akan menanyakan tentang foto itu, bagaimana reaksinya nanti? Semoga dia tidak keberatan untuk.menjelaskannya.
"Apa yang ingin kamu tanyakan? Tanyakan saja, aku tidak akan memarahimu." ungkapnya singkat. Aku sedikit tenang mendengarnya.
"Itu... tentang... fotomu dengan seorang wanita dan bayi, apa itu..." aku tidak mampu melanjutkan kalimatku karena melihat air wajah Miko berubah, lelaki itu tampak sedih dan berkaca-kaca.
"Dia kakak ipar dan keponakanku, istri dan anak dari kakakku. Mereka berdua sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. Bertahun-tahun kakakku hidup sendirian, berharap dapat melupakan mereka. tetapi yang dia dapatkan justru sebaliknya. Dia semakin mengingat mantan istrinya. Mereka dulu tinggal di sini, kami sangat dekat. Dia sudah aku anggap sebagai kakak kandungku sendiri." ternyata ada cerita kelam di balik foto itu.
Aku mengerti bagaimana rasanya jadi Miko. Hubungan mereka yang begitu dekat tentu saja membuat Miko merasa sangat kehilangan. Lalu, dimana kakak kandung Miko? Ah, kurasa ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan itu.
"Kuatkan hatimu, Miko. Aku tahu, kehilangan seseorang yang penting itu tidak akan mudah untuk di lupakan begitu saja. Suatu hari, perlahan kakakmu pasti akan menemukan seseorang yang mengisi kekosongan hatinya dan kamu bisa mendapatkan kakak ipar yang baru. Walau tidak bisa menggantikan kakak iparmu yang lama, setidaknya kamu bisa memiliki saudara perempuan lagi." Aku mencoba menghibur Miko. Pria itu menyeruput teh di cangkirnya perlahan.
"Aku harap juga begitu, Via. Tapi kenyataannya sampai hari ini kakakku belum menemukan seseorang yang mampu membuat hatinya lulu. Aku bahkan sudah mengenalkan dia pada banyak wanita, tetapi tidak satupun yang berhasil membuat dia jatuh cinta." Aku tersenyum mendengar cerita Miko, kemudian ikut menyeruput tehku perlahan.
"Belum saatnya, Hiro. Bersabarlah sedikit. Akan ada saatnya datang orang yang tepat yang bisa mengisi hati kalian. Kamu dan juga kakakmu. Ngomong-ngomong, kue bawaanmu ini, enak." Aku memuji kue yang di beli oleh Miko, lelaki itu nampak senang mendengarnya.
"Aku akan membelikannya lagi lain kali untukmu jika kamu menyukainya." Miko menatapku, suasana ini sedikit kikuk, aku segera mengalihkan pandanganku.
"Navia, apa kamu memiliki seorang kekasih?" tanyanya tiba-tiba. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan yang di ajukan oleh Miko, lalu menanggapinya dengan menggeleng.
"Aku seperti terpenjara, Miko. Selalu di awasi oleh keluargaku dan tidak bisa menentukan jalanku sendiri. Aku terpaksa menolak semua pria yang menyatakan cinta padaku, sampai aku di bilang sok cantik dan lain sebagainya." Tanpa sadar aku mencurahkan perasaanku, tentang hidupku yang bagaikan burung dalam sangkar.
"Tapi kenyataannya kamu memang cantik, jadi salahnya dimana? Pasti tidak mudah untuk menjadi kamu. Cukup membosankan juga sepertinya. Kenapa keluargamu tidak membiarkanmu bebas seperti gadis-gadis lain?" pertanyaan Miko sering ku dengar dari teman-temanku, nyatanya keluargaku tidak sepemikiran dengan mereka.
"Semuanya karena kakak perempuanku. Dia lari bersama kekasihnya dan sekarang hidupnya malang. Dia juga sudah dicoret dari silsilah keluargaku. Oleh karena itu keluargaku sangat berharap aku mau menurut agar di masa depan hidupku lebih baik." Itu alasan yang selalu ku dengar dari papaku. Meskipun kenyataannya aku justru di jauhi oleh teman-temanku karena tidak bisa berbaur dengan mereka.
"Aku baru-baru ini juga sering di jodohkan oleh keluargaku. Tapi tidak satupun yang menarik perhatianku. Tidak jarang aku di tolak oleh keluarga mereka karena pekerjaanku yang dianggap aneh." Aku sedikit terkejut dengan kejujuran Miko, tapi semua orang punya kisah, dan aku memaklumi itu.
"Memangnya usiamu berapa?" aku penasaran, berapa sebenarnya umur Miko, ia tidak terlihat seperti om-om.
"Dua puluh enam tahun, sudah tua bukan?" Miko tertawa renyah. Bagiku dia justru tampak lebih muda dari usianya.
"Tidak juga, hanya tiga tahun lebih tua dariku. Di usia segini, keluargaku sudah memintaku untuk menikah, parahnya aku tidak bisa menentukan calonku sendiri kecuali aku membawa pulang seorang pengusaha kaya raya sebagai calon suamiku." curhatku kesal. Miko hanya terkekeh mendengar ceritaku. Padahal itu sama sekali tidak lucu.
"Kalau seandainya ada seorang pengusaha kaya yang mau di bawa olehmu untuk menghadap ayahmu, apakah kamu bersedia menikah dengannya?" Miko terkekeh lagi setelah melempar pertanyaan itu padaku. Dia tampak tengah mengejekku.
"Itu... tergantung, Miko. Tergantung siapa pengusaha itu. Apakah dia bisa aku cintai, sesuai dengan tipeku atau tidak, semuanya perlu aku pertimbangkan." sahutku. Bagiku semua itu penting. Menikah adalah momen spesial seumur hidup. Tentu saja aku tidak ingin tinggal satu rumah dengan orang yang tidak aku cintai. Aku tidak ingin hari-hariku membosankan.
"Ternyata kamu tipe pemilih juga. Kalau orang itu aku, apa kamu akan menerimanya?" celetuk Miko tiba-tiba aku sampai tersedak.
"Uhuk! Apa maksudmu?" Aku masih terbatuk sambil memegangi leherku.
"Hahaha! Reaksimu lucu sekali Via, aku hanya bercanda. Lagipula aku bukan pengusaha kaya, aku tidak masuk dalam daftar menantu idaman keluargamu." ternyata Miko hanya bercanda, aku pikir dia serius mau menikah denganku.
"Pernyataanmu mengagetkanku, Miko. Aku sendiri tidak mempermasalahkan soal harta, yang penting dia bisa membuatku jatuh cinta."
Sebenarnya, Miko juga sudah cukup untukku, tidak harus jadi orang kaya. tetapi masalahnya keputusan keluargaku sulit untuk di tentang.
"Semoga suatu hari ada yang membuatmu jatuh cinta, Navia. Aku juga berharap begitu. Siapa tahu ada seseorang yang bisa membuat aku jatuh cinta." ada yang berubah di wajah Miko.
"Sabar, Miko. Suatu hari pasti akan ada seseorang yang mengisi hatimu, asalkan kamu berusaha membuka hati. Bagaimana orang itu akan masuk ketika kamu tidak mau membuka pintu untuknya," Aku sok bijak, padahal diriku sendiri juga belum bisa menemukan seseorang yang benar-benar pas di hatiku sampai hari ini.
"Kamu benar juga, Navia. Aku harus belajar membuka hatiku. Terima kasih atas saranmu." Miko kembali menyeruput tehnya. Di balik sikapnya yang terlihat kokoh, ternyata hati Miko menyimpan kerapuhan.
"Oh, ya. Aku akan segera mencari tempat kos setelah gajiku yang pertama turun. Aku tidak bisa selamanya tinggal dan merepotkanmu, Miko." sejak awal, tinggal di rumah Miko sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Tetapi aku tidak punya pilihan lain.
"Baiklah, Navia. Aku akan mencarikanmu tempat kos yang aman. Aku pasti akan mengunjungimu. Aku mau ke atas dulu, jangan lupa untuk nanti malam." Miko beranjak dari tempat duduknya. Aku segera merapikan gelas bekas minum kami.
"Baiklah, Miko." sahutku singkat.